Mohon tunggu...
Jasmine
Jasmine Mohon Tunggu... Wiraswasta - Email : Justmine.qa@gmail.com

Just me, Jasmine, just a tiny dust in the wind

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Party in Square Brackets

12 November 2016   20:21 Diperbarui: 12 November 2016   20:33 235
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

-o0o-

“Tak ada pesta yang tak kuhadiri,” pada suatu ketika, Sahid berkata, tanpa maksud menyombong sikit pun jua. Sahid tidak sedang berdusta. Ia memang seorang penggila pesta. Baginya pesta merupakan candu kehidupan.

“Work Hard Play Harder!”ujar Sahid mengutip sebuah motto. Ia bukan asal comot kata-kata para bijak. Sepanjang hidupnya ia telah membanting tulang. Baginya, berpesta adalah ganjaran pantas atas semua kerja kerasnya.

Jadi ya, dimana ada irama musik pesta bergema rancak, disitulah kaki-kaki Sahid mengentak-entak. Tak masalah dimana pesta digelar, ia pasti datang. Seringnya pesta-pesta itu tak membagikan undangan, namun Sahid selalu berhasil memastikan kehadirannya disambut terbuka.

Yang mengejutkan, ketika nama Sahid dengan sosok easy-going-nya itu justru tak diakrabi di antara para EO, ataupun di kalangan sosialita dan fashionista. Loh?

“Biasa aja kalee. Memang kenapa kalau orang semacam diriku ini maniak pesta?” Sahid menyusupkan nada tak suka karena diragukan fanatismenya pada pesta, ajang yang kerap dituduh bergelimang hura-hura.

Pesta! Ya, Sahid pantas berkeberatan. Siapa sih yang tak menyukai pesta. Boleh dikatakan semua orang, tanpa terkecuali, senang berpesta. Bahkan kaum shalihin-shaliha pun gemar berpesta. Kendati pesta bagi golongan mereka selalu terselenggara secara privately exclusively. Berlangsung dengan amat elegan. Dan! Sangat jauh dari sorotan. Pesta munajat kata-kata, orasi hati, puja-puji, menabur doa, rapalan wahyu dan kalam di keheningan sepertiga malam.

“Lagi-lagi, kau keliru terka. Orang semacam diriku pun pernah hadir di pesta sakral semacam itu. Walau memang sulit bagiku mengikuti pesta gaya mereka,” Sahid malu-malu mengakui seraya perlahan-lahan menghirup inhalernya. Lalu menerawang jauh seakan hendak membobol langit-langit hunian sederhana yang ongkos sewanya ia setorkan setahun dua kali.

Itulah si Sahid, abangnya Sahida, anak dari Mak Patima. Jangan kecele, sungguh ia bukan mahasiswa. Ciailee, lulus SMA pun melalui ujian kesetaraan Kejar Paket C. Namun pada setiap pesta, kesibukkannya mengalahkan ketua dewan senat terhormat yang kemana pun pergi garis edarnya pasti dilirik mahasiswi cantik yang berbisik-bisik sambil kulum-kulum senyum.

Tongkat komandonya terjepit di bawah armpit. Sesekali ditinggikan, diacungkan, mungkin juga sambil membayangkan sebuah panggung orkestra besar dengan tiket berharga selangit. Namun dunia si Sahid amat sempit. Pesta, pesta, pesta dan dirinya sudah seperti kembar dampit.

“Orkestra bisu!” ralat Sahid secepat kilat. Bibir ungunya manyun, tak menutupi rasa ingin menggerutu. “Bagaimana bisa seseorang terus menerus menaruh anggapan keliru terhadapku?!”

Jangan salahkan si Sahid. Ia tidak sedang mengada-ada. Tongkat bekas gagang sapu itu memang bukan baton. Tapi juga bukan pengatur barisan siluman penyembah uang penoda pesta. Titah di tangannya hanyalah menjadi alat penghitung gunung kardus...kardus...dengan isi yang seakan mau meletus!

“Begitulah,” cetus Sahid pendek usai klarifikasi tentang peranannya yang sejati dalam setiap pesta. “Jadi, sejak semula, pikirmu aku ini apa?” Sahid mendengus geram.

Catat! Itulah realitanya. Sahid ternyata hanyalah sekedar pengais rejeki dari gelaran pesta-pesta itu. Tak lebih. Ia dan keluarganya berjualan macam-macam yang dibutuhkan sebuah pesta. Mulai dari air mineral, air artifisial, tisu basah-kering, dan kembang gula berperisa jahe segar yang ampuh sebagai pelega tenggorokan. Bukankah tanpa pernik semua itu, mustahil sebuah pesta berjalan? Sedang Sahida, adiknya, memungut rejeki lebih dari bunga-bunga pesta yang berserakan, bebotol plastik itu.

“Namun...,” Sahid menghirup dalam-dalam udara yang tersembur dari inhalernya. Jeda antara kata dan asupan nafas buatannya itu, sungguh menggelitik. Sahid seperti tengah menyimpan hot news yang maknyus. “Namun pada pesta mendatang, aku tak ingin di belakang layar,”demikian Sahid memutuskan. Lantas inhalernya dikemas dalam sebuah tas selempang. “Pestanya dadakan. Tanpa persiapan sama sekali. Pesta terjadi karena desakan dalam dada yang terluka,” Sahid menambahkan. Wajahnya tampak sangat serius. Sorot matanya berkilat. Tampak jelas gurat semangat dan kebulatan tekat. Nyata benar bila ia sangat ingin terlibat.

Pesta apakah gerangan, hingga Sahid tak peduli kalkulasi laba-rugi. Ia tinggalkan niaga begitu saja. Ia bahkan menukar baju seadanya dengan pakaian terbersih yang ia punya. Tutup kepala yang biasa ia khususkan untuk beribadah, kini tersemat di rambutnya dengan megah. Atau jangan-jangan Sahid khilaf? Tak mungkin ia tersaru antara pesta dan sembahyang?

“Jangan lupa inhalernya, Sahid,” Emak bahkan memberikan restu sepenuhnya. Nah!

“Inhaler sudah siap, Mak! Ini juga!” Si Sahid mengangkat sesuatu.

“Kantung plastik hitam besar?”Manik mata Sahida membulat besar. Bertanya tak percaya.

“Juga ini, dan ini!” Sahid kembali memamerkan sesuatu. Bangga pada piranti pestanya.

“Pengki dan sa..sapu?! Abang Sahid ini sebenarnya mau ke pesta atau mau kerja bakti, siih?” kening Sahida berkerut tak mengerti. Sahid memberinya senyum penuh erti.

Geliat pesta mulai menggelombang ketika hati saling curhat. Hati yang terluka bersua dengan hati yang tersinggung. Lalu terkait pada hati yang tersentil. Kemudian terikat pada hati yang tak terima. Selanjutnya terangkum bersama hati yang merasa terhina. Dan segeralah menjalin ikatan dengan hati yang merasa terdzalimi. Hingga beribu-ribu hati lantas bersatu dan bernaung dalam satu ikrar. Pesta!

Maka dari itu, kendati tak tersebar undangan dalam tinta emas, meski juga bebatang cerutu tak dibagikan sebagai ulem-ulem laiknya hajat di masa lampau, dan bahkan TOA-toa telah diturunkan karena seringnya dicap sebagai pengobar, namun.... kicau burung-burung begitu ramai mengabarkan janji kemeriahan pesta. Sulur-sulur baja menjadi penghantar berita nan handal.

“Bukan itu saja,” Sahid bergegas menambahi. “Para ibu jari pun serentak berdiri, memberi sepenuhnya dukungan untuk sebuah pesta akbar.Aku heran mengapa kau tak juga bernalar.”

Sahid benar. Bahkan hujan turun semalam sebelumnya, agar pesta esok hari serasa bertempat dalam hall berhawa puncak pegunungan. Sabda alam ini seharusnya sakti dalam bilik perenungan. Tapi, entah mengapa kita memilih diam dalam kepuraan.

“Let’s the party get started! Yay!”

Aspal hitam perlahan mengapas. Serupa awan yang berarak menyaksikan euphoria pesta. Panji-panji berkibar. Umbul-umbul berayun, bergerak mengombak, ikuti lelangkah nan mengentak. Angin berhembus, sejuk namun tegas menyampaikan keluhan yang menampar pilar-pilar besar, mengguncang kastil tempat berlindung para penguasa yang tengah duduk hikmat seperti penikmat acara nobar di Cafe de Bunk Shutted yang beralamat di Jalan Laknat.

Pesta! Pesta!

Sahid lepas menyintas. Ia tak lagi di belakang layar, menjaja air mineral. Ia telah berganti peranan. Sahid larut dalam pesta sebagai pelaku utama, seperti tekadnya sejak awal. Keteguhan hatinya tak perlu dikawal. Itu lahir dari jiwa murni yang sulit disangkal.

Sahid tak gentar. Meski sekelilingnya pagar-pagar berseragam gahar. “Ini pesta, Bung, bukan kelakar!”teriak Sahid dalam tatap nanar. Ia bersiteguh bila pestanya takkan bubar, sebelum keluh didengar. Namun Sahid malang terkapar.

Sebutir timah baru saja tervonis bebas dari tungku perapian. Tubuh metalnya panas membara. Nafsu membunuhnya begitu bergelora. Targetnya tak lain ialah perisai dada. Pelindung hati yang dianggap rewel bicara.

“Abang! Abang! Bangun, Abang! Bang Sahid!” tangan kecil Sahida mengguncang tubuh rapuh berpeluh. Di sampingnya, satu kemas inhaler hancur remuk. Kantung plastik hitam besar berceceran. Pengki dan sapunya berpindah ke tangan-tangan liar yang berserikat mendayung untung di lumpur pekat.

“Sahid, Nak, putraku Sahid, Insya Allah, sahid...,” Mak bergumam dalam lafazh keihlasan. Mak tahu kemana Sahid pergi. Senyum di wajah Sahid terbersit begitu cerah, indah. Cukuplah itu bagi Mak bila dukanya tak harus bercucur air mata. Meskipun pelupuknya memang menggenang, itu gegara cabe dan merica yang remuk di atas cobek batu, kini berhamburan di udara, tumpah ruah sebabkan mata merah, super pedih dan panas hingga sekejap tuna retina.

......‘[Dalam pesta itu, seorang penggiat pesta meninggal dikarenakan sakit asma]’......

Sebaris itu sajalah beritanya. Dan hanya tertulis di bagian terbawah pada kolom aksara berlari yang acap bablas dari bidik mata pemirsa. Tidak dalam bold, italic, underline, apalagi masuk tajuk headline. Tidak.

Rugi!” kata sebuah lensa ketika ditanya soal jiwa melayang namun ditampilkan selayang pandang.

Oya, tentu saja. Mengapa harus bodoh bertanya. Bukankah lensa-lensa itu sesungguhnya telah kehilangan muka karena uang muka. Lelensa tak lagi gagap meramu fakta dengan dusta. Hingga yang syubhat pun kian pekat. Mata dibuatnya sulit melihat. Bilik hati dibuatnya tertutup rapat.

Sementara di muara pesta, para cukong yang berkaus oblong, berperut seperti perut bagong, yang pusernya bodong, duduk nyaman angkong-angkong sambil menggaruk bokong, angkat kaki sembari memagut pipa cangklong, menonton hiruk-pikuk pesta seperti menyoraki semarak festival barong. Sedang bandar yang semampai bak jerangkong, daripada bengong, mending senyum-senyum kecut dan berceloteh meniru bencong, “Aiih, tolong dong, kalian orang apa orong-orong? Muke lo, udeh pada cemong. Banyak cingcong. Betingkah kaya garong. Iiih, amit-amit deh, bikin eyke ngga cintrong. Mending nyungsep aje ke gorong-gorong. Pesta! Pesta! Pesta bibir lo monyong!”

Pesta! Pesta!

Sekali lagi, siapa tak suka berpesta? Bukan si Sahid sebenarnya yang menggilai pesta. Serikat bandar dibalik lelensa itulah pencipta pesta sekaligus penangguk laba terbesar dari apapun itu...pesta. Namun entah apa yang kan kami temui, bila sebuah pesta akbar digelar di padang Mahsyar...

-o0o-

-Fin-

-[gambar: thinglink.com]-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun