"Benar tidak kau orang yang kulihat duduk dalam angkot hari Ahad, hmm, kira-kira sepekan lalu. Yekan?" Lala mencoba memecah kebekuan. Canggung juga rasanya naik kuda dengan bimbingan seseorang namun nir percakapan.
Orang itu bungkam. Atau merasa tak perlu memberikan jawaban. Ia hanya mengeluarkan suara berdecak-decak. Sesekali ber-hiyaa-hiyaa. Ya, bahasa yang agaknya sangat dimengerti oleh sang kuda, menilik bagaimana hewan perkasa itu merespon dengan baik, lebih bersemangat menggoyang bokongnya yang gempal.
Oh, Lala pun berharap ia bisa ber-hiyaa-hiyaa... sambil melompat turun dari atas pelana kuda dengan posisi kakinya mendarat terlebih dulu di muka orang itu. Ya, jurus tupai meraih kenari hasilnya berandai-andai.
Pada akhirnya kesunyian itu benar-benar mengkristal. Tetiba saja perjalanan terasa demikian panjang. Padahal sepertinya tak selama ini ketika tengah hari tadi ia mendaki. Lala terjebak dalam perenungan sendiri.
Ladam yang beradu batu, menciptakan irama tersendiri. Tak-tuk-tak-tuk. Terdengar begitu ritmis dalam keheningan nan penuh mistis namun anehnya sangat mendamaikan hati. Gravitasi mendukung angin berhembus menguat seiring setapak menuruni terjal. Betapa gigih angin mencoba mengoyak kerudungnya. Lala direpotkan upayanya agar kerudung itu tak sampai tersingkap. Dan detik itu juga seperti ada sesuatu yang menyusup di hati Lala. Gadis itu terkesiap. Ini seperti deja-vu. Nyata benar pernah ia rasakan momen serupa ini. Berkuda perlahan menuruni bukit. Dibimbing penuh hati-hati. Ditemani semilir angin yang berbisik melalui celah-celah kerudungnya. Â Tanpa disadarinya, Lala tersenyum sendiri. Terhanyut menikmati rasa nyaman yang berdesir-desir melumpuhkan kewaspadaan. Tapi kapan dan dimana pernah merasakan ini?
"Hooop! Yaa..."
Bahasa isyarat itu membangunkan lamunan Lala. Deja vu-nya yang melenakan, berakhir tanpa sayonara. Lala bergegas turun dari punggung kuda. Tidak menyambut uluran tangan orang itu, walau telah dilihatnya orang itu bersusah payah memakai sarung tangan yang diambil dari saku celananya.
"Siapa nama kudamu?" Tanya Lala sesaat kedua kakinya stabil menancap tanah lalu terus sibuk membenahi rok panjang berlapis celana panjang yang bergulung morat-marit.
"Horsi," tukas orang itu singkat. Pun tanpa menoleh ke arah Lala. Tak tampak rasa penasaran mengapa Lala ingin tahu nama... kudanya? Alih-alih berkenalan dengan pemiliknya.
"Horsi? Masha Alloh, dari sekian banyak nama, apa tidak terpikir untuk memberinya nama lain yang lebih pantas untuknya? Ini mahluk yang luar biasa gagah, tak patutlah bila namanya...Hors..., aduh, sejujurnya malas sekali aku menyebut nama itu," urai Lala tanpa tedeng aling-aling.
"Jadi menurutmu, kau punya ide nama lain yang lebih pantas untuknya. Begitu?" orang itu bertanya sambil merapikan tali kekang di leher kudanya. Masih memandang tak perlu untuk menatap lawan bicaranya. Tak peduli itu etika dasar kesopanan atau sebab lain menganut kitab religi.