"Lala!"
Sebuah seruan yang jelas berdaya magis. Sanggup membekukan kaki Lala seketika itu juga. Lala? Tak salah dengarkah? Bagaimana perumput itu bisa menyebut nama "Lala" seolah telah mengenalnya dengan sangat baik..
"Ya, Kau! Â Kau Lala, putri Abah," orang itu kembali angkat bicara tanpa keraguan. "Ayo, pulang, ini sudah menjelang Ashar. Sebentar lagi bukit ini akan disergap gelap," bicara begitu sambil membenahi gunung vegetasi hasil peperangannya yang membabi-buta belum lama lalu.
Lala masih mematung. Tertegun memandangi si orang dusun yang semula didakwanya sebagai perompak makam. Alhamdulillah, ternyata bukan, dan syukurlah Umi pun masih aman damai dalam peristrirahatannya. Eh, tapi siapa pula kau menyuruh orang pulang seperti bapak kepada anaknya?
"Ayo, tunggu apalagi? Percayalah, kau akan kesulitan menemukan jalan pulang meski memintas kebun teh sekalipun. Ini bukan kotamu dimana kau leluasa bergantung pada Waze atau Google Map," imbuh orang itu panjang lebar, jelas terkesan upayanya menambah keyakinan pada lawan bicaranya agar segera memenuhi saran baiknya.
Lala tetap bergeming. Mesin pencari di kepalanya masih sibuk berputar-putar menemukan tautan jawaban. Gadis itu sangat yakin pernah melihat si orang dusun ini. Tapi benarkah? Rasanya sulit dipercaya dia adalah orang yang sama. Dengarlah bagaimana ia baru saja nyerocos seperti kran bocor. Seperti salesman dengan produk kebanggaan di depan calon pembeli yang tak berpengalaman. Ugh, padahal...
"Angkot!" Lala cepat menebak sesaat akhirnya pencarian itu bertaut juga. "Ya, kau orang dusun yang di angkot itu, kan?" telunjuk Lala tegas mendakwa lawan bicaranya. Sekarang Lala yakin, haqul yaqin,orang dusun inilah yang dilihatnya sepekan lalu di dalam angkutan pedesaan. Orang yang mulutnya tampak seperti kehilangan gemboknya kala itu, hmm.. agaknya anak gembok itu sudah ditemukan, pantas saja kosakatanya mubah bergerombol seperti tanggul pecah dibobol.
"Aku bawa kuda. Naiklah! Biar kuantar kau kembali ke pondok," perintah orang itu abaikan segala dakwaan Lala. Lalu jemarinya bertautan di mulut, membuat siulan memanggil teman kaki empatnya, seekor kuda hitam rupawan, tinggi, gagah dan amat menawan. "Ayo naik! Usah bimbang, ini gratis-tis!" nadanya tetap tegas, menolak dibantah.
"Tidak mau!" Lala sama tegas menolak. "Kau itu bukan muhrimku. Haram berkudaan berdua."
"Hmm, begitukah?" orang itu separuh bergumam. "Jangan membuatku tertawa deh. Siapa pula yang berniat naik di punggung kuda berdua denganmu," datar saja ia bicara, sedatar wajahnya yang terlindungi kupluk, topi ala penjual kerupuk.
Bibir Lala menyabit pahit. Manyun sambil komat-kamit entah jejampi apa yang ia rapalkan dengan sepenuh kesal. Dari balik punggung orang itu, tinju Lala dikepalkan, seolah-olah hendak dilayangkan, namun kakinya melompat juga ke atas pelana kuda. Sebalnya menggumpal mendengar tutur katanya namun tak kuasa menampik tunggangan berharga yang ditawarkannya tanpa tiket, kupon, hhh…apapun itu varian diskon.