Mohon tunggu...
jefry Daik
jefry Daik Mohon Tunggu... Guru - seorang laki - laki kelahiran tahun 1987

pernah menjadi guru pernah menjadi penjual kue pernah menjadi penjual tahu pernah menjadi penjual Nasi

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Puisi | Ritme Pengabdi Negara

18 Oktober 2019   11:30 Diperbarui: 18 Oktober 2019   11:32 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Hentakan kaki di lapangan upacara

simbolis nasional yang mayapada

antara jiwa yang berkelana

antara roh yang mengudara

bumi dan langit di tapak kaki insan muda

Bungkam dalam hening

tak berarti diam

tak berarti tenggelam

hanya meresapi makna merah putih 

dalam tatanan selat dan tanjung maritim

Ada naluri

bergerak dilubuk sanubari

berbicara berdecak memandang bingkai negara

seolah arah dunia ini bukan ditentukan pada kiblat menyapa

melainkan suara teriakkan dibaluri senjata masal

hidup... seperti inikah?

kita tinggal di bumi yang sama

namun hati kebanyakan memilih pergi ke bulan

menghidari kepenatan

menjauhi kemelaratan

menyesali kelahiran

Mengapa?

Dunia nampak hanya setelapak tangan

namun jiwa muda tetap berkobar mudah dipicu

padi dan kapas seolah dirantai bersama dengan kepala banteng

erat dalam nuansa keadilan

berat dalam kedamaian.

Ini adalah ritme pejuang hidup

kehilangan damai dari bumi yang sejuk

bertabur prahara dalam tirai rumah-rumah pesakitan

mencari jejak 

mengendus salah

lanjutkah?

Bukan karena senjata kita ditembak mati ditempat

bukan karena kelaparan kita berebutan orasi

melainkan membangunkan ratu adil

yang berkelana tak kunjung tiba

bukankah kita menjadi prajurit hanya beda derajat?

pangkat kita hanyalah babu?

mengumbar kerusuhan

ditunggangi wacana - wacana entah apa

berbaur dalam kasta - kasta entah yang mana

mencoba memperkenalkan dunia dengan perang

lihatlah... ancaman itu

bukan lagi musuh dalam selimut

tapi kucing dalam karung

yang berusaha mencakar kesana-kemari

padahal napas tersengal hampir mati.

pohon beringin...

satu-satunya keteduhan dibawah sinar bintang

pun teriknya nestapa kehidupan.

Disini jantung kita akan berhenti

tapi tubuh kita hanya selembar surat kabar

Karya : Jefry Daik

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun