Apa itu Korupsi?Â
Korupsi adalah tindakan penyalahgunaan kekuasaan untuk keuntungan pribadi, yang merugikan kepentingan publik dan menghambat pembangunan nasional. Korupsi dapat terjadi dalam berbagai bentuk, mulai dari suap dan penggelapan hingga pencucian uang dan kolusi.
Korupsi merupakan penyakit kronis yang menggerogoti sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Dampaknya yang merusak, mulai dari menghambat pembangunan ekonomi hingga meruntuhkan kepercayaan publik, telah menjadi perhatian global. Upaya pencegahan korupsi membutuhkan pendekatan multi-faceted, yang tidak hanya bergantung pada regulasi dan penegakan hukum, tetapi juga pada transformasi nilai dan etika di tingkat individu, khususnya para pemimpin.
Jenis-jenis Korupsi di Indonesia
 Korupsi di Indonesia dapat dibedakan menjadi beberapa jenis, seperti:
 - Suap: Memberikan atau menerima sesuatu yang bernilai untuk mempengaruhi keputusan atau tindakan seseorang dalam jabatan publik.
- Penggelapan: Pencurian atau penyelewengan harta benda milik negara atau lembaga publik.
- Pencucian Uang: Menyembunyikan atau mengaburkan asal-usul uang hasil korupsi.
- Kolusi: Persekongkolan antara pejabat publik dengan pihak swasta untuk mendapatkan keuntungan pribadi.
- Nepotisme: Memberikan keuntungan kepada keluarga atau kerabat dalam jabatan publik.
Â
Apa saja gagasan Sigmund Freud dalam teori korupsi yang relevan?
Sigmund Freud, sebagai bapak psikoanalisis, memberikan beberapa gagasan utama yang dapat diterapkan untuk memahami fenomena kejahatan kerah putih, termasuk korupsi di Indonesia. Berikut adalah beberapa gagasan utama Freud yang relevan:
1. Struktur Kepribadian: Id, Ego, dan Superego
Freud mengemukakan bahwa perilaku manusia dipengaruhi oleh tiga komponen utama dalam struktur kepribadian:
- Id: Bagian dari kepribadian yang berisi dorongan primal dan keinginan dasar, seperti keinginan untuk kekuasaan dan kekayaan. Id beroperasi berdasarkan prinsip kesenangan, mencari kepuasan instan tanpa mempertimbangkan konsekuensi.
- Ego: Berfungsi sebagai penengah antara id dan realitas eksternal. Ego beroperasi berdasarkan prinsip realitas, mencoba memenuhi keinginan id dengan cara yang realistis dan dapat diterima secara sosial.
- Superego: Mewakili suara moral dan etika yang menginternalisasi norma dan nilai sosial. Superego berusaha menekan dorongan id yang tidak sesuai dengan norma moral.
Dalam konteks korupsi, individu yang terlibat mungkin memiliki ego yang lemah atau superego yang tidak cukup kuat untuk menahan dorongan id mereka, sehingga mereka cenderung melakukan tindakan koruptif untuk memenuhi keinginan dasar mereka.
2. Mekanisme Pertahanan
Freud juga mengemukakan konsep mekanisme pertahanan, yaitu strategi yang digunakan oleh ego untuk melindungi diri dari kecemasan dan konflik internal. Beberapa mekanisme pertahanan yang relevan dengan korupsi meliputi:
- Rasionalisasi: Membuat alasan yang masuk akal untuk membenarkan tindakan koruptif.
- Penolakan: Menolak mengakui bahwa tindakan mereka adalah korupsi.
- Proyeksi: Menyalahkan orang lain atau sistem atas tindakan koruptif mereka.
3. Kompleks Oedipus
Freud percaya bahwa pengalaman masa kecil dan hubungan dengan orang tua dapat mempengaruhi perilaku dewasa. Kompleks Oedipus, misalnya, menggambarkan konflik emosional yang terjadi selama masa kanak-kanak.Â
Individu yang tidak menyelesaikan konflik ini dengan baik mungkin mengembangkan perilaku yang tidak sehat, termasuk kecenderungan untuk melakukan korupsi sebagai cara untuk mendapatkan kekuasaan atau pengakuan.
Mengapa Korupsi Terjadi?Â
Menurut Sigmund Freud, perilaku manusia dipengaruhi oleh tiga komponen utama: id, ego, dan superego. Id adalah bagian dari kepribadian yang berisi dorongan-dorongan dasar dan insting primal. Ego adalah bagian yang berfungsi sebagai penengah antara id dan realitas.Â
Superego adalah bagian yang berisi nilai-nilai moral dan etika. Korupsi bisa terjadi ketika ada ketidakseimbangan antara ketiga komponen ini, di mana dorongan id untuk mendapatkan keuntungan pribadi mengalahkan kontrol ego dan nilai-nilai moral dari superego.
Mengapa pemberantasan korupsi penting?
Pertumbuhan ekonomi, dan transformasi perekonomian nasional. Berikut beberapa alasan mengapa pencegahan korupsi sangat penting:
1. Stabilitas Ekonomi: Korupsi merusak ekonomi dengan mengalihkan dana publik yang seharusnya digunakan untuk pembangunan dan pelayanan masyarakat. Ini menghambat pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan ketidaksetaraan.
2. Kepercayaan Publik: Korupsi mengikis kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan institusi publik. Ketika masyarakat tidak percaya pada pemerintah, partisipasi dalam proses demokrasi menurun, dan stabilitas sosial terganggu.
3. Keadilan Sosial: Korupsi sering kali memperburuk ketidakadilan sosial dengan memperkaya segelintir orang yang berkuasa sementara mayoritas masyarakat tetap miskin. Ini menciptakan kesenjangan sosial yang lebih besar.
4. Efisiensi Pemerintahan: Korupsi mengurangi efisiensi dan efektivitas pemerintahan. Proyek-proyek publik sering kali tidak selesai tepat waktu atau dengan kualitas yang buruk karena dana disalahgunakan.
5. Daya Saing Nasional: Negara yang bebas dari korupsi lebih menarik bagi investor asing. Investasi asing dapat meningkatkan lapangan kerja dan mendorong pertumbuhan ekonomi.
6. Moral dan Etika: Korupsi merusak nilai-nilai moral dan etika dalam masyarakat. Ini menciptakan budaya di mana penyalahgunaan kekuasaan dianggap normal dan diterima.
Mengapa kasus Korupsi masih merajalela di IndonesiaÂ
Kasus korupsi di Indonesia masih merajalela meskipun upaya pencegahan telah dilakukan. Beberapa faktor yang menyebabkan hal ini, menurut berbagai sumber, meliputi:
 1. Faktor Individual:
 - Keserakahan dan Keinginan Materialistik: Banyak orang tergiur untuk melakukan korupsi karena keinginan untuk mendapatkan kekayaan dengan cara cepat dan mudah.
- Kurangnya Integritas: Beberapa individu memiliki integritas yang rendah dan tidak memiliki komitmen untuk bersikap jujur dan bertanggung jawab.
- Budaya Korupsi: Korupsi telah menjadi budaya di beberapa lapisan masyarakat, sehingga dianggap sebagai hal yang normal dan diterima.
 2. Faktor Sistemik:
 - Kelemahan Sistem dan Kelembagaan: Sistem pemerintahan dan kelembagaan di Indonesia masih memiliki kelemahan yang membuka celah untuk korupsi, seperti alur birokrasi yang berbelit-belit dan regulasi yang terlalu panjang.
- Kurangnya Transparansi dan Akuntabilitas: Kurangnya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan negara dan proses pengambilan keputusan membuka peluang untuk korupsi.
- Penegakan Hukum yang Lemah: Penegakan hukum terhadap kasus korupsi masih lemah, sehingga tidak memberikan efek jera bagi pelaku korupsi.
 3. Faktor Lingkungan:
 - Ketidaksetaraan Ekonomi: Ketimpangan ekonomi yang besar di Indonesia menciptakan kesenjangan sosial dan mendorong orang untuk melakukan korupsi untuk mendapatkan akses terhadap sumber daya.
- Kurangnya Pendidikan dan Kesadaran: Rendahnya tingkat pendidikan dan kesadaran masyarakat tentang bahaya korupsi membuat mereka rentan terhadap perilaku koruptif.
 4. Faktor Psikologis:
 - Niat dan Kesempatan: Korupsi terjadi ketika ada niat dan kesempatan. Individu yang memiliki niat untuk melakukan korupsi akan mencari kesempatan untuk melakukannya.
Dampak Korupsi terhadap Masyarakat
 Korupsi memiliki dampak negatif yang signifikan terhadap masyarakat, antara lain:
 - Menurunkan Kualitas Pelayanan Publik: Korupsi menyebabkan pelayanan publik menjadi tidak efisien dan tidak adil, karena prioritas diberikan kepada pihak yang mampu memberikan suap.
- Meningkatkan Ketimpangan Sosial: Korupsi menyebabkan sumber daya negara tidak terdistribusi secara merata, sehingga meningkatkan kesenjangan antara kelompok kaya dan miskin.
- Menurunkan Kepercayaan Masyarakat: Korupsi mengikis kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan lembaga publik, sehingga memicu ketidakpercayaan dan apatisme.
- Meningkatkan Kemiskinan: Korupsi menghambat pembangunan dan pertumbuhan ekonomi, sehingga menyebabkan kemiskinan dan pengangguran.
- Menimbulkan Ketidakadilan: Korupsi menyebabkan ketidakadilan karena hanya segelintir orang yang mendapat keuntungan dari kejahatan ini, sementara masyarakat luas menanggung kerugian.
Â
Dampak Korupsi terhadap Negara
 Dampak korupsi terhadap negara sangat luas dan merugikan, antara lain:
 - Menurunkan Pertumbuhan Ekonomi: Korupsi menghambat investasi asing dan domestik, karena investor merasa tidak aman dan tidak percaya dengan sistem pemerintahan yang korup.
- Merugikan Keuangan Negara: Korupsi menyebabkan kerugian keuangan negara yang sangat besar, sehingga mengurangi dana yang dapat digunakan untuk pembangunan dan kesejahteraan rakyat.
- Menurunkan Citra Internasional: Korupsi merusak citra internasional Indonesia, sehingga dapat menghambat kerjasama dan investasi dari negara lain.
- Menyebabkan Krisis Politik: Korupsi dapat memicu ketidakstabilan politik, karena masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah dan lembaga negara.
- Menghalangi Reformasi: Korupsi menghambat reformasi dan perubahan menuju pemerintahan yang bersih dan transparan.
Bagaimana cara mengatasi korupsi di Indonesia?
Korupsi di Indonesia merupakan permasalahan serius yang telah menggerogoti sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Tindakan ini tidak hanya merugikan negara secara finansial, tetapi juga merusak kepercayaan publik, menghambat pembangunan, dan mencederai keadilan. Untuk mengatasi kasus korupsi di Indonesia, diperlukan pendekatan multidimensi yang melibatkan berbagai pihak dan strategi komprehensif.
 1. Penguatan Penegakan Hukum dan Transparansi:
 - Penegakan Hukum yang Tegas dan Konsisten: Sistem peradilan yang adil dan independen menjadi kunci dalam memberantas korupsi. Penegakan hukum yang tegas dan konsisten terhadap pelaku korupsi, tanpa pandang bulu, akan memberikan efek jera dan meminimalkan peluang terjadinya korupsi.Â
Proses hukum yang transparan dan akuntabel juga penting untuk membangun kepercayaan publik terhadap sistem peradilan.
- Peningkatan Transparansi dan Akuntabilitas: Transparansi dalam pengelolaan keuangan negara dan proses pengambilan keputusan menjadi elemen penting dalam mencegah korupsi. Masyarakat harus memiliki akses informasi yang mudah dan terbuka mengenai anggaran negara, proyek pembangunan, dan kinerja lembaga pemerintahan.Â
Peningkatan akuntabilitas juga penting, di mana setiap pejabat publik bertanggung jawab atas tindakan dan keputusan yang diambil. Sistem pengawasan yang efektif, baik internal maupun eksternal, dapat membantu meningkatkan akuntabilitas dan mencegah penyalahgunaan wewenang.
Â
2. Reformasi Birokrasi dan Pelayanan Publik:
 - Penyederhanaan Birokrasi: Birokrasi yang rumit dan berbelit-belit seringkali menjadi celah bagi terjadinya korupsi. Reformasi birokrasi yang berfokus pada penyederhanaan prosedur, pengurangan birokrasi, dan peningkatan efisiensi dapat membantu mengurangi peluang korupsi. Sistem pelayanan publik yang mudah diakses, transparan, dan terintegrasi akan meminimalkan kontak langsung antara masyarakat dan pejabat publik, sehingga mengurangi potensi korupsi.
- Peningkatan Kompetensi dan Profesionalitas Aparatur: Aparatur negara yang profesional dan berintegritas merupakan kunci dalam mencegah korupsi. Peningkatan kompetensi dan profesionalitas aparatur melalui pelatihan, pendidikan, dan pengembangan karier dapat membantu membangun budaya kerja yang berintegritas dan berorientasi pada pelayanan publik. Sistem seleksi dan promosi yang transparan dan meritokratis juga penting untuk memastikan bahwa pejabat publik memiliki kompetensi dan integritas yang tinggi.
Â
3. Penguatan Budaya Anti-Korupsi:
 - Pendidikan Karakter dan Etika: Pencegahan korupsi harus dimulai sejak dini melalui pendidikan karakter dan etika.Â
Pendidikan anti-korupsi harus dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan formal dan non-formal, agar anak-anak dan generasi muda memahami nilai-nilai moral dan etika yang penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Peningkatan kesadaran masyarakat tentang bahaya korupsi dan peran mereka dalam mencegahnya juga penting.
- Sosialisasi dan Kampanye Anti-Korupsi: Sosialisasi dan kampanye anti-korupsi secara masif dapat membantu meningkatkan kesadaran masyarakat tentang bahaya korupsi dan mendorong partisipasi aktif dalam upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi.Â
Pengembangan media massa, media sosial, dan platform digital yang efektif dapat membantu menyebarkan pesan anti-korupsi dan membangun opini publik yang mendukung upaya pemberantasan korupsi.
- Peningkatan Peran Masyarakat Sipil: Masyarakat sipil memiliki peran penting dalam mengawasi dan mengadvokasi upaya pemberantasan korupsi.Â
Organisasi masyarakat, LSM, dan media massa dapat berperan aktif dalam memantau kinerja lembaga pemerintahan, mengungkap kasus korupsi, dan mendorong transparansi dan akuntabilitas. Kerjasama yang erat antara pemerintah dan masyarakat sipil sangat penting dalam membangun sistem pencegahan dan pemberantasan korupsi yang efektif.
Â
4. Peningkatan Kesejahteraan dan Keadilan Sosial:
 - Pengentasan Kemiskinan dan Ketimpangan: Kemiskinan dan ketimpangan sosial seringkali menjadi faktor pendorong terjadinya korupsi.Â
Upaya pengentasan kemiskinan dan pengurangan ketimpangan sosial melalui program-program pembangunan yang inklusif, akses pendidikan dan kesehatan yang merata, dan peningkatan kesempatan kerja dapat membantu mengurangi tekanan ekonomi yang mendorong individu untuk melakukan tindakan koruptif.
- Peningkatan Kesadaran Hukum: Kesadaran hukum masyarakat yang rendah dapat mempermudah terjadinya korupsi. Peningkatan kesadaran hukum melalui program-program edukasi, sosialisasi, dan penyebarluasan informasi hukum dapat membantu masyarakat memahami hak dan kewajibannya, serta konsekuensi hukum dari tindakan koruptif.
Â
5. Pengembangan Teknologi dan Inovasi:
 - Penerapan Teknologi Informasi: Teknologi informasi dapat membantu meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan negara dan proses pengambilan keputusan. Sistem e-government, e-procurement, dan e-budgeting dapat membantu meminimalkan intervensi manusia dan mengurangi peluang korupsi.
- Pemanfaatan Data dan Analisis: Data dan analisis dapat membantu mengidentifikasi pola dan tren korupsi, sehingga memudahkan upaya pencegahan dan penindakan. Pemanfaatan big data, machine learning, dan artificial intelligence dapat membantu mengoptimalkan proses pengawasan dan deteksi korupsi.
Dampak jika Korupsi tidak dicegah
Korupsi yang tidak dicegah dapat menyebabkan berbagai dampak negatif yang signifikan. Berikut adalah beberapa dampak utama:
1. Ketidakadilan Sosial:
  - Kesenjangan Sosial: Sumber daya yang seharusnya digunakan untuk kesejahteraan masyarakat dialihkan untuk kepentingan pribadi pejabat korup, memperbesar kesenjangan sosial dan menghambat akses masyarakat terhadap layanan publik yang berkualitas.
2. Hilangnya Kepercayaan Publik:
  - Stabilitas Politik Terancam: Korupsi menghancurkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan institusi publik, yang dapat mengancam stabilitas politik dan menghambat pembangunan berkelanjutan.
3. Penghambatan Pembangunan Ekonomi:
  - Pertumbuhan Ekonomi Terhambat: Dana yang seharusnya digunakan untuk infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan disalahgunakan, mengakibatkan biaya tinggi untuk mengatasi dampak korupsi dan menghambat pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
4. Keterbatasan Akses Terhadap Layanan Publik:
  - Kualitas Hidup Menurun: Korupsi menghambat akses masyarakat terhadap layanan publik yang berkualitas, seperti pendidikan dan kesehatan, karena dana yang seharusnya digunakan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat dialihkan untuk kepentingan pribadi pejabat korup.
5. Penurunan Kepercayaan Terhadap Lembaga Negara:
  - Citra Negatif Pemerintah: Korupsi menciptakan citra negatif terhadap pemerintah dan lembaga publik, menggerus fondasi kepercayaan publik yang merupakan aspek vital dalam menjaga stabilitas negara.
6. Penghambatan Pembangunan Infrastruktur:
  - Akses Terbatas: Dana yang seharusnya digunakan untuk membangun infrastruktur disalahgunakan, mengakibatkan kesulitan akses terhadap layanan publik yang berkualitas bagi masyarakat.
7. Penghambatan Pembangunan Sumber Daya Manusia:
  - Pendidikan dan Kesehatan Terabaikan: Dana yang seharusnya digunakan untuk pendidikan dan kesehatan disalahgunakan, mengakibatkan kesulitan akses terhadap pendidikan dan kesehatan yang berkualitas bagi masyarakat.
Fenomena kejahatan korupsi di Indonesia dengan teori psikoanalisis Sigmund Freud
Menghubungkan teori psikoanalisis Sigmund Freud dengan fenomena kejahatan korupsi di Indonesia dapat memberikan wawasan yang mendalam tentang motivasi individu yang terlibat dalam tindakan koruptif. Berikut adalah beberapa kasus nyata yang dapat dianalisis melalui perspektif Freud:
Kasus Korupsi E-KTP
Kasus korupsi proyek Kartu Tanda Penduduk Elektronik (E-KTP) adalah salah satu skandal terbesar di Indonesia. Proyek ini melibatkan dana sebesar Rp 5,9 triliun, di mana sekitar Rp 2,3 triliun diduga diselewengkan oleh sejumlah pejabat tinggi dan anggota DPR.
Analisis Freud:
Dorongan dasar untuk mendapatkan keuntungan pribadi dan kekuasaan tanpa mempedulikan moralitas atau hukum. Para pelaku mungkin menggunakan rasionalisasi untuk membenarkan tindakan mereka, seperti kebutuhan untuk mendanai kampanye politik atau mempertahankan kekuasaan. Kegagalan dalam internalisasi nilai-nilai moral dan etika, yang seharusnya mengontrol dorongan id.
Kasus Korupsi Hambalang
Kasus korupsi proyek pembangunan Pusat Pendidikan, Pelatihan, dan Sekolah Olahraga Nasional di Hambalang melibatkan sejumlah pejabat tinggi, termasuk mantan Menteri Pemuda dan Olahraga, Andi Mallarangeng. Proyek ini merugikan negara hingga Rp 706 miliar.
Analisis Freud:
Keinginan untuk memperkaya diri sendiri dan kelompoknya dengan cepat. Penggunaan berbagai strategi untuk menyembunyikan tindakan korupsi, seperti manipulasi dokumen dan kolusi dengan pihak lain. Lemahnya pengawasan internal dan eksternal yang seharusnya menegakkan nilai-nilai integritas dan akuntabilitas.
Kasus Korupsi BLBI
Kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) adalah salah satu kasus korupsi terbesar yang melibatkan penyalahgunaan dana bantuan untuk bank-bank yang mengalami kesulitan likuiditas pada krisis ekonomi 1997-1998. Kerugian negara diperkirakan mencapai Rp 138 triliun.
Analisis Freud:
Dorongan untuk memanfaatkan situasi krisis demi keuntungan pribadi. Pelaku mungkin menggunakan berbagai justifikasi untuk tindakan mereka, seperti menyelamatkan ekonomi atau bank tertentu. Kegagalan dalam menegakkan hukum dan etika bisnis yang kuat, serta lemahnya sistem pengawasan.
Bagaimana teori Sigmund Freud dapat diterapkan dalam menganalisis kasus korupsi di Indonesia?
Teori Sigmund Freud, terutama konsep-konsep seperti Id, Ego, dan Superego, dapat memberikan wawasan yang menarik dalam menganalisis kasus-kasus korupsi di Indonesia. Berikut adalah beberapa cara bagaimana teori Freud dapat diterapkan:
Id, Ego, dan Superego:
Id: Bagian dari kepribadian yang berisi dorongan-dorongan primitif dan naluriah, seperti keinginan untuk kekuasaan dan kekayaan. Dalam konteks korupsi, Id dapat mendorong individu untuk melakukan tindakan korupsi demi memenuhi keinginan pribadi tanpa mempertimbangkan konsekuensi moral atau hukum.
Ego: Berfungsi sebagai penengah antara Id dan realitas. Ego mencoba memenuhi keinginan Id dengan cara yang realistis dan dapat diterima secara sosial. Dalam kasus korupsi, Ego mungkin mencari cara-cara yang tampak sah atau tersembunyi untuk melakukan korupsi.
Superego: Mewakili nilai-nilai moral dan etika yang dipelajari dari masyarakat dan orang tua. Superego berfungsi sebagai pengontrol yang menekan dorongan-dorongan Id yang tidak sesuai dengan norma sosial. Namun, jika Superego lemah atau terabaikan, individu mungkin lebih mudah tergoda untuk melakukan korupsi.
Mekanisme Pertahanan:
Freud juga mengemukakan konsep mekanisme pertahanan seperti rasionalisasi, di mana individu mencoba membenarkan tindakan korupsi mereka dengan alasan yang tampak logis atau dapat diterima. Misalnya, seorang pejabat mungkin merasionalisasi korupsi dengan berpikir bahwa mereka layak mendapatkan lebih karena gaji yang rendah.
Ketidaksadaran:
Freud menekankan pentingnya ketidaksadaran dalam mempengaruhi perilaku manusia. Banyak tindakan korupsi mungkin didorong oleh dorongan atau trauma yang tidak disadari, seperti rasa tidak aman atau kebutuhan untuk kompensasi atas pengalaman masa lalu yang negatif.
Penerapan Teori Korupsi Sigmund Freud dan Fenomena Kejahatan Korupsi di Indonesia
Teori Sigmund Freud, khususnya konsep Id, Ego, dan Superego, dapat memberikan wawasan yang menarik dalam memahami motivasi dan dinamika di balik fenomena kejahatan korupsi di Indonesia. Berikut adalah beberapa cara teori Freud dapat diterapkan:
 1. Dorongan Id dan Keinginan Primitif:
 Freud menggambarkan Id sebagai bagian dari kepribadian yang didorong oleh keinginan primitif dan naluriah, seperti keinginan untuk kekuasaan, kekayaan, dan kepuasan instan. Dalam konteks korupsi, Id dapat mendorong individu untuk melakukan tindakan koruptif demi memenuhi keinginan pribadi tanpa mempertimbangkan konsekuensi moral atau hukum.
- Contoh: Seorang pejabat yang tergiur oleh tawaran suap untuk menguntungkan dirinya sendiri, meskipun mengetahui tindakan tersebut melanggar hukum dan merugikan masyarakat.
Â
2. Peranan Ego dan Pencarian Kepuasan:
 Ego berfungsi sebagai penengah antara Id dan realitas. Ego mencoba memenuhi keinginan Id dengan cara yang realistis dan dapat diterima secara sosial. Dalam kasus korupsi, Ego mungkin mencari cara-cara yang tampak sah atau tersembunyi untuk melakukan tindakan koruptif.
- Contoh: Seorang pejabat yang menggunakan celah hukum atau memanfaatkan peraturan yang rumit untuk melakukan korupsi, dengan meyakinkan dirinya bahwa tindakan tersebut masih dalam batas kewenangannya.
Â
3. Kekuatan Superego dan Moralitas:
 Superego mewakili nilai-nilai moral dan etika yang dipelajari dari masyarakat dan orang tua. Superego berfungsi sebagai pengontrol yang menekan dorongan-dorongan Id yang tidak sesuai dengan norma sosial. Namun, jika Superego lemah atau terabaikan, individu mungkin lebih mudah tergoda untuk melakukan korupsi.
- Contoh: Seorang pejabat yang memiliki moralitas yang lemah dan tidak memiliki rasa tanggung jawab atas tindakannya, sehingga mudah terpengaruh oleh tawaran suap atau peluang untuk memperkaya diri sendiri.
Â
4. Mekanisme Pertahanan dan Penyangkalan:
 Freud mengidentifikasi berbagai mekanisme pertahanan yang digunakan oleh Ego untuk melindungi diri dari kecemasan dan konflik internal. Dalam konteks korupsi, individu mungkin menggunakan rasionalisasi, proyeksi, atau penyangkalan untuk membenarkan tindakan mereka.
- Contoh: Seorang pejabat yang merasionalisasi korupsinya dengan berpikir bahwa mereka layak mendapatkan lebih karena gaji yang rendah, atau menyalahkan sistem yang korup atas tindakan mereka.
Â
5. Pengaruh Ketidaksadaran:
 Freud menekankan pentingnya ketidaksadaran dalam mempengaruhi perilaku manusia. Banyak tindakan korupsi mungkin didorong oleh dorongan atau trauma yang tidak disadari, seperti rasa tidak aman atau kebutuhan untuk kompensasi atas pengalaman masa lalu yang negatif.
- Contoh: Seorang pejabat yang melakukan korupsi karena merasa tidak aman dalam posisinya dan ingin membuktikan dirinya, atau karena trauma masa lalu yang membuat mereka merasa tidak layak mendapatkan kekayaan dan kekuasaan.
Daftar pustakaÂ
P Burlian. (2016). . Jurnal Patologi Sosial.Â
Iskandar. (2012). kajian dari perspektif Konsep Etika Uber Ich Sigmund Freud dan Good Governance. MENTALITAS KORUPSI, KOLUSI, DAN NEPOTISME DALAM PENYELENGGARAAN OTONOMI DAERAH. 22-26.
Dimas Dhanang Sutawijaya. (2020). Pelaksanaan Pembinaan Kepribadian Bagi Narapidana Tindak Pidana Korupsi Di Lembaga Pemasyarakatan Kelas Iia Cibinong. Volume 7 Edisi II.Â
Ardiansyah, Sarinah, Susilawati, Juanda. (2022.) Kajian Psikoanalisis Sigmund Freud. Jurnal Kependidikan. 25-28.
Utami Oktafiani. (2019). KONTEKSTUALISASI TEORI PSIKOANALISA FREUD DALAM MENTAL KORUPTOR DI INDONESIA.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H