Mohon tunggu...
Jayanto
Jayanto Mohon Tunggu... Programmer - passion - family - meditation

passion - family - meditation

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Dukkha: Kebahagiaan Cara Buddhisme yang Jarang Diungkap

31 Desember 2016   14:49 Diperbarui: 7 Januari 2017   09:54 244
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Senja di Lombok (koleksi pribadi)

Begitu mata terbuka setiap pagi, mulailah kehidupan nyata yang harus dilalui. Tidur yang tidak nyenyak, tapi sudah pagi. Harus bangun, tapi masih ingin tidur. Tidur yang nyaman harus diabaikan, kewajiban, tugas, pekerjaan sudah menunggu. Hari ini tidur kurang puas.

Siap-siap melaksanakan tugas, bersih-bersih badan, sayangnya pasta gigi sudah habis. Terpaksa gosok gigi tanpa pasta gigi. Rasanya tidak nyaman, tapi apa boleh buat. Nanti sore harus beli pasta gigi, jangan sampai tak gosok gigi lagi nanti malam, mulut bisa bau. Tidak nyaman rasanya.

Sarapan hari ini enak, nasi uduk pakai telur balado. Sayang oseng tempenya tidak ada, tapi lumayan. Kalau ada oseng tempe pasti lebih mantab lagi.

Perjalanan menuju tempat kerja, ada saja gangguan. Pengendara motor seenaknya saja masuk di jalur yang sempit, bikin geregetan. Ingin rasanya memukul. Perjalanan ke tempat tujuan yang melelahkan. Jalan yang macet, pengendara yang seenaknya, benar-benar tidak memuaskan.

Begitu tiba di kantor, terasa nyaman. Suhu udara di kantor, memang menyejukan setelah perjalanan yang melelahkan. Tapi, ketika musim hujan, udara di kantor bikin badan membeku. Dingin, harus pakai jaket.

Entah kenapa hari pula atasan uring-uriangan terus. Untung sudah waktu makan siang, bisa sebentar istirahat. Teman kantor memang teman yang asik untuk ngobrol sambil makan siang. Tapi sayang, waktu istirahat sudah habis, kerjaan masih menanti.

Sore sudah tiba, waktu kerja sudah usai. Kembali berjuang pulang ke rumah dengan segala macam rintangan di jalan. Makan malam dengan gembira bersama keluarga, sayangnya badan sudah letih jadi harus istirahat.

Begitulah kehidupan sehari-hari, berulang dan berulang. Walaupun berbeda hari, berbeda bulan, berbeda tempat semuanya berjalan seperti roda naik dan turun. Ada ceria, ada sedih. Kadang ada untung, ada juga rugi. Sering dipuji, sering juga dicela. Ada yang menjadi pejabat, ada yang rakyat jelata. Yang diharapan tidak selamanya bertahan, yang tidak diharapkan sering hadir. Hidup yang penuh ketidakpuasan.

Mulai tidur yang tidak cukup, tidak memuaskan (dukkha). Gosok gigi tanpa pasta, dukkha, tidak memuaskan. Jalan yang macet, dukkha, tidak memuaskan. Pekerjaan yang menumpuk, dukkha, tidak memuaskan. Istirahat siang yang asik, sayang hanya sebentar, dukkha, tidak memuaskan.

Makan malam yang penuh kegembiraan bersama keluarga, sayang badan sudah letih, dukkha, tidak memuaskan.

Setiap saat, dukkha, ketidakpuasan selalu mengintai. Ia selalu rajin mengikuti, kemana kita pergi. Bahkan tidurpun ia menunggu kita terbagun untuk hadir segera.

Takterpuaskan, dukkha, ini tak akan pernah sirna sejak lahir sampai mati mati nanti. Begitu terlahirkan, ketidakpuasan, dukkha sudah hadir. Bayi yang tadinya nyaman di dalam kandungan ibunya, tiba-tiba harus menerima kenyataan tidak nyaman lagi, suara yang berisik, rasa yang nyaman dalam kandungan, seketika berubah, bayi berteriak menangis, tidak memuaskan, dukkha.

Bayi yang kecil, tumbuh menjadi besar, hidup berdampingan dengan ketidakpuasan, dukkha. Ketika sakit, rasa yang paling tidak enak, dukkhayang nyata. Berpisah dengan orang yang dicinta, kenyataan pahit yang tidak memuaskan, dukkhayang tak dapat dihindari. Bertemu dengan orang yang kita benci, dukkhayang menyebalkan yang tak terelakan

Usia tua, badan menjadi lemah, tak ada orang yang dapat menghindari usia tua, dukkhayang pasti dialami semua manusia. Ketika kematian tiba, suatu yang ditakuti oleh manusia, walaupun usia sudah tua renta, tapi tetap ingin hidup, tidak puas dengan umurnya yang sudah panjang, dukkha. Jika mati muda, juga tidak puas, dukkha, karena belum cukup menikmati hidup.

Rasa tidak puas, sejatinya kenyataan tidak sesuai harapan. Diharapkan masih dapat melajutkan tidur, kenyataannya harus kerja, dukkha. Sarapan berharap pakai oseng tempe, kenyataan tidak, dukkha. Berharap tetap sehat, harus menerima kenyataan sakit, dukkha. Maunya tetap muda dan kuat, tak dapat terhindar dari menjadi tua dan lemah, dukkha.

Kenyataan yang tak sesuai harapan adalah realita yang harus dihadapi. Keinginan untuk tetap mendapat sesuai harapan ini yang membuat ketidakpuasan hadir, dukkhahadir. Kemelekatan akan sesuatu yang diinginkan membuat ketidakpuasan hadir, dukkhahadir. Kemelekatan, sejatinya yang membuat ketidakpuasan hadir, dukkhahadir.

Ketika berharap perjalanan ke kantor dapat ditempuh dengan lancar, kenyataan yang ada jalan macet. Kemelekatan pada jalan lancar, tapi mendapatkan jalan yang macet, membuat ketidakpuasan hadir, dukkhahadir.

Berharap mendapat keuntungan, tapi mendapatkan kenyataannya rugi. Kemelekatan akan keuntungan, membuat ketidakpuasan hadir, dukkhahadir. Berharap terus dapat dekat dengan ibu yang sangat menyayangi kita, kenyataanya beliau sudah tua dan harus meninggal. Melekat pada orang yang kita cintai, kenyataannya harus berpisah. Kemelekatan pada yang kita cintai, menghadirkan ketidakpuasan, dukkhahadir.

Melekat pada pada sesuatu, membuat kita berjuang untuk menariknya mendekati diri kita. Melekat pada keuntungan, berjuang terus menarik keuntungan. Mencintai seseorang, berjuang terus untuk dekat dengannya.

Kenyataan yang tidak diharapkan, membuat kita berjuang untuk menjauhinya. Tidak suka macet, macet harus dihindari, harus dijauhi. Tidak suka rugi, kerugian harus dihindari, kerugian harus dijauhi. Tidak suka seseorang, harus dihindari, harus dijauhi. Semua yang tidak diharapkan harus didorong sejauh-jauhnya. Mendorong jauh-jauh sesuatu yang tak diharapkan adalah kebencian.

Berharap nyaman, tapi nyaman sudah berlalu. Ketidakpuasan hadir, dukkhahadir karena ada kemelekatan pada rasa nyaman. Jalan yang macet, ketidakpuasan hadir, dukkhahadir karena ada kebencian pada macet.

Ketidakpuasan hadir, dukkhahadir, karena kemelekatan(lobha) dan kebencian(dosa).

Kemelekatan mendorong seseorang melakukan hal yang melanggar moralitas. Melekat pada kekayaaan, membuat seseorang bisa menjadi pefitnah, penipu, pencuri, penodong, perampok, koruptor, menjarah alam, merusak lingkungan, peperangan dan segala macam kejahatan lainnya.

Begitu kemelekatan dipupuk, kebencian hadir melanjutkan. Kebencian mendorong seseorang menjadi pemfitnah, perusak, pembunuh, pembantaian bahkan peperangan.

Semakin besar kemelekatan, semakin besar pula ketidakpuasan, semakin besar dukkha, semakin besar rasa tidak bahagia, semakin besar penderitaan. Kemelekatan yang terus dipupuk tidak pernah akan terpuasakan, kemelekatan akan menjelma menjadi sumber ketidakpuasan yang besar, kemelekatan menjadi sumber penderitaan.

Kebencian yang diumbar, tidak akan menjadi surut, tapi akan tumbuh menjadi besar. Selanjutnya ketidakpuasan mengikutinya, dukkhamengikuti tindakannya, ketidakpuasan yang begitu besar, menciptakan penderitaan.

Pemfinah, pembohong, penodong, pencuri, perampok, koruptor, pembunuh dan semua pelaku kejahatan adalah orang yang tidak puas, orang yang diliputi oleh dukkha, mereka adalah orang yang sedang menderita. Karena mereka tidak pernah bisa merasa puas atas kenyataan hidup yang mereka terima, mereka menderita atas kenyataan hidup yang mereka hadapi.

Kemelekatan karena aku ingin, kebencian karena aku tidak mau. Kemelekatan karena aku mau itu, kabencian karena aku tidak mau itu. Kemelekatan dan kebencian karena aku ingin, aku tidak mau. Kemelekatan dan kebencian karena aku.

Kemelekatan terjadi karena tolok ukur kenyataan berdasarkan aku. Jalan macet karena aku yang mengalami, kalau orang lain aku tak masalah. Rugi karena aku yang mengalami, kalau orang lain aku tak masalah. Kemelekatan dan kebencian menjadi tidak memuaskan karena aku menjadi titik awalnya.

Delusi tentang diri, delusi tentang aku membuat penilaian pada kenyataan menjadi buram, bahkan menjadi gelap.

Catatan:

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia: delusi/de·lu·si/ /délusi/ n Psi pikiran atau pandangan yang tidak berdasar (tidak rasional), biasanya berwujud sifat kemegahan diri atau perasaan dikejar-kejar; pendapat yang tidak berdasarkan kenyataan; khayal

Delusi kalau aku harus memiliki itu, mereka yang kubenci harus tersingkir, aku harus mendapatkan, mereka harus kalah dan selanjutnya, membuat kemelekatan dan kebencian terpupuk dengan baik, bersamaaan dengan ketidakpuasan, dukkha akan pasti hadir.

Takterpuaskan, dukkhasepantasnya mengingatkan diri agar berusaha berjuang untuk terbebaskan darinya.

Jika ingin hidup damai, jauh dari ketidakpuasan, jauh dari dukkha, kemelekatan dan kebencian harus dikikis perlah-lahan. Ketika kemelekatan dan kebencian berkurang, maka rasa damai, akan hadir, penderitaan perlahan sirna.

Mengikis kemelekatan, mengikis kebencian adalah perjuangan panjang yang tak terlihat ujungnya. Untuk memulainya bukanlah hal yang mudah, harus tau menyadari apa itu ketidakpuasan, harus mengerti apa itu dukkha. Selanjutnya mengerti darimana sumbernya ketidakpuasan, darimana sumbernya dukkha. Dengan mengerti sumbernya ketidakpuasan, maka menyadari pula bagaimana melenyapkan ketidakpuasan, melenyapkan dukkha.

Selanjutnya harus melatih secara sungguh-sungguh, agar pikiran tidak diliputi oleh kemelekatan dan kebencian. Ucapan, perbuatan, mata pencaharian semua harus sebebas mungkin dari kemelekatan dan kebencian. Walaupun hidup penuh dengan naik turun, tetap harus berusaha menuju ke tempat yang lebih terang.

Perjuangan yang panjang ini perlu kesungguhan, perhatian agar semua berjalan dengan baik, konsentrasi untuk terus mengurangi kemelekatan dan kebencian harus tetap terjaga agar perjuangan yang panjang ini berhasil dengan baik.

Andai saja kemelekatan dan kebencian benar-benar sirna, maka seseorang sudah bebas dari penderitaan secara sempurna, mereka sudah terbebas dari delusi tentang diri, sudah tercerahkan.

Jakarta, 31 Desember 2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun