“Bapak kenapa menangis? Ada apa Pak?” wanita setengah baya itu mencoba menenangkan bapak.
Bapak yang tadi sempat membungkukkan badan menahan air mata seketika kembali duduk tegap. Ia langsung mengeratkan kembali pangkuannya. Ia kembali membenarkan letak kepala dan jaket yang ia letakkan di kepalaku.
“Saya baik-baik saja Buk. Saya cuma... tidak tahan... harus..”
“Hidup memang seperti itu Pak. Pekerjaan saya tukang pijat. Kadang saya bosan harus selalu memegang tubuh orang lain dan mengeluarkan tenaga untuk mengurut-urut mereka. Sering kali tenaga saya tak sebanding dengan uang sukarela yang mereka berikan. Tapi saya tetap mencoba ikhlas. Sebisa mungkin saya melayani mereka dengan lapang dada. Asalkan kita bisa menerima segala keadaan dengan ikhlas, pasti hasilnya baik. Lagi pula pekerjaan itu tidak jadi beban untuk kita. Betulkan Pak?”
“Iya Buk,” jawab bapak sambil menyeka air matanya dengan lengan bajunya.
Beberapa jam kemudian suasana hening. Wanita setengah baya itu sudah terlelap. Malam semakin tinggi. Hampir semua penumpang tertidur. Kecuali bapak. Mata bapak masih nyalang. Menatap nanar ke langit-langit kereta. Sesekali terlihat ada kilauan yang memenuhi matanya. Sesekali ia pejamkan matanya sambil meringis.
Tepat jam 12 malam, bapak memegang wajahku. Melihatku dengan tatapan penuh kasih. Matanya sekali lagi berkaca-kaca. Bibirnya berusaha menahan rintihan. Wajahnya menyerngit menahan tangis.
“Ru... Ruminah...” bapak menyeka sekali lagi air matanya. Entah sudah berapa ratus kali selama hari ini bapak menyeka wajahnya dengan lengan bajunya yang sudah tampak kotor dan basah.
“Ruminah...” bapak menyingkirkan jaket kesayangannya dari kepalaku.
“Se... selamat ulang tahun Nak,” kata bapak terseduh-sedu.
“Semoga...”