Mohon tunggu...
Jasmine
Jasmine Mohon Tunggu... Wiraswasta - Email : Justmine.qa@gmail.com

Just me, Jasmine, just a tiny dust in the wind

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | La Fatiha [2]

20 Juni 2019   11:02 Diperbarui: 20 Juni 2019   11:10 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 [Dua]

***

Meski acap sulit mengingat, namun tak semua yang berasal dari masa lalu dilupakan Lala. Seperti bukit kecil ini, dilematik karena jaraknya yang lumayan jauh dari kebuh teh Abah, namun lansekap indah itu selalu berhasil memanggil kerinduannya untuk berkunjung walau tak jarang berat nian kakinya tuk melangkah bila terkenang nestapa pada penghuni abadi bukit itu.

Kekanan-kiri sepi. Sesekali jauh di atas langit, terlihat elang bermanuver dengan keperkasaan sayap lebarnya, melayang seringan kapas terhembus angin seakan tengah memamerkan betapa indah dan leluasanya kehidupan di ketinggian sana, negeri awan karunia para digdaya. Baru sepenggalah waktu, mungkin Dhuha kan segera berlalu, dan bukit ini sudah rapat terkungkung sepi sepagi Lala mulai mendaki. Tak terdengar suara apapun kecuali gemerisik dedaun bersinggungan dengan lalu lintas angin. Sepi yang tak meragu, perlahan namun pasti, menggiring duka kian menggelayuti. Lala berjuang keras agar tak hanyut dalam kesedihan. Dadanya mulai sebak, namun ditahannya agar tak koyak. Pusara di atas makam yang nyata terawat keberadaannya telah menantinya.

"Assalamu'alaikum, Umi," suara Lala tercekik di tenggorokan, lirih, nyaris berdesis. Tak urung sebulir air mata pun meluruh yang lekas ia keringkan. Tangannya lembut membelai pusara yang merespon kokoh, dingin dan membisu. Lala memejamkan matanya. Batinnya ripuh menggemakan doa bergemuruh.

Namun kekhusuannya mendadak buyar oleh suara semacam derak ranting entah itu cabang pohon yang patah. Lala menoleh kaget, tampak olehnya beberapa pokok ubi kayu tercerabut. Pepohon lain pun bernasib sama tragis. Rerumput gajah yang menjulang berguncang karena sabetan parang. Seseorang ada dibalik kekacauan yang amat tak sopan ini. Lala mundur beberapa langkah dari tempatnya berdiri. Bersiap menghadapi sesuatu yang tak kena. 

Lala mengatur adrenalinnya agar tak terecoki dengan kepanikan yang riskan membuatnya hilang kewaspadaan. Tak ada sesiapa di sekitar bukit ini. Hanya dirinya dan seseorang yang belum jelas penampakannya. Lolongan sekalipun takkan terdengar sesiapapun. Saat itu juga kesedihannya menguap cepat, tersingkirkan oleh gejolak adrenalin yang melesat. Ya Alloh, aku berlindung kepadaMu, Engkau Yang Maha Menjaga...

Walau tak yakin dengan kemampuan bela dirinya, namun Lala tetap memasang kuda-kuda demi melihat aksi parang yang kian beringas. Tebas sana, pangkas sini, abai pada pekik dedaunan yang tercabik-cabik perih. Dan tatkala kerimbunan itupun tersibak...

"Subhanalloh! Allohu akbar!" si empunya parang itu nyaris terjungkal. Terkejut ia bukan kepalang mendapati dirinya tak sendiri di lahan yang diyakininya lengang. Pasti tak terbayang olehnya akan bersua dengan sosok perempuan, apalagi bukan berasal dari wilayah sekitar. Bola matanya seakan hendak melompat keluar. Namun pucat tak hinggap di wajahnya yang gelap. Orang itu sejenak terpana. Mungkin tak percaya di era milenial dimana segala sesuatu bisa jadi viral, seseorang bisa menyerupai mahluk astral? bidadari abal-abal? Auh..

"Kau! Sudah berapa lama kau berdiam di situ, heh?" serunya dengan keterkejutan yang masih kentara. "Kau! Setidaknya buatlah suara agar tak salah parangku menerjang," ujarnya lagi tanpa terpikir menunggu respon Lala.

Lala mengamankan kuda-kudanya, sesaat meyakini bila 'lawannya' ini tak berbahaya. Lalu dengan santai menyandarkan sapu lidi di tempatnya semula. Hmm, terpikir olehnya betapa menggelikan melihat mimic kaget si empunya benda metal itu. Namun pastinya jauh lebih menggelikan dibanding dirinya yang tak sadar telah mengandalkan sapu lidi sebagai senjata andalan. Auh, kupikir perompak makam, ternyata hanya orang dusun yang tengah merumput. Batin Lala seraya hendak berlalu begitu saja ketika orang itu kembali berseru nyaring.

"Lala!"

Sebuah seruan yang jelas berdaya magis. Sanggup membekukan kaki Lala seketika itu juga. Lala? Tak salah dengarkah? Bagaimana perumput itu bisa menyebut nama "Lala" seolah telah mengenalnya dengan sangat baik..

"Ya, Kau!  Kau Lala, putri Abah," orang itu kembali angkat bicara tanpa keraguan. "Ayo, pulang, ini sudah menjelang Ashar. Sebentar lagi bukit ini akan disergap gelap," bicara begitu sambil membenahi gunung vegetasi hasil peperangannya yang membabi-buta belum lama lalu.

Lala masih mematung. Tertegun memandangi si orang dusun yang semula didakwanya sebagai perompak makam. Alhamdulillah, ternyata bukan, dan syukurlah Umi pun masih aman damai dalam peristrirahatannya. Eh, tapi siapa pula kau menyuruh orang pulang seperti bapak kepada anaknya?

"Ayo, tunggu apalagi? Percayalah, kau akan kesulitan menemukan jalan pulang meski memintas kebun teh sekalipun. Ini bukan kotamu dimana kau leluasa bergantung pada Waze atau Google Map," imbuh orang itu panjang lebar, jelas terkesan upayanya menambah keyakinan pada lawan bicaranya agar segera memenuhi saran baiknya.

Lala tetap bergeming. Mesin pencari di kepalanya masih sibuk berputar-putar menemukan tautan jawaban. Gadis itu sangat yakin pernah melihat si orang dusun ini. Tapi benarkah? Rasanya sulit dipercaya dia adalah orang yang sama. Dengarlah bagaimana ia baru saja nyerocos seperti kran bocor. Seperti salesman dengan produk kebanggaan di depan calon pembeli yang tak berpengalaman. Ugh, padahal...

"Angkot!" Lala cepat menebak sesaat akhirnya pencarian itu bertaut juga. "Ya, kau orang dusun yang di angkot itu, kan?" telunjuk Lala tegas mendakwa lawan bicaranya. Sekarang Lala yakin, haqul yaqin,orang dusun inilah yang dilihatnya sepekan lalu di dalam angkutan pedesaan. Orang yang mulutnya tampak seperti kehilangan gemboknya kala itu, hmm.. agaknya anak gembok itu sudah ditemukan, pantas saja kosakatanya mubah bergerombol seperti tanggul pecah dibobol.

"Aku bawa kuda. Naiklah! Biar kuantar kau kembali ke pondok," perintah orang itu abaikan segala dakwaan Lala. Lalu jemarinya bertautan di mulut, membuat siulan memanggil teman kaki empatnya, seekor kuda hitam rupawan, tinggi, gagah dan amat menawan. "Ayo naik! Usah bimbang, ini gratis-tis!" nadanya tetap tegas, menolak dibantah.

"Tidak mau!" Lala sama tegas menolak. "Kau itu bukan muhrimku. Haram berkudaan berdua."

"Hmm, begitukah?" orang itu separuh bergumam. "Jangan membuatku tertawa deh. Siapa pula yang berniat naik di punggung kuda berdua denganmu," datar saja ia bicara, sedatar wajahnya yang terlindungi kupluk, topi ala penjual kerupuk.

Bibir Lala menyabit pahit. Manyun sambil komat-kamit entah jejampi apa yang ia rapalkan dengan sepenuh kesal. Dari balik punggung orang itu, tinju Lala dikepalkan, seolah-olah hendak dilayangkan, namun kakinya melompat juga ke atas pelana kuda. Sebalnya menggumpal mendengar tutur katanya namun tak kuasa menampik tunggangan berharga yang ditawarkannya tanpa tiket, kupon, hhh…apapun itu varian diskon.

"Benar tidak kau orang yang kulihat duduk dalam angkot hari Ahad, hmm, kira-kira sepekan lalu. Yekan?" Lala mencoba memecah kebekuan. Canggung juga rasanya naik kuda dengan bimbingan seseorang namun nir percakapan.

Orang itu bungkam. Atau merasa tak perlu memberikan jawaban. Ia hanya mengeluarkan suara berdecak-decak. Sesekali ber-hiyaa-hiyaa. Ya, bahasa yang agaknya sangat dimengerti oleh sang kuda, menilik bagaimana hewan perkasa itu merespon dengan baik, lebih bersemangat menggoyang bokongnya yang gempal.

Oh, Lala pun berharap ia bisa ber-hiyaa-hiyaa... sambil melompat turun dari atas pelana kuda dengan posisi kakinya mendarat terlebih dulu di muka orang itu. Ya, jurus tupai meraih kenari hasilnya berandai-andai.

Pada akhirnya kesunyian itu benar-benar mengkristal. Tetiba saja perjalanan terasa demikian panjang. Padahal sepertinya tak selama ini ketika tengah hari tadi ia mendaki. Lala terjebak dalam perenungan sendiri.

Ladam yang beradu batu, menciptakan irama tersendiri. Tak-tuk-tak-tuk. Terdengar begitu ritmis dalam keheningan nan penuh mistis namun anehnya sangat mendamaikan hati. Gravitasi mendukung angin berhembus menguat seiring setapak menuruni terjal. Betapa gigih angin mencoba mengoyak kerudungnya. Lala direpotkan upayanya agar kerudung itu tak sampai tersingkap. Dan detik itu juga seperti ada sesuatu yang menyusup di hati Lala. Gadis itu terkesiap. Ini seperti deja-vu. Nyata benar pernah ia rasakan momen serupa ini. Berkuda perlahan menuruni bukit. Dibimbing penuh hati-hati. Ditemani semilir angin yang berbisik melalui celah-celah kerudungnya.  Tanpa disadarinya, Lala tersenyum sendiri. Terhanyut menikmati rasa nyaman yang berdesir-desir melumpuhkan kewaspadaan. Tapi kapan dan dimana pernah merasakan ini?

"Hooop! Yaa..."

Bahasa isyarat itu membangunkan lamunan Lala. Deja vu-nya yang melenakan, berakhir tanpa sayonara. Lala bergegas turun dari punggung kuda. Tidak menyambut uluran tangan orang itu, walau telah dilihatnya orang itu bersusah payah memakai sarung tangan yang diambil dari saku celananya.

"Siapa nama kudamu?" Tanya Lala sesaat kedua kakinya stabil menancap tanah lalu terus sibuk membenahi rok panjang berlapis celana panjang yang bergulung morat-marit.

"Horsi," tukas orang itu singkat. Pun tanpa menoleh ke arah Lala. Tak tampak rasa penasaran mengapa Lala ingin tahu nama... kudanya? Alih-alih berkenalan dengan pemiliknya.

"Horsi? Masha Alloh, dari sekian banyak nama, apa tidak terpikir untuk memberinya nama lain yang lebih pantas untuknya? Ini mahluk yang luar biasa gagah, tak patutlah bila namanya...Hors..., aduh, sejujurnya malas sekali aku menyebut nama itu," urai Lala tanpa tedeng aling-aling.

"Jadi menurutmu, kau punya ide nama lain yang lebih pantas untuknya. Begitu?" orang itu bertanya sambil merapikan tali kekang di leher kudanya. Masih memandang tak perlu untuk menatap lawan bicaranya. Tak peduli itu etika dasar kesopanan atau sebab lain menganut kitab religi.

"Bouraq" Lala mengangsur usul.

"Bagaimana dengan... Jalitheng?" orang itu menggeser usulan Lala.

Dan Lala dibuatnya terkesima. Jalitheng? Ada genderang yang riang di hati dan telinga Lala mendengar nama... Jalitheng? Dimana ya pernah dengar nama dan kata itu? Mengapa terkesan pas dan sulit mencari bantahan nama yang sepadan dengan... Jalitheng? Nama yang berarti hitam dengan refleksi pemahaman akan kekuatan dan keperkasaan untuk ciptaanNya yang demikian mengagumkannya. Tak hanya itu, Lala pun tercengang menyadari  monolog itu telah ber-ending menjadi komunikasi dua arah yang lancar-jaya. Aah, akhirnya kebekuan itupun pecahlah. Dan Lala terpaksa harus takjub dengan dirinya sendiri yang secara aneh telah merasa senang, puas, dengan semua....apakah ini semua?

"Jazakallah khoir, ya Jalitheng!" Lala berteriak. Telapak tangannya ditangkupkan membentuk corong di bibir agar suaranya lebih nyaring melengking. "Be healthy, Jalitheng! Thanks for your ride!" Lala sedikit mengangkat ujung roknya untuk melompati dua anak tangga seraya melambungkan harap dalam hati agar orang dusun itu mendongkol karena ia lebih berterima kasih pada Jalitheng. Tapi bukankah benar Jalitheng yang lebih pantas mendapatkan kata terima kasih? Entahlah, mengapa seperti ada kesenangan misterius yang merayap setiap kali... aah, sudahlah. Sepanjang bahagia ini masih halal, biarkanlah ia menjalar, merembes ke setiap pori, merasuki setiap sel, memprovokasi semangat, semoga dengan itu duka yang membuatnya sesat berubah nikmat.

Belum sempat meraih gerendel pintu, Bunda lebih dulu menyerbu keluar menyambutnya. "Alhamdulillah! Putri Bunda sudah pulang. Kemana saja, Lala? Abah kelimpungan mencarimu, Sayang," Bunda mencurahinya dengan hujan ciuman di kening dan pipi Lala.

"Afwan, Abah, afwan Bunda," Lala bergantian mencium punggung tangan Abah dan Bunda. "Tadi keasyikan di bukit, sampai lupa waktu. Alhamdulillah tadi dapat tumpangan kuda, kalau tidak, wahh... bisa kemalaman deh."

"Kuda?" Tanya Abah dengan lengkung di keningnya.

"Hmm..," Lala hanya ber-hmm, didera kehausan parah, mulutnya penuh menampung air. Tapi tidak lupa basmallah, hingga Bunda pun sempat mengerling geli.

"Hors...eeh, Jalitheng," imbuhnya kemudian ketika danau itu jebol dan tumpahlah ke dalam kerongkongannya.

"Oh, Alhamdulillah wa syukurillah. Kau bertemu Fatih rupanya," lengkung di kening Abah sontak lenyap, wajah tuanya seketika bercahaya seperti mentari menjemput pagi.

"Fa... Fatih?" kini lengkung itu ada di kening Lala.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun