Mohon tunggu...
Fahmi Rijal
Fahmi Rijal Mohon Tunggu... -

"Walau huruf habislah sudah, alifbataku belum sebatas Allah..." {Sutardji Calzoum Bachri}

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Hujan Turun

5 Januari 2013   11:09 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:29 341
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Karena pendekatan secara langsung gagal, kugunakan strategi kedua. Pendekatan secara tidak langsung tentu saja. Entah lewat pesan singkat atau jejaring sosial. Namun tetap saja hopeless. DIA seperti trauma menjalin hubungan dengan siapa pun. Hanya menjawab pesanku sesekali. Namun semakin aku tahu tentang DIA, semakin aku merasa mengenalnya, di seperti hidup di masa laluku. DIA ada, namun terselimut bayang-bayang.

Pernah kuhampiri DIA di suatu sudut sekolah. Dan untuk kali itu DIA tidak menghindar. Kami hanya berbicara hal-hal kecil beberapa menit. Namun tiba-tiba DIA terisak.

“Kak, lebih baik kita ga usah menjalin hubungan apapun. Kita cuma akan nyakitni hati kita masing-masing lagi...” katanya. Kulihat mukanya memerah menahan tangis lalu pergi begitu saja.

Hei?!?! Apa maksud dari semua ini??? Bukankah aku baru saja mengenalMU. Aku bahkan baru memulai untuk menjalin hubungan denganMU...!!!

Dan sejak itu aku mulai seperti merindukanNYA. Bukankah kata rindu sangat rancu digunakan untuk orang yang belum pernah menjalin hubungan apapun? Untuk orang yang baru dikenal? Namun aku merindukanNYA...

Terutama, di saat hujan...

t(^.^t)

Cinta adalah sugesti yang sangat kuat

Tak ada yang lebih indah daripada hujan di hari sabtu. Apalagi kalau tanpa petir. Tentu saja karena besoknya adalah hari minggu, dan tak perlu takut sakit jikalau mandi hujan. Jam sekolah telah usai, namun banyak murid yang masih tinggal disekolah karena memang langit sedari tadi hujan. Tak ragu kulepaskan sepatu, dan turun menikmati euforianya. Menyenangkan. Menenangkan.

Hujan adalah penghubung langit dan bumi yang tidak pernah menyatu, maka kau bisa bebicara dengan langit di saat hujan. Entah kata siapa itu, tapi itu juga benar adanya. Kusapukan pandanganku ke seluruh sekolah, dan aku melihat DIA.

DIA sedang duduk di depan kelas, tangannya terjulur meraih hujan. DIA memang tidak turun ke tengah-tengah hujan, tapi DIA menikmati hujan sama seperti aku. Seperti bayi yang terpesona melihat langit untuk pertama kalinya, seperti anak kecil yang terpesona pada boneka  barunya. Tak peduli kalau percikan air membasahai pakaianNYA. DIA sangat menikmatinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun