Hentakan kaki di lapangan upacara
simbolis nasional yang mayapada
antara jiwa yang berkelana
antara roh yang mengudara
bumi dan langit di tapak kaki insan muda
Bungkam dalam hening
tak berarti diam
tak berarti tenggelam
hanya meresapi makna merah putihÂ
dalam tatanan selat dan tanjung maritim
Ada naluri
bergerak dilubuk sanubari
berbicara berdecak memandang bingkai negara
seolah arah dunia ini bukan ditentukan pada kiblat menyapa
melainkan suara teriakkan dibaluri senjata masal
hidup... seperti inikah?
kita tinggal di bumi yang sama
namun hati kebanyakan memilih pergi ke bulan
menghidari kepenatan
menjauhi kemelaratan
menyesali kelahiran
Mengapa?
Dunia nampak hanya setelapak tangan
namun jiwa muda tetap berkobar mudah dipicu
padi dan kapas seolah dirantai bersama dengan kepala banteng
erat dalam nuansa keadilan
berat dalam kedamaian.
Ini adalah ritme pejuang hidup
kehilangan damai dari bumi yang sejuk
bertabur prahara dalam tirai rumah-rumah pesakitan
mencari jejakÂ
mengendus salah
lanjutkah?
Bukan karena senjata kita ditembak mati ditempat
bukan karena kelaparan kita berebutan orasi
melainkan membangunkan ratu adil
yang berkelana tak kunjung tiba
bukankah kita menjadi prajurit hanya beda derajat?
pangkat kita hanyalah babu?
mengumbar kerusuhan
ditunggangi wacana - wacana entah apa
berbaur dalam kasta - kasta entah yang mana
mencoba memperkenalkan dunia dengan perang
lihatlah... ancaman itu
bukan lagi musuh dalam selimut
tapi kucing dalam karung
yang berusaha mencakar kesana-kemari
padahal napas tersengal hampir mati.
pohon beringin...
satu-satunya keteduhan dibawah sinar bintang
pun teriknya nestapa kehidupan.
Disini jantung kita akan berhenti
tapi tubuh kita hanya selembar surat kabar
Karya : Jefry Daik