Mohon tunggu...
Jeni fitriasha
Jeni fitriasha Mohon Tunggu... -

Eks. mahasiswa Psikologi. Pemilik sunyiberdialog.tumblr.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Dalam Kereta yang Sedang Melaju Itu...

10 Juni 2016   20:54 Diperbarui: 10 Juni 2016   21:09 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Bapak memangkuku ketika kereta mulai bergerak maju. Kulihat wajah bapak yang sudah mulai menua, perasaan cemas terpancar jelas. Bapak tak henti-hentinya melihatku sambil memperbaiki letak kepalaku dan menutupinya dengan jaket kesayangannya. Sesekali kulihat bapak menitikkan air mata. Sesekali bapak menebar senyum pada orang-orang yang menyapanya sambil memangkuku dengan hati-hati.

“Anak Bapak?”

Sontak bapak menengok ke samping kiri memburu suara yang baru saja berbunyi. Aku melihat seorang wanita setengah baya sedang memberi bapak senyuman. Wanita itu juga sedang memangku anaknya.

“Oh, iya ini anak saya,” jawab bapak sambil mengelap dahinya yang tiba-tiba saja sudah berkeringat.

“Siapa namanya Pak?” tanya wanita setengah baya itu lagi sambil menatap wajahku.

“Ruminah. Dia... dia sedang tidur. Kalau dia tidur susah dibangunkan,” kata bapak.

“Pulas sekali tidurnya ya Pak. Tapi apa dia sehat-sehat saja? Kelihatannya wajahnya pucat.”

“Oh... e... iya... dia lagi sakit. Sakit perut. Jadi saya kasih saja dia obat anti mabuk biar tidur.”

“Sama, anak saya juga begitu. Suka muntah-muntah kalau diajak jalan jauh. Tiap mau pergi saya kasih obat anti mabuk. Susah kalau tiba-tiba dia muntah. Bisa repot,” jelas wanita setengah baya itu sambil menyeringai.

“Anak Ibu siapa namanya?” tanya bapak sambil melihat anak yang sedang dipangku wanita itu.

“Inge, umurnya 3 tahun. Anak Bapak umurnya 3 tahun juga?”

“...”

“Pak?”

“Iya, anak saya... umurnya 3 tahun. Besok adalah hari ulang tahunnya. Kami disuruh pulang kampung sama ibunya. Ibunya... mau melahirkan sekitar minggu ini. Saya...”

“Loh Pak? Kok jadi sedih? Bapak tidak apa-apa?”

“...”

“Selamat ulang tahun ya buat anak Bapak, semoga panjang umur dan sehat selalu. Masa depannya cerah dan dapat jodoh yang baik. Sayang dia masih tidur.”

“Iya, dia masih tidur. Dan tak mau dibangunkan.”

“Anak saya malah susah tidur. Ini paling sebentar lagi bangun.”

“Ruminah suka sekali naik kereta. Sudah dari dua minggu yang lalu dia merengek-rengek minta jalan-jalan naik kereta. Harusnya kami pulang minggu lalu. Tapi karena saya tak punya ongkos buat pulang jadi bisanya baru sekarang.”

“Pekerjaan Bapak apa?”

“Saya cuma pemulung. Kami tinggal di kolong jembatan. Rumah kami terbuat dari seng dan bekas kardus. Saya kasihan dengan Ruminah yang harus ikut saya ke kota. Padahal sudah saya larang tapi dia ngeyel. Dia anak yang rajin. Tiap hari dia bantu saya punguti sampah-sampah yang masih berguna. Dia tak peduli mau cuaca panas, hujan atau angin badai. Beruntung sekali saya punya anak seperti Ruminah. Dia tidak pernah protes jika 1 hari tak ada makanan. Malah dia yang berinisiatif mencari makanan sendiri. Dia tak malu harus meminjam bahan makanan ke tetangga atau bahkan memintanya. Saya...”

“Bapak kenapa menangis? Ada apa Pak?” wanita setengah baya itu mencoba menenangkan bapak.

Bapak yang tadi sempat membungkukkan badan menahan air mata seketika kembali duduk tegap. Ia langsung mengeratkan kembali pangkuannya. Ia kembali membenarkan letak kepala dan jaket yang ia letakkan di kepalaku.

“Saya baik-baik saja Buk. Saya cuma... tidak tahan... harus..”

“Hidup memang seperti itu Pak. Pekerjaan saya tukang pijat. Kadang saya bosan harus selalu memegang tubuh orang lain dan mengeluarkan tenaga untuk mengurut-urut mereka. Sering kali tenaga saya tak sebanding dengan uang sukarela yang mereka berikan. Tapi saya tetap mencoba ikhlas. Sebisa mungkin saya melayani mereka dengan lapang dada. Asalkan kita bisa menerima segala keadaan dengan ikhlas, pasti hasilnya baik. Lagi pula pekerjaan itu tidak jadi beban untuk kita. Betulkan Pak?”

“Iya Buk,” jawab bapak sambil menyeka air matanya dengan lengan bajunya.

Beberapa jam kemudian suasana hening. Wanita setengah baya itu sudah terlelap. Malam semakin tinggi. Hampir semua penumpang tertidur. Kecuali bapak. Mata bapak masih nyalang. Menatap nanar ke langit-langit kereta. Sesekali terlihat ada kilauan yang memenuhi matanya. Sesekali ia pejamkan matanya sambil meringis.

Tepat jam 12 malam, bapak memegang wajahku. Melihatku dengan tatapan penuh kasih. Matanya sekali lagi berkaca-kaca. Bibirnya berusaha menahan rintihan. Wajahnya menyerngit menahan tangis.

“Ru... Ruminah...” bapak menyeka sekali lagi air matanya. Entah sudah berapa ratus kali selama hari ini bapak menyeka wajahnya dengan lengan bajunya yang sudah tampak kotor dan basah.

“Ruminah...” bapak menyingkirkan jaket kesayangannya dari kepalaku.

“Se... selamat ulang tahun Nak,” kata bapak terseduh-sedu.

“Semoga...”

“....” bapak mulai menangis. Air matanya sudah tak bisa tertampung lagi. Kantong matanya sudah cukup sembab.

“Semoga kamu... senang berada dipangkuanNya, Anakku...”

Bapak menenggelamkan wajahnya di dadaku. Menumpahkan semua air matanya. Mencoba meredam suara tangisnya. Dan kereta tetap saja melaju tanpa ampun. Dan orang-orang tetap saja tidur tanpa terganggu.

Anak perempuan wanita setengah baya yang duduk disamping bapak terbangun. Lalu memandangi bapak.

“Bapak jangan menangis, nanti anaknya bangun.”

***

*Terbit di Majalah Budaya Riau Sagang Juni 2010

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun