“Pokoknya waktu saya bangun, jendela sudah terbuka dan saya menemukan ini di samping saya tidur.” Palung memamerkan secarik kertas yang ia temukan.
“Kalau bukan pencuri siapa lagi yang mengendap-endap masuk dari jendela dan keluar dari jendela pula!” bentak Palung.
Polisi itu bergidik mendengar suara Palung yang sudah mulai tinggi. Laki-laki tinggi kurus itu langsung menutup catatannya dan melipat kedua tangannya di atas meja kemudian mencondongkan badannya ke depan, lebih dekat dengan wajah Palung. Palung kaget, lalu membenarkan kembali posisi duduknya. Mencoba menahan emosi dengan cara menepuk-nepuk dadanya sendiri.
“Dari mana Anda tahu itu benar-benar pencuri?” tanya polisi muda itu dengan mata melotot.
Palung menggaruk-garuk kepalanya sekali lagi. Lalu ia melihat ke sekeliling seolah-olah sedang berusaha mencari sesuatu.
“Perasaan saya mengatakan demikian, Pak!” cetus Palung dengan raut muka penuh keyakinan.
“Ya, sudah. Nanti akan saya beritahu jika ada perubahan. Tunggu satu atau dua hari lagi. Silahkan Anda pulang dulu. Dan tinggalkan alamat serta nomor telepon.”
Polisi itu lalu mengambil alat tulisnya kembali dan mencatat dengan malas-malasan alamat serta nomor telepon yang dijabarkan Palung. Setelah itu Palung ke luar dari kantor polisi dan pergi ke panti asuhan, tempat biasa ia mendongeng.
*
“Om, kali ini cerita apa?” tanya Aksa, bocah ingusan yang suka sekali pakai baju kuning. Kakaknya waktu itu, berkata padanya bahwa warna kuning berlambang keberuntungan. Maka, setelah kakaknya pergi dan menitipkannya di panti asuhan ini ia selalu memakai baju warna kuning. Padahal kakaknya tidak pernah kembali lagi, sudah dua tahun lamanya.
Palung terdiam menatap mata Aksa yang berbinar-binar. Bocah itu sudah duduk rapi di bangku kecilnya dengan tangan terlipat di atas meja. Senyumnya mengembang, menampakkan sebagian gigi yang beberapa diantaranya hilang. Anak-anak yang lain mengikutinya. Mereka duduk diam sambil menunggu Palung bercerita. Palung menelan ludahnya, ia mencoba tenang sambil mencari-cari cerita yang bagus untuk didongengkan. Tapi sudah hampir lima belas menit ia tidak menemukan ide untuk bercerita. Ia benar-benar kehilangan imajinasinya. Tidak ada apa-apa di dalam pikirannya. Ia bahkan lupa bagaimana cara merangkai kata untuk memulai cerita. Segalanya hanyalah kekosongan.