"Bouraq" Lala mengangsur usul.
"Bagaimana dengan... Jalitheng?" orang itu menggeser usulan Lala.
Dan Lala dibuatnya terkesima. Jalitheng? Ada genderang yang riang di hati dan telinga Lala mendengar nama... Jalitheng? Dimana ya pernah dengar nama dan kata itu? Mengapa terkesan pas dan sulit mencari bantahan nama yang sepadan dengan... Jalitheng? Nama yang berarti hitam dengan refleksi pemahaman akan kekuatan dan keperkasaan untuk ciptaanNya yang demikian mengagumkannya. Tak hanya itu, Lala pun tercengang menyadari  monolog itu telah ber-ending menjadi komunikasi dua arah yang lancar-jaya. Aah, akhirnya kebekuan itupun pecahlah. Dan Lala terpaksa harus takjub dengan dirinya sendiri yang secara aneh telah merasa senang, puas, dengan semua....apakah ini semua?
"Jazakallah khoir, ya Jalitheng!" Lala berteriak. Telapak tangannya ditangkupkan membentuk corong di bibir agar suaranya lebih nyaring melengking. "Be healthy, Jalitheng! Thanks for your ride!" Lala sedikit mengangkat ujung roknya untuk melompati dua anak tangga seraya melambungkan harap dalam hati agar orang dusun itu mendongkol karena ia lebih berterima kasih pada Jalitheng. Tapi bukankah benar Jalitheng yang lebih pantas mendapatkan kata terima kasih? Entahlah, mengapa seperti ada kesenangan misterius yang merayap setiap kali... aah, sudahlah. Sepanjang bahagia ini masih halal, biarkanlah ia menjalar, merembes ke setiap pori, merasuki setiap sel, memprovokasi semangat, semoga dengan itu duka yang membuatnya sesat berubah nikmat.
Belum sempat meraih gerendel pintu, Bunda lebih dulu menyerbu keluar menyambutnya. "Alhamdulillah! Putri Bunda sudah pulang. Kemana saja, Lala? Abah kelimpungan mencarimu, Sayang," Bunda mencurahinya dengan hujan ciuman di kening dan pipi Lala.
"Afwan, Abah, afwan Bunda," Lala bergantian mencium punggung tangan Abah dan Bunda. "Tadi keasyikan di bukit, sampai lupa waktu. Alhamdulillah tadi dapat tumpangan kuda, kalau tidak, wahh... bisa kemalaman deh."
"Kuda?" Tanya Abah dengan lengkung di keningnya.
"Hmm..," Lala hanya ber-hmm, didera kehausan parah, mulutnya penuh menampung air. Tapi tidak lupa basmallah, hingga Bunda pun sempat mengerling geli.
"Hors...eeh, Jalitheng," imbuhnya kemudian ketika danau itu jebol dan tumpahlah ke dalam kerongkongannya.
"Oh, Alhamdulillah wa syukurillah. Kau bertemu Fatih rupanya," lengkung di kening Abah sontak lenyap, wajah tuanya seketika bercahaya seperti mentari menjemput pagi.
"Fa... Fatih?" kini lengkung itu ada di kening Lala.