Mohon tunggu...
Jati Kumoro
Jati Kumoro Mohon Tunggu... Wiraswasta - nulis di podjok pawon

suka nulis sejarah, kebudayaan, cerpen dan humor

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tumbal Siluman Kucing Condromowo

11 November 2020   08:19 Diperbarui: 11 November 2020   09:01 2626
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.picuki.com

"Wuri, sudah tiga hari aku berada disini tapi aku tak pernah ketemu dengan  suamimu , apa Purnomo sedang tugas luar kota?" tanya Pak Sarijo kepada putrinya yang bernama Wuryani.

Sebuah pertanyaan yang wajar dan diucapkan dengan nada yang  penuh keheranan itu seperti sebuah pasak yang menembus jantung Wuryani, sakit tak terperikan rasanya. Wuryani harus menutupi keadaan yang sebenarnya, keadaan yang menyakitkan yang tengah terjadi menimpa bahtera rumah tangganya.

Mbok Darmi, asisten rumah tangganya, termasuk Kuntoro dan Nastiti kedua anaknya, semuanya sudah dipesan supaya tidak bercerita kepada Pak Sarijo  tentang keadaan yang sebenarnya sedang terjadi di dalam rumah tangganya.

Menjawab pertanyaan ayahnya itu, Wuryani terpaksa harus berbohong dengan membuatkan alasan yang kuat atas ketidak-hadiran Purnomo suaminya di saat ayahnya datang berkunjung menengoknya. "Pak, nyuwun ngapunten saya lupa memberitahu  kalau Mas Purnomo sedang  ada tugas dari kantornya untuk study banding ke luar negeri selama tiga bulan, dan baru sepuluh hari yang lalu berangkatnya".

"Mas Purnomo sebelum berangkat juga berpesan supaya saya memintakan pamit dan memohonkan doa restu kepada bapak supaya lancar study bandingnya," imbuh Wuryanti dengan suara sedikit bergetar dan wajah yang tertunduk tak berani beradu pandang dengan bapaknya. Untuk mengurangi kegugupannya itu,  Wuryani lalu mendekati Nastiti dan pura-pura menyisir rambut putrinya yang sebenarnya sudah rapi.

Sudah tiga bulan lebih Purnomo  berubah perangainya, dia menjadi gampang marah dan emosional serta tak betah berada di rumah. Bukan hanya kepada diri Wuryani saja, kepada anak-anaknya pun sikap dan perilakunya berubah drastis. Tidak ada lagi rasa kasih sayang seorang ayah yang ditujukan kepada kedua putra-putrinya. Bahkan terhadap Mbok Darmi yang sepantaran dengan usia ibunya pun Purnomo bersikap ketus dan sama sekali tak menunjukkan rasa hormat kepada orang yang umurnya jauh lebih tua.

Tidak hanya itu saja, sudah hampir dua bulan Purnomo pergi dan tidak pulang. Tidak memberi kabar apapun kepada isteri dan anak-anaknya. Hanya sewaktu mau pergi Purnomo bilang jika dirinya ada tugas dari kantor untuk study banding ke luar negeri.

Uang belanja dan uang untuk keperluan lainnya yang biasa diberikan Purnomo kepada isterinya tetap tak berubah jumlahnya. Hanya saja cara memberikannya yang aneh karena hanya diletakkan  begitu saja diatas meja tanpa mengucapkan sepatah kata apapun. Hal inilah yang membuat Wuryani semakin bingung dalam menghadapi perubahan perilaku suaminya yang dari hari ke hari semakin kasar dan menyakitkan hatinya, selain itu juga membuat anak-anaknya menjadi tambah ketakutan kepada bapaknya.

Tambah lebih menyakitkan hati lagi bagi Wuryani  ketika  pada suatu sore ada seorang tamu yang datang ke rumahnya. Tamu itu seorang perempuan muda yang cantik dan seksi. Tamu itu mengaku bernama Frida, dan dia menyebutkan asalnya dari ibukota.

Frida yang cantik itu mengaku jika dirinya sudah menikah secara siri dengan Purnomo, dan sekarang sudah dibelikan sebuah rumah di perumahan elit yang terletak di daerah utara kota Yogya. Tidak hanya rumah, sebuah mobil sedan keluaran terbaru buatan negeri Ginseng yang ditumpanginya itu pun dikatakan sebagai pemberian dari Purnomo suami sirinya.

Yang lebih menyakitkan lagi, perempuan cantik yang mengaku isteri siri Purnomo suaminya itu mengatakan jika Wuryani tak bisa menerima semua itu, dia akan diceraikan oleh Purnomo.  Purnomo lebih memilih isteri sirinya daripada Wuryani.

Wuryani tak mau meladeni segala ucapan perempuan cantik yang mengaku sebagai isteri siri Purnomo itu. Dia merasa bahwa jika dirinya bercerai dengan Purnomo  maka anak-anaknya yang nanti akan menjadi korban akibat dari perceraian itu. Wuryani hanya diam dan mengalah demi anak-anaknya walau dengan hati yang perih laksana disayat ribuan pisau.

Mbok Darmi yang sudah dianggap seperti ibunya sendiri itu yang menjadi tempat Wuryani berkeluh-kesah dan menceritakan nasib buruk yang  tengah menimpanya.  Beberapa hari yang lalu,  Mbok  Darmi pernah menasehati Wuryani supaya mau berterus terang saja kepada Pak Sarijo karena ayahnya  itu juga orang yang dikenal sebagai wong pinter di daerah Tuban. Barangkali dengan bantuan ayahnya, dia bisa menangkal hal-hal yang buruk  yang  mungkin dikirimkan atau ditujukan kepada dirinya atau keluarganya. Namun Wuryani menolak karena dia merasa malu menceritakan masalah keluarganya kepada ayahnya.

"Ya sudah tidak apa-apa, semoga suamimu lancar dalam study bandingnya, aku  pamit  pulang dulu ke Tuban ya nduk," ucap Pak Sarijo. "Tadi aku juga sudah titip pesan kepada Darmi supaya ikut menjaga cucuku Kuntoro dan Nastiti, dan yang penting dirimu juga harus bisa menjaga diri," imbuh Pak Sarijo.

Wuryani hanya menganggukan kepalanya dan mencium tangan ayahnya. Dipandanginya tubuh yang mulai renta itu berjalan pelan menuju mobil travel yang sudah menunggunya di pinggir jalan yang akan membawanya pulang ke Tuban.

Setelah ayahnya pergi, Wuryani pun lalu masuk ke kamar dan menumpahkan semua kesedihan hatinya. "Aku memang berhasil menipu bapakku, tapi aku tak bisa menipu diriku sendiri," batin Wuryani di tengah derai air matanya yang membasahi kain seprei.

Hari-hari berikutnya terasa kering dan gersang dalam hidup Wuryani. Sampai pada suatu ketika Mintarsih sahabatnya datang di pagi hari. Dihadapan sahabatnya ini Wuryani tak bisa mengelak lagi dan menceritakan jika rumah tangganya memang sedang bermasalah. Diceritakannya semua perubahan sikap Purnomo  terhadap dirinya dan anak-anaknya.

"Wuri, apa yang kau alami ini mirip dengan apa yang dulu pernah keluargaku alami," ujar Mintarsih denga mata memandang lurus ke depan ke arah jalan.

Mintarsih lalu menceritakan kejadian yang dialami keluarganya. Pringgo suaminya, dulu pernah diguna-guna dan jatuh dalam pelukan seorang perempuan pemandu karaoke. Pringgo benar-benar dikuliti habis-habisan, mobil dan tabungan semuanya ludes habis hanya untuk membuat senang perempuan itu hingga dirinya dan keluarganya jatuh melarat. Setelah berhasil menguras harta kekayaan Pringgo, perempuan itu pun lalu mencampakannya. "Saat pulang ke rumah, sudah benar-benar mirip kere tuh suamiku," ucap Mintarsih menceritakan kejadian yang menimpa suaminya.

"Untunglah saat itu aku segera pergi ke tempatnya Mbah Warno di daerah Pandan Simo dan lewat perantara Mbah Warno, akhirnya Pringgo suamiku berhasil dilepaskan dari pengaruh guna-guna yang dikirimkan perempuan pemandu karaoke itu," ujar Mintarsih melanjutkan ceritanya.

"Wuri, mumpung  suamimu belum jauh terperosok ke dalam pengaruh perempuan itu, tak ada salahnya dirimu berusaha mencegahnya supaya rumah tanggamu tidak berantakan dan anak-anakmu tak kehilangan bapaknya," ucap Mintarsih memberi saran yang diterima dan disetujui oleh Wuryani.

Pada sore harinya, setelah menitipkan keduan anaknya kepada Mbok Darmi,  Wuryani dengan ditemani Mintarsih pergi menuju rumah Mbah Warno di daerah Pandan Simo. Tak lupa dalam perjalanannya mereka berdua mampir sebentar ke tempat penjual kembang untuk beli kembang telon (bunga mawar merah, bunga melati dan bunga kantil), kemenyan dan hio untuk uborampe atau sebagai syarat yang biasa dipergunakan dalam ritual kejawen.

Sesampainya di rumah Mbah Warno yang kebetulan pada saat itu tidak sedang menerima tamu, segera Mintarsih yang sudah terlebih dahulu mengenal Mbah Warno menyampaikan maksud kedatangannya ke tempat itu bersama Wuryani.

"Hmmm, menurut hasil penerawanganku, nak Wuryani sekeluarga ini sudah dikirimi guna-guna yang ujudnya berupa seekor kucing hitam mulus dengan mata merah menyala yang  dikenal dengan nama siluman kucing Condromowo," ujar Mbah Warno setelah memandang foto keluarga Wuryani yang diletakkan di atas meja yang ada di depannya.

Menurut Mbah Warno  hewan siluman itu sudah tinggal di dalam rumah Wuryani dan kedatangannya itu membuat suasana  di dalam rumah yang semula damai penuh ketentraman kemudian berubah memanas menjadi muncul percekcokan-percekcokan yang  nanti akan membuat rumah tangganya menjadi berantakan yang nanti pada akhirnya  akan meminta tumbal korban nyawa dari salah satu penghuni rumah sebagaimana perjanjian yang sudah disepakati oleh si dukun yang menjadi perantara, siluman kucing Condromowo dan orang menggunakan jasanya.

"Siluman kucing Condromowo ini selalu meminta tumbal nyawa manusia, dan entah siapa penghuni rumahmu yang dituju sebagai tumbalnya, belum bisa diketahui," imbuh Mbah Warno.

Mendengar apa yang dituturkan Mbah Warno, Wuryani jadi teringat akan sebuah peritiwa yang aneh yang pernah dialaminya. Diceritakanlah pengalaman anehnya itu kepada Mbah Warno jika pada suatu malam, sebelum Purnomo suaminya berubah tabiatnya seperti itu, tiada angin tiada hujan ada suara gemelegar seperti suara petir yang meledak tepat di atas genteng rumahnya.

Saat itu hanya Wuryani sendiri yang terbangun mendengar suara itu. Suami, anak-anaknya dan Mbok Darmi, semuanya tertidur pulas. Tiba-tiba dari jendela yang terbuka disamping rumah  ada seekor kucing hitam yang besar dengan matanya merah mencorong meloncat masuk ke dalam rumah.  Anehnya begitu masuk rumah, kucing itu menghilang begitu saja.  

Menurut Wuryani, semenjak kejadian itu sikap dan perangai suaminya berubah, dan dari hari ke hari menjadi semakin emosional sikapnya dan hal itu menyakitkan bagi dirinya maupun anak-anaknya.

Mendengar cerita Wuryani yang seperti itu Mbah Warno hanya manggut-manggut. Setelah berdehem, Mbah Warno lalu diam sejenak dan berkonsentrasi. Tak lama kemudian dengan  menghela napas yang panjang, Mbah Warno lalu  membuka bungkusan daun yang berisi kembang telon dan memasukan bunga-bunga itu ke dalam baskom yang berisi air yang sudah disediakan diatas meja.

Mbah Warno lalu mengambil tiga batang hio dan membakarnya untuk kemudian ditancapkan ke dalam sebuah gelas yang berisi beras. Sejenak berikutnya, matanya terpejam dan mulutnya mulai komat-kamit membaca mantra yang tak dimengerti oleh Wuryani dan Mintarsih.

Suasana hening di ruangan itu yang ditimpali suara pembacaan mantra oleh Mbah Warno dan aroma hio yang memenuhi ruangan itu membuat suasana magis di sore hari itu semakin terasa kuat. Pelan-pelan, air yang berada dalam baskom yang berisi kembang telon itu mulai bergerak dan membuat putaran seperti pusaran yang makin lama makin cepat gerakannya.

Tak lama kemudian muncul suara kucing yang meang-meong, semula suaranya pelan namun lama kelamaan mengeras dan menjadi geraman yang membuat seorang pemberani macam Mintarsih  itupun ketakutan dan duduknya semakin mepet ke Wuryani yang juga tak kalah takutnya. Keringat dingin dan degup jantung yang keras membuat kedua perempuan itu lemas seperti dilolosi tulang-belulangnya, dan hanya bisa diam dengan mata yang tertuju  ke arah baskom yang airnya semakin lama semakin kencang pusarannya.

Mbah Warno lalu membuka matanya dan menatap dengan tajam tepat ke arah titik pusat pusaran air di dalam baskom itu. Dahi Mbah Warno tampak berkerut, dan bacaan mantranya pun semakin keras dan cepat seiring dengan munculnya sosok seekor kucing besar berwana hitam kelam dengan mata yang merah memancarkan rasa amarah yang luar biasa.

Kucing itu mengeluarkan suara geraman sambil memandang secara bergantian ke arah Mbah Warno, Wuryani dan Mintarsih, seolah-olah hendak  meloncat menerkam salah satu dari ketiga manusia yang sudah berani mengganggunya. Wuryani dan Mintarsih yang ketakutan setengah mati tak berani beradu pandang dengan mahluk siluman itu.

Sebaliknya ketika beradu pandang dengan Mbah Warno, siluman kucing Condromowo hanya bisa gereng-gereng, kedua cakar kaki depannya hanya bisa bergerak-gerak di atas baskom sehingga air yang di dalam baskom ikut tumpah keluar  dan membasah lantai rumah Mbah Warno.

Meski kepala dan kedua cakarnya yang di depan sudah bisa keluar dari dalam air baskom, namun tetap saja siluman kucing itu tak bisa bergerak lebih jauh lagi. Hanya geraman yang keluar dari mulutnya dan memperlihatkan taringnya yang berwarna merah darah itu saja yang bisa dilakukannya.

Melihat sosok kucing siluman yang setengah badannya keluar dari air yang ada di baskom itu membuat Wuryani dan Mintarsih semakin ketakutan. Keduanya hanya bisa berangkulan tanpa berani memandang ke arah kucing siluman itu. Hanya  tampak dibibir keduanya sedang komat-kamit mengucapkan doa-doa yang bisa diingatnya untuk menentramkan hati dan perasaannya yang tak karuan serta degup jantungnya yang berdetak kencang tak beraturan.

Mbah Warno yang melihat separo badan kucing siluman itu sudah keluar dari air di baskom tiba-tiba berteriak,"Mulih ning asalmu kono!" Yang kemudian  menyabetkan ikat kepalanya kearah kepala siluman kucing Condromowo. Benturan antara ikat kepala dan kepala  siluman kucing itu mengeluarkan suara yang gemelegar seperti suara petir.

Siluman kucing Condromowo itu pun kemudian menghilang dari pandangan mata mereka  dan air baskom yang ada kembang telonnya pun perlahan mulai tenang kembali dan sampai akhirnya  tak ada gerakan apapun di dalamnya.

Mbah Warno kemudian berkomat-kamit membaca mantra yang lalu ditiupkannya sebanyak tiga kali ke dalam air bunga yang di dalam baskom dan kemudian mengucapkan syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas terselesaikannya ritual untuk menolong keluarga Wuryani dari gangguan siluman kucing Condromowo.

Wuryani dan Mintarsih pun bisa bernafas lega dan juga tak lupa memanjatkan puji syukur kepada Yang Maha Kuasa dengan selesainya ritual yang menegangkan sekaligus menakutkan itu.

"Nak Wuryani, kucing siluman itu sekarang sudah kembali ke asalnya, tapi dia kan tetap menagih janji tumbal nyawa kepada yang sudah meminta jasa pertolongannya, bukan kepada dukun yang menjadi perantaranya karena kucing siluman itu tak akan berani kepadanya," ucap Mbah Warno.

"Lihat saja dalam sepekan ke depan, apa yang akan terjadi, terjadilah karena kehendak Yang Maha Kuasa," imbuh Mbah Warno.

"Nah sekarang air kembang yang ada di dalam baskom ini kalian bawa pulang  untuk dipakai mandi di rumah. Air ini fungsinya untuk menghilangkan aura negatif karena bagaimanapun juga kalian berdua sudah terlibat dalam ritual tadi,"ujar Mbah Warno  yang lalu mengambilkan dua botol air mineral satu literan sebagai wadah air kembang untuk dibawa pulang Wuryani dan Mintarsih.

Keesokan harinya, Wuryani membaca berita di sebuah koran harian yang beredar di kota Jogja yang memberitakan adanya sebuah kecelakaan tunggal yang terjadi daerah Kaliurang. Sebuah mobil sedan keluaran terbaru buatan negeri Ginseng terjun ke jurang saat tengah malam. Pengemudinya adalah seorang wanita muda yang mati secara mengenaskan dimana bagian leher dan dadanya terluka parah, tersobek hingga menganga,  dan  menurut hasil otopsi dokter Rumah Sakit Swasta di Sleman disebutkan bahwa organ jantungnya hilang.  Perempuan itu meninggal dalam kondisi mata melotot dan tubuh berlumuran darah, dan mayatnya sekarang masih disimpan di kamar mayat rumah sakit itu.

Sedangkan penumpang yang berada disebelahnya adalah seorang laki-laki dengan inisial P,  yang saat ditemukan di TKP dalam keadaan selamat. Hanya saja kondisinya masih dalam keadaan shock sehingga belum bisa dimintai keterangan sampai dengan berita tersebut diwartakan.

Membaca berita itu perasaan Wuryani menjadi tidak enak. Segera dihubunginya Mintarsih dan diajaknya untuk melacak sumber berita itu ke kamar mayat Rumah Sakit Swasta yang berada di Sleman tersebut. " Asih, perasaanku jadi tak enak, apa mungkin yang mengalami kecelakaan itu Mas Purnomo dan si Frida ya? Kalau melihat ciri-ciri mobil dan plat nomornya itu mobil yang dulu dibawa Frida ke rumah yang katanya dibelikan oleh Mas Purnomo," ujar Wuryani.

"Maaf, apa ibu berdua ini mempunyai hubungan dengan sang korban?" tanya petugas rumah sakit swasta itu yang kemudian diteruskan ke petugas kepolisikan yang mengurusinya.

"Saya isteri dari lelaki yang selamat itu pak," jawab Wuryani yang kemudian meminta ijin kepada pihak rumah sakit dan juga kepada pihak kepolisian yang menangani kasus tersebut untuk melihat keadaan suaminya.

Bapak polisi dan petugas rumah sakit itu kemudian mengantarkan Wuryani dan Mintarsih ke zal perawatan khusus. Di zal itu dilihatnya Purnomo tertidur dengan infus terpasang di tangannya. "Kondisi suami ibu tidak menguatirkan, mudah-mudahan dalam tiga hari ke depan sudah bisa pulang ke rumah," begitu kata petugas rumah sakit yang dijawab dengan anggukan dan ucapan terima kasih oleh Wuryani.

"Boleh bertanya bu, apakah ibu juga mengenal perempuan yang meninggal dalam kecelakaan bersama suami anda itu?" tanya Bapak Polisi itu kepada Wuryani. "Soalnya jenazahperempuan itu dari sejak  ditemukan di TKP hingga saat ini belum bisa diketahui identitasnya karena tak ditemukan tanda pengenal mengenai dirinya," imbuh Bapak Polisi itu yang kemudian bersama petugas rumah sakit mempersilakan Wuryani dan Mintarsih untuk masuk ke kamar mayat.

Setelah kain penutup bagian atas tubuh jenazah dibuka, Wuryani dan Mintarsih menjerit karena merasa ngeri sekaligus kaget, dan hampir bersamaan keduanya spontan menutup kedua mata dengan kedua telapak tangannya. Setelah kekagetan dan kengerian itu mulai sirna,  kemudian dilihatnya mayat yang tak lain adalah mayat Frida itu benar-benar dalam kondisi yang mengerikan. Wajah mayat itu pucat dengan mata melotot dan mulutnya terbuka lebar, sepertinya pada saat-saat terakhirnya dia mengalami kesakitan yang luar biasa. Bagian leher yang terkoyak  dan dadanya yang berlobang  menganga disumbat dengan tissue kapas.

"Saya mengenal perempuan yang sudah jadi mayat itu pak, dia dulu mengaku sebagai isteri siri suami saya," kata Wuryani setelah mereka semua keluar dari kamar mayat. "Tapi apakah  mereka benar-benar telah menikah siri, saya sama sekali tidak tahu," imbuh Wuryani.

Seorang petugas rumah sakit tampak berjalan mendekati Wuryani dan Mintarsih yang kemudian mengajukan pertanyaan," Maaf, Ibu Wuryani yang mana ya? Itu suaminya sudah bangun dan minta bertemu segera."

Wuryani menjawab pertanyaan petugas rumah sakit itu dan meyebutkan nama dirinya.  kemudian Wuryani berjalan mengikuti petugas rumah sakit yang baru saja bertanya itu  menuju ke kamar ruang perawatan dimana Purnomo ditempatkan. Hatinya kembali mekar dan diwajahnya pun rona kebahagiaan tampak nyata terpancar. Gangguan dari siluman kucing Condromowo terhadap keluarganya kini telah berakhir. Kucing siluman itu telah meminta tumbal nyawa orang bersekutu dan membutuhkan jasanya.

 

Tamat

Cerpen ini juga di risalahmisteri.com

podjok pawon, November 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun