Mohon tunggu...
Jasmine
Jasmine Mohon Tunggu... Wiraswasta - Email : Justmine.qa@gmail.com

Just me, Jasmine, just a tiny dust in the wind

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Party in Square Brackets

12 November 2016   20:21 Diperbarui: 12 November 2016   20:33 235
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jangan salahkan si Sahid. Ia tidak sedang mengada-ada. Tongkat bekas gagang sapu itu memang bukan baton. Tapi juga bukan pengatur barisan siluman penyembah uang penoda pesta. Titah di tangannya hanyalah menjadi alat penghitung gunung kardus...kardus...dengan isi yang seakan mau meletus!

“Begitulah,” cetus Sahid pendek usai klarifikasi tentang peranannya yang sejati dalam setiap pesta. “Jadi, sejak semula, pikirmu aku ini apa?” Sahid mendengus geram.

Catat! Itulah realitanya. Sahid ternyata hanyalah sekedar pengais rejeki dari gelaran pesta-pesta itu. Tak lebih. Ia dan keluarganya berjualan macam-macam yang dibutuhkan sebuah pesta. Mulai dari air mineral, air artifisial, tisu basah-kering, dan kembang gula berperisa jahe segar yang ampuh sebagai pelega tenggorokan. Bukankah tanpa pernik semua itu, mustahil sebuah pesta berjalan? Sedang Sahida, adiknya, memungut rejeki lebih dari bunga-bunga pesta yang berserakan, bebotol plastik itu.

“Namun...,” Sahid menghirup dalam-dalam udara yang tersembur dari inhalernya. Jeda antara kata dan asupan nafas buatannya itu, sungguh menggelitik. Sahid seperti tengah menyimpan hot news yang maknyus. “Namun pada pesta mendatang, aku tak ingin di belakang layar,”demikian Sahid memutuskan. Lantas inhalernya dikemas dalam sebuah tas selempang. “Pestanya dadakan. Tanpa persiapan sama sekali. Pesta terjadi karena desakan dalam dada yang terluka,” Sahid menambahkan. Wajahnya tampak sangat serius. Sorot matanya berkilat. Tampak jelas gurat semangat dan kebulatan tekat. Nyata benar bila ia sangat ingin terlibat.

Pesta apakah gerangan, hingga Sahid tak peduli kalkulasi laba-rugi. Ia tinggalkan niaga begitu saja. Ia bahkan menukar baju seadanya dengan pakaian terbersih yang ia punya. Tutup kepala yang biasa ia khususkan untuk beribadah, kini tersemat di rambutnya dengan megah. Atau jangan-jangan Sahid khilaf? Tak mungkin ia tersaru antara pesta dan sembahyang?

“Jangan lupa inhalernya, Sahid,” Emak bahkan memberikan restu sepenuhnya. Nah!

“Inhaler sudah siap, Mak! Ini juga!” Si Sahid mengangkat sesuatu.

“Kantung plastik hitam besar?”Manik mata Sahida membulat besar. Bertanya tak percaya.

“Juga ini, dan ini!” Sahid kembali memamerkan sesuatu. Bangga pada piranti pestanya.

“Pengki dan sa..sapu?! Abang Sahid ini sebenarnya mau ke pesta atau mau kerja bakti, siih?” kening Sahida berkerut tak mengerti. Sahid memberinya senyum penuh erti.

Geliat pesta mulai menggelombang ketika hati saling curhat. Hati yang terluka bersua dengan hati yang tersinggung. Lalu terkait pada hati yang tersentil. Kemudian terikat pada hati yang tak terima. Selanjutnya terangkum bersama hati yang merasa terhina. Dan segeralah menjalin ikatan dengan hati yang merasa terdzalimi. Hingga beribu-ribu hati lantas bersatu dan bernaung dalam satu ikrar. Pesta!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun