Mohon tunggu...
Jasmine
Jasmine Mohon Tunggu... Wiraswasta - Email : Justmine.qa@gmail.com

Just me, Jasmine, just a tiny dust in the wind

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Party in Square Brackets

12 November 2016   20:21 Diperbarui: 12 November 2016   20:33 235
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Maka dari itu, kendati tak tersebar undangan dalam tinta emas, meski juga bebatang cerutu tak dibagikan sebagai ulem-ulem laiknya hajat di masa lampau, dan bahkan TOA-toa telah diturunkan karena seringnya dicap sebagai pengobar, namun.... kicau burung-burung begitu ramai mengabarkan janji kemeriahan pesta. Sulur-sulur baja menjadi penghantar berita nan handal.

“Bukan itu saja,” Sahid bergegas menambahi. “Para ibu jari pun serentak berdiri, memberi sepenuhnya dukungan untuk sebuah pesta akbar.Aku heran mengapa kau tak juga bernalar.”

Sahid benar. Bahkan hujan turun semalam sebelumnya, agar pesta esok hari serasa bertempat dalam hall berhawa puncak pegunungan. Sabda alam ini seharusnya sakti dalam bilik perenungan. Tapi, entah mengapa kita memilih diam dalam kepuraan.

“Let’s the party get started! Yay!”

Aspal hitam perlahan mengapas. Serupa awan yang berarak menyaksikan euphoria pesta. Panji-panji berkibar. Umbul-umbul berayun, bergerak mengombak, ikuti lelangkah nan mengentak. Angin berhembus, sejuk namun tegas menyampaikan keluhan yang menampar pilar-pilar besar, mengguncang kastil tempat berlindung para penguasa yang tengah duduk hikmat seperti penikmat acara nobar di Cafe de Bunk Shutted yang beralamat di Jalan Laknat.

Pesta! Pesta!

Sahid lepas menyintas. Ia tak lagi di belakang layar, menjaja air mineral. Ia telah berganti peranan. Sahid larut dalam pesta sebagai pelaku utama, seperti tekadnya sejak awal. Keteguhan hatinya tak perlu dikawal. Itu lahir dari jiwa murni yang sulit disangkal.

Sahid tak gentar. Meski sekelilingnya pagar-pagar berseragam gahar. “Ini pesta, Bung, bukan kelakar!”teriak Sahid dalam tatap nanar. Ia bersiteguh bila pestanya takkan bubar, sebelum keluh didengar. Namun Sahid malang terkapar.

Sebutir timah baru saja tervonis bebas dari tungku perapian. Tubuh metalnya panas membara. Nafsu membunuhnya begitu bergelora. Targetnya tak lain ialah perisai dada. Pelindung hati yang dianggap rewel bicara.

“Abang! Abang! Bangun, Abang! Bang Sahid!” tangan kecil Sahida mengguncang tubuh rapuh berpeluh. Di sampingnya, satu kemas inhaler hancur remuk. Kantung plastik hitam besar berceceran. Pengki dan sapunya berpindah ke tangan-tangan liar yang berserikat mendayung untung di lumpur pekat.

“Sahid, Nak, putraku Sahid, Insya Allah, sahid...,” Mak bergumam dalam lafazh keihlasan. Mak tahu kemana Sahid pergi. Senyum di wajah Sahid terbersit begitu cerah, indah. Cukuplah itu bagi Mak bila dukanya tak harus bercucur air mata. Meskipun pelupuknya memang menggenang, itu gegara cabe dan merica yang remuk di atas cobek batu, kini berhamburan di udara, tumpah ruah sebabkan mata merah, super pedih dan panas hingga sekejap tuna retina.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun