Mohon tunggu...
Fahmi Rijal
Fahmi Rijal Mohon Tunggu... -

"Walau huruf habislah sudah, alifbataku belum sebatas Allah..." {Sutardji Calzoum Bachri}

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Hujan Turun

5 Januari 2013   11:09 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:29 341
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Suatu waktu kini.

“Dia sudah lupa semua tentang KAMU, jadi tolong jangan ganggu dia lagi!”

DIA hanya terpaku mendengar kata-kata itu keluar dari mulut seorang perempuan yang IA kenal. Perempuan itu pergi begitu saja tanpa mengatakan apa-apa lagi.  DIA sama sekali tak mengerti saat itu, namun suatu saat nanti DIA akan mengerti. Dan DIA hanya bisa menitikan airmata.

Langit yang sudah beranjak cerah hujan lagi.

t(^.^t)

Aku mengenalnya memang belum cukup lama, terhitung hampir 3 tahun sejak kami masuk SMA. Tapi persahabatan kami membuatku mengenalnya begitu dalam. Singkatnya, antara aku dan dia tak ada sama sekali rahasia. Baik tentang cinta, keluarga, sekolah, tentang apapun.

Dia orang yang kuat, orang paling kuat yang pernah kukenal. Karena bahkan saat dia tak punya kekuatan untuk dirinya sendiri, dia tetap bisa memberi kekuatan untuk orang lain. Dia sederhana, bukan dari keluarga orang kaya, tidak terlalu banyak bicara dan melucu, bahkan cendrung lebih banyak diam. Sehingga apabila kau mengenal luarnya saja, dia terasa membosankan. Singkatnya, dia belum tentu ada di saat kau tertawa, tapi dia akan selalu ada di hadapanmu saat kau terduduk menangis.

Dia terkadang acuh tak acuh terhadap perkataan sekitar. Atas apa yang orang katakan secara negatif tentang dia, dia seakan tutup telinga. Maka dia adalah dia. Kekokohannya membuat dia menjadi dia yang apa adanya. Tapi kekokohan itu pun akhirnya runtuh oleh seorang perempuan. Ayolah kawan, apa lagi yang bisa memperdaya seorang lelaki kuat selain kepolosan wanita?

Senyumnya hilang, tak ada lagi tawanya, tak ada lagi lawakannya yang terkadang garing. Dia mati, benar-benar mati. Terlalu banyak memberikan kekuatan pada orang lain, dia lupa untuk memberikan kekuatan untuk dirinya sendiri.  Dia hancur. Padahal aku tahu dia pernah mengalami masalah yang lebih berat dari pada cinta, masalah keluarga misalnya. Tapi kawan, kau tahulah kalau cinta itu ‘non un-analogica’.

Maka setelah ’kejadian itu’, kami kembali melihat tawanya, dia hidup lagi. Kami senang (termasuk aku). Walau terkadang kurasakan setiap tawa yang keluar dari mulutnya itu adalah kebohongan. Palsu.  Tapi tak apalah, toh kami merindukannya dulu.

Namun semua kemungkinan buruk dari ‘kejadian itu’ datang, benar-benar kusadari saat kulihat dia duduk merenung diatas meja sambil memandang keluar jendela. Diluar hujan. Pandangannya lurus ke arah kantin sekolah. Tentu saja aku tahu siapa yang dilihatnya. Tentu saja dia sedang melihat DIA.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun