Wuryani tak mau meladeni segala ucapan perempuan cantik yang mengaku sebagai isteri siri Purnomo itu. Dia merasa bahwa jika dirinya bercerai dengan Purnomo  maka anak-anaknya yang nanti akan menjadi korban akibat dari perceraian itu. Wuryani hanya diam dan mengalah demi anak-anaknya walau dengan hati yang perih laksana disayat ribuan pisau.
Mbok Darmi yang sudah dianggap seperti ibunya sendiri itu yang menjadi tempat Wuryani berkeluh-kesah dan menceritakan nasib buruk yang  tengah menimpanya.  Beberapa hari yang lalu,  Mbok  Darmi pernah menasehati Wuryani supaya mau berterus terang saja kepada Pak Sarijo karena ayahnya  itu juga orang yang dikenal sebagai wong pinter di daerah Tuban. Barangkali dengan bantuan ayahnya, dia bisa menangkal hal-hal yang buruk  yang  mungkin dikirimkan atau ditujukan kepada dirinya atau keluarganya. Namun Wuryani menolak karena dia merasa malu menceritakan masalah keluarganya kepada ayahnya.
"Ya sudah tidak apa-apa, semoga suamimu lancar dalam study bandingnya, aku  pamit  pulang dulu ke Tuban ya nduk," ucap Pak Sarijo. "Tadi aku juga sudah titip pesan kepada Darmi supaya ikut menjaga cucuku Kuntoro dan Nastiti, dan yang penting dirimu juga harus bisa menjaga diri," imbuh Pak Sarijo.
Wuryani hanya menganggukan kepalanya dan mencium tangan ayahnya. Dipandanginya tubuh yang mulai renta itu berjalan pelan menuju mobil travel yang sudah menunggunya di pinggir jalan yang akan membawanya pulang ke Tuban.
Setelah ayahnya pergi, Wuryani pun lalu masuk ke kamar dan menumpahkan semua kesedihan hatinya. "Aku memang berhasil menipu bapakku, tapi aku tak bisa menipu diriku sendiri," batin Wuryani di tengah derai air matanya yang membasahi kain seprei.
Hari-hari berikutnya terasa kering dan gersang dalam hidup Wuryani. Sampai pada suatu ketika Mintarsih sahabatnya datang di pagi hari. Dihadapan sahabatnya ini Wuryani tak bisa mengelak lagi dan menceritakan jika rumah tangganya memang sedang bermasalah. Diceritakannya semua perubahan sikap Purnomo  terhadap dirinya dan anak-anaknya.
"Wuri, apa yang kau alami ini mirip dengan apa yang dulu pernah keluargaku alami," ujar Mintarsih denga mata memandang lurus ke depan ke arah jalan.
Mintarsih lalu menceritakan kejadian yang dialami keluarganya. Pringgo suaminya, dulu pernah diguna-guna dan jatuh dalam pelukan seorang perempuan pemandu karaoke. Pringgo benar-benar dikuliti habis-habisan, mobil dan tabungan semuanya ludes habis hanya untuk membuat senang perempuan itu hingga dirinya dan keluarganya jatuh melarat. Setelah berhasil menguras harta kekayaan Pringgo, perempuan itu pun lalu mencampakannya. "Saat pulang ke rumah, sudah benar-benar mirip kere tuh suamiku," ucap Mintarsih menceritakan kejadian yang menimpa suaminya.
"Untunglah saat itu aku segera pergi ke tempatnya Mbah Warno di daerah Pandan Simo dan lewat perantara Mbah Warno, akhirnya Pringgo suamiku berhasil dilepaskan dari pengaruh guna-guna yang dikirimkan perempuan pemandu karaoke itu," ujar Mintarsih melanjutkan ceritanya.
"Wuri, mumpung  suamimu belum jauh terperosok ke dalam pengaruh perempuan itu, tak ada salahnya dirimu berusaha mencegahnya supaya rumah tanggamu tidak berantakan dan anak-anakmu tak kehilangan bapaknya," ucap Mintarsih memberi saran yang diterima dan disetujui oleh Wuryani.
Pada sore harinya, setelah menitipkan keduan anaknya kepada Mbok Darmi, Â Wuryani dengan ditemani Mintarsih pergi menuju rumah Mbah Warno di daerah Pandan Simo. Tak lupa dalam perjalanannya mereka berdua mampir sebentar ke tempat penjual kembang untuk beli kembang telon (bunga mawar merah, bunga melati dan bunga kantil), kemenyan dan hio untuk uborampe atau sebagai syarat yang biasa dipergunakan dalam ritual kejawen.