Mohon tunggu...
Ahmad Jayakardi
Ahmad Jayakardi Mohon Tunggu... pensiunan -

Kakek2 yang sudah males nulis..............

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Orang Koplak Naik Haji

31 Oktober 2014   15:48 Diperbarui: 30 Oktober 2015   08:34 748
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Terus terang (atau boleh dibilang terang terus) kalo judul ini terinspirasi dari judul “Orang Jawa Naik Haji” karangan sastrawan kita, Danarto. Mekipun rada gag sreg benernya untuk memakainya, tapi daripada pusing mikirin judul, ya sudahlah….

Tentang “Orang Koplak”, ya jelas itu bukan tetangga saya atau tetangganya orang lain. Gak usahlah itu didiskusikan lagi. Rasanya hal ini sudah jelas, apa-siapanya. Ya sudahlah (juga)…

Lantas tentang “Naik Haji”.Nah, inilah yg rada gag sreg. Kata “Naik Haji” ini rasanya terjemahan dari kata “Munggah Kaji (Jawa)” atau “Munggah Haji (Sunda)” yg punya arti “mencapai suatu yg lebih tinggi”. Susahnya, terjemahan kata ini dalam bahasa Indonesia punya konotasi lain yg dalam bahasa Jawa atau Sunda jelas-jemelas harus ditulis dengan “numpak”. Ah, bukan ahli bahasa ini, jadi ,…….yaaaa sudahlah (juga-juga)

Ini hanyalah sebuah catatan ringan dari perjalanan berhaji si Orang Koplak di musim haji 2014 (1435H), tahun ini. Perjalanan ritual yg berat dan penuh makna spiritual, tapi punya sisi lain yg menyenangkan dan koplak……….

Bab Berjenggot.

“Selama perjalanan berhaji, sediakanlah kesabaran sebanyak bulu di badan” petuah sang Ustad sebelum si Orang Koplak berangkat. Inilah yg sangat mengganggu pikiran : ‘bagaimana caranya?’. Pan dari sononya si Orang Koplak ini samasekali bukan orang penyabar?. Kelakuan yg sedikit-sedikit kluarin clurit, rasanya semua orang tau. Lantas solusi yg sesuai dengan pikiran pendek si Orang Koplak, ya sederhana saja.

“Perbanyak saja bulunya”. Beres!.

Dan sejak 4 bulan sebelum berangkat, si Orang Koplak pun sengaja tak bercukur dan membiarkan jenggot dan cambangnya tumbuh semaunya. Hasilnya? Sukses besar!. Sukses besar secara mengerikan, maksudnya…..

Tapi ternyata jenggot dan cambang ini banyak menimbulkan masalah. Masalah lucu tapi menjengkelkan (atau malah menjengkelkan tapi lucu, tergantung dari sisi mana yg melihatnya).

“Are You Hindi?”

Kata si orang Pakistan (atau “Are You Pakistani?” kata si orang India) sok tau. Tadinya heran juga kenapa si Orang Koplak gag pernah dibilang orang Bangla (Desh). Tapi lama-lama tau juga, karena orang Bangla kebanyakan mengecat jenggotnya dengan warna merah.

Mula-mula pertanyaan seperti ini dijawab serius oleh si Orang Koplak “No, no, I’m original an Indonesian, bla, bla, bla.....”. Tapi lama-lama jengkel juga menjawab pertanyaan yg sama, apalagi yg nanya itu ....... sesama orang Indonesia “Sak karepmu wis......”.

Jelas mereka semua musti periksa matanya. Kena katarak atau tidak, karena si Orang Koplak (sebagai peserta Haji Minus) selalu membawa tas kecil dengan logo bendera dan tulisan “Indonesia”,...... sekali lagi “INDO-NESIA”, bukan “Indo-Hindi” atau “Indo-Pakistan”. Nggregetno tenan.............

Di Asrama Haji.

Sebagai peserta Haji Minus (maksudnya bukan Haji Plus), si Orang Koplak bersama rombongan harus menginap semalam di asrama haji embarkasi Bekasi untuk proses imigrasi dan check kesehatan terakhir, sebelum diterbangkan Saudia ke Jeddah via Halim Perdanakusuma. Semalam di asrama haji ini benar-benar suatu pengalaman menguji kesabaran habis-habisan. Misalnya saja sampai jam 01.00 dinihari masiiiih saja ada pengumuman yg disiarkan penyiar (yg rupanya sangat doyan ngobrol) “Ibu Parmi dari kloter 187 (kloter lain) ditunggu saudaranya.Parmo dari Warujayeng, dilobby. Sekian”. Menjelang jam 03.00 dini hari “Kloter 88 (juga bukan kloter si Orang Koplak) harap bersiap di lobby. Bis sudah menunggu!”.....Semalaman tanpa tidur itu membuat darah sudah naik ke kepala. Solusinya, ya harus mengorbankan jenggot selembar.......... “Adduh!” dan tensi pun turun lagi ke batas normal........

Di Muzdalifah.

Melaksanakan shalat Isya dan shalat subuh sambil memungut 7 butir kerikil (untuk melempar jumrah Aqabah) itu juga harus dilewatkan tanpa tidur. Bagaimana musti tidur kalau duduk saja di padang pasir itu gag bisa? Padang pasir yg dibatas pagar itu tidak sampai 1 hektar luasnya dan dijejali ratusan ribu manusia

“Bagaimana kita harus mencari batu kecil ditengah lautan manusia macam begini?” keluh marah teman si Orang Koplak. “Sabaaaar, perbanyak kesabaran sebanyak bulu di badan” jawab si Orang Koplak sok alim “Tapi.....adddduh! Marah ya marah, tapi kenapa jenggot gua yg lu cabut?.Si, si......si (esh, gag boleh memaki!) sing, sing sooooooo”..............

Ajaibnya semua orang bisa mendapat kerikil, bahkan bukan cuma 7 butir, tapi 100 butir untuk kebutuhan melempar jumrah yang lain.......

Bab Bahasa.

Meskipun banyak orang Indonesia bisa membaca, menulis bahkan hafal luar kepala semua ayat-ayat Al-Qur’an, tapi benar-benar dan betul-betul sedikit sekali dari jema’ah haji kita yg mampu berbicara dalam bahasa Arab!. Sialnya, orang-orang Arab itu (sebagai bangsa yg amat bangga dengan bahasanya, seperti orang Jepang, China dan tentunya orang Indonesia) juga amat minim menguasai bahasa lain, khususnya bahasa Inggris. Tapi komunikasi tetap jalan dengan menggunakan bahasa........ tarzan!

*

“Hajj, hajj,.....haram!, haram!, hajj, haram, haraaaam!”

(Ah, dia bukan mau melarang ini-itu, tapi cuma menawarkan mobilnya untuk mengangkut jema’ah ke Masjid Al-Haram. Mobilnya, sebuah Innova 2.700cc, tapi sudah penyok disana-sini, bertuliskan “Taxi” di lambungnya, tapi yaaaaaah, itu sebuah angkot ! Sialnya, oleh si Sopir, semua orang dipanggilnya dengan “Hajj”, biarpun rombongan si Orang Koplak baru beberapa menit sampai di Mekkah)

“How much?” Si Orang Koplak sok bahasa Enggres.
“Tiga riyal, jalan-jalan haram!” Seru si Sopir (esh, bisa bahasa Endonesia dia!)
“Dua riyal, ok?” Nawwwwaaaaaar, biasaaaa……
“Two Riyal okey, jalan Haram, Halal! (Nah lu, sekarang Haram dan Halal dicampur aduk…)

Dan naiklah si Orang Koplak bersama isteri. Sesampai di Masjid Al-Haram, 4 riyal (1 riyal kira-kira 3.400 rupiah) pun terbang untuk ongkos angkutan yg hanya menempuh jarak 2 km itu…..

“Aaaaah,….. Indone-es very good. You’re welcome, very-very welcome” (apa pulak gerangan permaksudan dia?)
“Aaaah……. Yaman is very good too” (ngawur saja, sebab gag ada orang Arab asli yg jadi sopir angkot). “Someday, man!….very-very someday!” (biar bingung sekalian)……

*

“I’m sorry, sir. May I borrow your phone? I’ve lost mine, and I must call this number immediately” desah seorang ‘lady’ mengenakan burqa seluruh tubuh dan wajah di pelataran Masjid Al Haram, dengan bahasa Inggris yg cukup lancar. Tapi, esh,……. nanti dululaaah. Nomor yg ditunjukkannya itu adalah sebuah nomer lokal Mekkah. Dan kalaulah dia bukan orang Mekkah pun, seharusnya dia liat kalo beberapa meter dari tempat itu, dibalik gerbang Masjid yg megah itu keliahatan beberapa ‘public-phone’ yg gratis digunakan siapa saja untuk menghubungi nomer lokal. Gratis, tis, tis, tisss!

Lantas, apa maunya si ‘lady’ dan gerombolannya ini? Biarpun hape si Orang Koplak itu hape jadul dan hanya bisa dipake buat esemes dan nelpon saja, tapi kan lucu kalo raib begitu saja di depan mata?

“No, thanks” berlagak bego.
“Excuse meeee. May I…..bla, bla, bla …..” Diulangi lagi. “Do you know what I’m talking about?” Sekarang kenceng….
“No, thanks” bukan cuma berlagak, tapi bego betulan.

Dan para ‘ladies’ tanpa wajah dan identitas itupun ngeloyor pergi, ngomel2 dalam bahasa aslinya. Males ah, buang waktu saja cari tau maunya dia apa benernya. Sorry, lady, I’m su’udzon!

Bab Tahallul.

Setelah melakukan lempar jumrah di Aqabah, usai sudah ritual berhaji dengan menggunakan pakaian ihram (buat laki-laki). Pakaian ihram yg ribet, berat dan merepotkan (yg harus dipakai sejak di Mekkah, wukuf semalam-2 hari di Arafah, bermalam tanpa tidur di Muzdalifah, dan berakhir dengan perjalanan berat jalankaki 7 km pulang pergi Mina-Jamrat (tempat lempar jumrah) dibawah sengatan matahari siang 47 derajat Celcius) sudah bisa dilepas dan diganti pakaian biasa. Proses tahallul awwal (cukur rambut sampai gundul-khusus buat laki-laki) pun dilakukan dengan euforia dan sukacita.

Beberapa hari kemudian sang rambut yg sudah dibasmi itu sudah tumbuh lagi bak alang-alang. Beberapa percakapan biasa yg penuh basa-basi pun terjadi “Wah, cepat sekali rambut saudaraku tumbuh?”, dengan jawaban standar yg juga penuh basa-basi “Ah biasa saja, rambut saudaraku haji X (nama orang yg bertanya) pun tumbuh cepat sekalee....”

Ada juga pertanyaan biasa, tapi dengan arah yg tak biasa “Wah, cepat sekali rambut saudaraku tumbuh?”.dengan jawaban yg terpaksa jadi tak biasa “Yg ditunjuk saudaraku haji Y (nama orang yg bertanya) itu jenggot saya!. Sengaja cari gara-gara ya? Diiiiaaaampp…. (hush, memaki tetap gag boleh!)……itu emas, saudaraku!” Dan berlalulah si penanya dalam ledakan tawa, meninggalkan yg ditanya dalam ujian kesabaran tingkat lanjut.

Tapi,……… ada juga pertanyaan yg seharusnya juga untuk berbasa-basi, tapi hasilnya membuat si penanya dan si penjawab malah jadi tersipu “Waaaaah…... Rambut orang lain sudah tumbuh, kenapa kepala pak Haji tetap kelimis? Apa rahasianya? Bercukur tiap hari ya?”……tapi setelah diamati lebih lanjut “Uuppps, maaf, pak Haji, sumprit dah, maaf, maaf, maaf!. Tapi ngobrol dong kalo kepala pak Haji dari sononya memang sudah botak……….”

Kepanjangan nih, kalo diterusin. Bersambung aja ya?. Mudah-mudahan gag bosen………….

Maaf sedang kesulitan meng-upload foto, bukan Kompasiana yg error, tapi karena fotonya masih di-edit. Di-edit dari kamera orang lain, maksudnya. Maklumlah, hape si Orang Koplak kan..................... koplakyoband?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun