“Ah, maaf… aku sampai di sini saja. Aku hanya ingin memberimu ini. Nanti kamu harus isi dengan cerita, ya. Akan aku ketikkan dan aku kirim ke penerbit,” kata Rinjani sambil memberikan sebuah buku warna biru dongker kepada Palung.
“Apa?”
“Kenapa?”
“Ah, tidak! Tidak! Tidak apa-apa. Hanya saja akhir-akhir ini aku sulit bercerita, Sayang.”
“Kamu harus bercerita karena kamu penulis dan pendongeng! Kalau kamu tidak mau bercerita, aku berhenti jadi kekasihmu!”
Rinjani melangkah pergi dengan kesal. Rambutnya yang panjang dan hitam legam bergerak bercahaya dibias terik matahari. Palung menatap punggung Rinjani sambil memegang buku yang baru saja diberikan perempuan itu. Setelah hari itu Palung hanya bisa diam saja. Tidak mau bicara bahkan melakukan hal yang berarti. Ia hanya diam saja di dalam kamarnya, di meja kerjanya. Duduk dengan memegang pena. Buku yang diberikan Rinjani terbuka dan masih kosong di hadapannya. Ia benar-benar tidak tahu harus bercerita apa. Bahkan ia tidak bisa mengawali satu kata pun di buku itu.
Malam-malam terus berganti. Palung merasa benar-benar kosong. Ia ingat pesan yang ditinggalkan pencuri imajinasinya waktu itu, “Selamat menikmati kekosongan!” Mengingat itu, Palung menenggelamkan kepalanya ke dalam lipatan tangannya di atas meja. Ia kembali menangis.
*
“Sudah empat hari kenapa pencurinya belum juga tertangkap, Pak!”
Palung di kantor polisi lagi. Ia menggertak Marlokot, polisi yang menangani laporannya. Marlokot hanya duduk santai sambil meneguk kopinya sesekali.
“Bagaimana kami bisa menangkapnya kalau ciri-cirinya saja tidak ada,” kata Marlokot sembari mengedipkan sebelah matanya ke arah polisi yang duduk tidak jauh dari Palung.