segelas kopi panas terhidang dalam perjamuan senyap,
telah surut hingga setengah. sebagian darinya menguap
bersama kepul dan hembus, lainnya tersesap dan melebur
dalam aku. pekatnya seolah tak sedikit pun memberi ruang
pada rembulan untuk membias kedalaman, kecuali bayang
yang nampak kabur.
Â
pada langit tak berbintang, sejenak kutitip tatap.
lingkar sepasi rembulan yang tenang meratap
sepi, mengaisi hamparan kosong tak pasti ukur
antara aku yang terjeda spasi. dan alam kenang
bertandang seiring semilir cemburu kembang
yang ingin membaur.
Â
setengah gelas kubiarkan tak tersentuh, ia semakin tersekap
pada pergumulan pekat yang terus lekat. sejenak sebelum lelap,
kusisipkan renung bersama sayu wajah rembulan
yang sedang sibuk menarik awan,
merupa selimut di batas senjang.
Â
perihal pekat, bukan semata sebab penyeb abakibat
kiranya lebih dari satu dua rangkai peristiwa.
seperti adaku yang terakumulasi masa lalu
Â
kenyataannya, waktu hanyalah detak menerus
esok atau lusa, dalam ragam kemungkinan:
setengah gelas akan tenggelam ke dalam ampas,
membawa pekat lalu kering dan mengerak.
atau lenyap termakan gerimis magis pada esok
yang tak selalu cerah.
Â
~bdg, 81112
dalam: Seliku Perjalanan Pulang
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H