Rumah adat Osing yang juga dikenal sebagai Rumah Bubungan Tinggi Osing, merupakan salah satu rumah tradisional dari suku Osing di Banyuwangi, Jawa Timur.Â
Keunikan rumah adat Osing terletak pada beberapa aspek desain dan fungsionalnya, yang mencerminkan adaptasi terhadap lingkungan setempat serta kebudayaan yang kaya dari suku Osing itu sendiri.Â
Berikut beberapa keunikannya:
1. Desain Atap
Rumah ini memiliki atap yang tinggi dan bentuknya mirip dengan rumah adat di Bali dan Lombok, yang menandakan pengaruh budaya dari pulau-pulau tersebut. Atap sering kali dibuat dari alang-alang atau ilalang, menyediakan isolasi yang baik terhadap panas.
2. Struktur Kayu
Menggunakan kayu sebagai bahan utama dalam konstruksi, termasuk untuk tiang dan rangka atap. Kayu yang digunakan biasanya adalah jenis yang tahan terhadap kondisi cuaca lokal, seperti kayu jati atau bambu, yang menjadikannya sangat tahan lama.
3. Tata letak
Tata letak rumah Osing biasanya sederhana, dengan ruang terbuka yang luas di dalam untuk mengakomodasi pertemuan keluarga dan ritual adat. Ini mencerminkan nilai kebersamaan dan keramahtamahan dalam budaya Osing.
4. Pendopo
Sebagai bagian dari rumah, pendopo (serambi terbuka) berperan penting sebagai tempat untuk menerima tamu dan melakukan kegiatan sosial lainnya. Pendopo ini biasanya memiliki ukiran kayu yang menunjukkan keterampilan dan estetika lokal.
5. Ukiran dan Ornamen
Rumah adat Osing sering kali dihiasi dengan ukiran kayu yang rumit, menampilkan motif flora dan fauna lokal serta simbol-simbol yang berkaitan dengan kepercayaan dan tradisi suku Osing.
6. Warna
Rumah adat ini sering menggunakan warna-warna alami yang didapat dari bahan-bahan setempat, menciptakan tampilan yang harmonis dengan lingkungan sekitarnya.
Rumah adat Osing tidak hanya merupakan tempat tinggal, tetapi juga lambang identitas, tradisi, dan budaya dari suku Osing yang membedakan mereka dari kelompok etnik lain di Indonesia.Â
Selain itu, rumah ini juga menunjukkan adaptasi mereka terhadap lingkungan alami sekitar, yang memengaruhi bahan dan metode konstruksi yang digunakan.
Apa ciri khas dari suku Osing?
Suku Osing adalah kelompok etnik yang berada di Banyuwangi, Jawa Timur, dan mereka memiliki ciri khas yang unik dan berbeda dari suku-suku lain di Jawa. Berikut beberapa ciri khas dari suku Osing:
1. BahasaÂ
Suku Osing memiliki bahasa tersendiri yang disebut Bahasa Osing, yang berbeda dari Bahasa Jawa yang umum digunakan di sebagian besar Jawa Timur. Bahasa Osing merupakan sebuah dialek yang memiliki kemiripan dengan Bahasa Bali Lama, menunjukkan hubungan historis antara Banyuwangi dengan pulau Bali.
2. Adat dan Budaya
Suku Osing memiliki adat istiadat dan budaya yang khas, termasuk dalam hal pakaian tradisional, musik, tari, dan upacara ritual. Salah satu contoh adalah upacara adat Kebo-keboan yang merupakan ritual untuk memohon hujan.
3. Musik dan Tari
Suku Osing memiliki bentuk kesenian tradisional seperti Gandrung, yang merupakan tarian penyambutan yang sangat populer di Banyuwangi. Musik khas lainnya termasuk Angklung Paglak dan sebagainya.
4. Religi dan Kepercayaan
Meskipun mayoritas beragama Islam, banyak dari suku Osing yang masih mempertahankan kepercayaan animisme dan dinamisme, yang terintegrasi dalam praktik keagamaan mereka. Hal ini terlihat dalam upacara dan ritual yang menggabungkan elemen Islam dengan tradisi lokal.
5. Pakaian Tradisional
Suku Osing memiliki pakaian adat yang khas, yang sering kali dihiasi dengan motif yang rumit dan warna yang cerah. Wanita tradisional Osing mungkin mengenakan kebaya dengan batik yang unik dari Banyuwangi.
6. Kuliner
Suku Osing juga dikenal dengan masakan tradisionalnya yang khas, seperti sego tempong (nasi dengan sambal pedas) dan rujak soto (campuran rujak dan soto).
7. Peran dalam Masyarakat
Suku Osing dikenal memiliki struktur masyarakat yang egaliter, dengan pria dan wanita memiliki peran yang relatif setara dalam kegiatan sosial dan ekonomi.
Identitas kuat dan keunikan dari suku Osing terjaga seiring dengan pengaruh modernisasi dan globalisasi, menandakan kebanggaan dan ketahanan budaya mereka di tengah perubahan zaman.
Tari Gandrung adalah salah satu tarian tradisional yang sangat populer di daerah Banyuwangi, Jawa Timur, Indonesia.Â
Tarian ini memiliki sejarah yang panjang dan merupakan bagian penting dari budaya serta tradisi masyarakat setempat.
Tari Gandrung pertama kali muncul pada abad ke-16 dan berkembang sebagai bentuk ekspresi rasa syukur masyarakat kepada Dewi Sri, dewi kesuburan dan pertanian. Pada awalnya, tarian ini dilakukan oleh para gadis muda yang disebut "Gandrung," yang berarti "jatuh cinta."Â
Ini merujuk pada rasa cinta dan ketergilaan mereka kepada dewi kesuburan tersebut.
Tari Gandrung sangat erat kaitannya dengan kehidupan sosial dan pertanian di Banyuwangi. Tradisionalnya, tarian ini diadakan di malam hari di lapangan terbuka atau di halaman rumah.Â
Gandrung diiringi oleh musik tradisional yang terdiri dari gendang, rebab, gong, dan suling. Gandrung biasanya menari dengan mengenakan kostum yang warna-warni dan menarik, menambah keindahan dan keanggunan tarian ini.
Dalam perkembangannya, Tari Gandrung juga menjadi simbol identitas dan kebanggaan bagi masyarakat Banyuwangi.Â
Tari ini tidak hanya dipertunjukkan dalam acara ritual atau adat tetapi juga dalam acara festival dan pariwisata, menjadi salah satu daya tarik wisata budaya di Jawa Timur.
Tari Gandrung tidak hanya menghibur tetapi juga menyampaikan nilai-nilai budaya dan sosial yang mendalam, menjadikannya lebih dari sekedar pertunjukan seni, tetapi juga media komunikasi dan pelestarian budaya.
Sejarah Tari Gandrung Banyuwangi
Menurut catatan sejarah, gandrung pertama kalinya ditarikan oleh para lelaki (lanang) yang didandani seperti perempuan.Â
Instrumen utama yang mengiringi tarian Gandrung Lanang ini adalah kendang.
Gandrung Lanang ini lambat laun lenyap pada tahun 1890-an. Berkembangnya Islam di Blambangan menjadi salah satu faktor mengapa tari Gandrung tidak lagi dibawakan oleh para pria yang berdandan ala wanita.
Sementara itu, situs Indonesia Kaya menuliskan bahwa Tari Gandrung muncul setelah kekalahan yang dialami rakyat Blambangan (Banyuwangi) saat melawan VOC.Â
Kesenian ini awalnya digunakan sebagai pemersatu rakyat Blambangan yang tercerai berai akibat kekalahan itu.
Pada awalnya, Gandrung memang dibawakan oleh kaum pria yang berdandan seperti perempuan.Â
Seiring waktu dan perubahan zaman, Tari Gandrung kini dibawakan oleh kaum wanita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H