Mohon tunggu...
Jasmine
Jasmine Mohon Tunggu... Wiraswasta - Email : Justmine.qa@gmail.com

Just me, Jasmine, just a tiny dust in the wind

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Bapak Telah Pergi

18 Oktober 2016   13:36 Diperbarui: 18 Oktober 2016   13:52 523
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

-o0o-

Itu sudah diputuskan, begitulah Bapak mengatakan ihwal kepindahannya ke sebuah rumah baru tanpa menenteng apapun, bahkan anak dan istri tak diberinya restu untuk turut serta.

Banyak kecamuk yang terlibat dalam diskusi pikiranku tentang muasal keputusan ekstrimnya ini. Bahkan ketika Bapak benar-benar menjadi tak tersentuh oleh bujukan, aku sempat ingin percaya bila Bapak telah kerasukan sesuatu.

Hal semacam ini baru pernah terjadi. Walaupun strata mendudukkannya dalam posisi sebagai kepala keluarga, Bapak bukanlah seorang executor. Selalu Makku yang bertindak sebagai pengambil keputusan. Namun, yah, begitulah, bila mengingat kedua orang tuaku, sekedar pindah rumah seharusnya segala syak wasangka tidaklah perlu.

Perbedaaan sifat dan karakter yang sangat berpunggungan antara Bapak dan Mak bukan tamu asing macam salesman yang datang lalu pergi dan tak kembali. Cekcok mulut telah menjadi nafas dalam kehidupan rumah tangga kedua pasangan yang bersatu karena taklimat para sesepuh dan pinisepuh itu. Akan tetapi, Bapak berjaya mengekang segala wujud emosi. Aku menjamin sepenuh kebanggaanku sebagai anaknya bila ia tak sekalipun melayangkan tangan kepada anak-istri. Kesabaran alot macam inilah yang kuyakini telah menjadi dasar keberhasilan perekat-keutuhan keluarga yang telah dibinanya hingga separuh abad kini. Maka sudah barang tentu, bila hijrah Bapak ini menjadi kejutan yang blas, sama sekali, tak menerbitkan kesenangan di antara kami.

“Ada apa ini, Pak?”

Mataku kulempar ke arahnya, lelaki tua dengan hela nafas berat, begitu berat hingga perut datarnya itu merelung tertarik ke dalam. Berat badannya 43 Kg, tertinggal dua kilo dari bobot anak SD-kelas 4-ku.

Bapak tak menjawab. Hanya duduk mencangkung di atas kursi kayu mahoni yang sudah mencium bokong tepos Bapak sejak lama, barangkali hafal pula bau kentutnya yang selalu senyap itu. Aku masih bocah, namun teringat jelas waktu itu menjelang adzan Maghrib, lewatlah seorang pedagang keliling yang berjalan terseok-seok memanggul beban berat dagangannya. Bapak membeli satu set, meja berikut empat kursi. Itulah kemewahan pertama dalam keluarga kami. Dan dalam perjalanannya, ‘kemewahan’ itu telah tiga kali berganti rupa. Merah semu-jambu di awal, biru kemudian agar porinya yang melebar tersumpal, terakhir hingga cucu keempatnya lahir, birunya telah mengabur abu-abu.

“Pasti ada alasan tertentu, iya  kan, Pak?” Kutekankan nada menuntut sebuah jawaban. Namun rupanya Bapak lebih senang menggaruk kepalanya yang tampak meranggas. Dengan kekeh yang sangat khas.

Aku tertenung pada isi lemari Bapak. Kemeja batik, baju koko, pantalon, kolor, singlet, sarung dan bahkan peci sederhana hasil jahitannya sendiri dari sesisa perca, kesemuanya itu tertata dalam susunan yang amat rapi. Kurasa, akan sulit menemukan rival sebanding dengan Bapak dalam hal kerapian. Padahal, demiNya Yang Maha Melihat, pakaian yang Bapak openi kanthi titi lan gematiitu, 80 persennya merupakan pemberian orang, lungsuran, gibah dari ajang coblosan erwe, kades, dan ragam pimpinan yang semua jargonnya kemaruk mengatakan akan berjuang dan bekerja di atas kepentingan wongcilik. Lah, Bapak itu cilik, tapi terbukti awet cilik walau setya tuhu ngagemkaus murah pemilu. Adapun sisanya yang 20 persen adalah pemberian anak, dan celakanya lagi itu bukan berasal dariku.

Kalau Bapak tak hentinya membuatku takjub, Bapak justru terpesona dengan ‘harta’ di lemari lapuknya itu. Pandang mata sepuhnya begitu lugu, polos, tanpa kepura-puraan. Kumisnya dwi warna, tumbuh jarang-jarang di atas bibir yang kehitaman, akan berkisah tentang kemurahan Tuhan yang datang bertubi-tubi di masa tuanya.

Kisah pun akan berlanjut tentang sensasi karung goni saat bersinggungan dengan kulit, gatal tak terkata. Disusul kisah sepasang kemeja dan celana dari Tuan Belanda. Cerita itu akan berakhir dengan kisah perjuangan Simbah Kung yang harus menempuh perjalanan jauh sekedar mengecilkan pakaian model Eropa itu. Kemudian ditutup dengan epilog berupa lelehan air mata.

“Ambillah sesuatu, sarung atau apa saja yang sekiranya berguna untukmu,” tawar Bapak seperti hendak mengurai pikiranku.

Mana kan ada baju Bapak yang becus menampungku, tubuh dengan massa otot yang berkembang baik dan maksimal akibat rutin berlatih angkat beban –angkat muat karung beras di pasar Wagean. Sedangkan Bapak begitu kecil, kurus, karena bungkah parunya merupakan inang bagi mycobacterium sialan. Sejak itu lenyaplah sudah kondisinya yang paling produktif,  dan segala kemudaan yang pernah kulihat di masa itu, masa kekanakanku yang sangat ambisius.

“Bawalah sepeda Bapak, jadi kamu ngga usah itu segala beli alat olahraga....uhm, apa itu, rismil?” sambil memagut bibir mug tehnya, Bapak menambah kata.

Bapak adalah penikmat teh sejati. Loyalitasnya meneguk seduhan tanaman Camellia Sinensis itu setara dengan kesetiaanya kepada satu-satunya perempuan yang pernah ia gauli –Makku. Dan bila bicara soal sepeda, entah sudah berapa kali sepeda hijau tua itu mengalami proses tukar-tambah. Hobi ini pula yang acap menjadi mata air pertengkaran Bapak dan Mak. Bapak meyakini tukar-tambah dapat mendongkrak daya minat-beli. Sedang Mak bersikukuh itu hanya jalur lain menuju rugi.

“Namanya thread mill, Pak. Nek rismil kan ngge mlecehi wos,” ucapku sambil mengais jenggot klimis dan menaksir bilakah sepeda ini diterima si Eko sebagai maharnya masuk SMP. Sebab bukankah sudah lazimnya remaja jaman sekarang lebih pede memancal persneling daripada menggenjot velocipede?

“Mesin jahite gawa bae nganah. Istrimu, si Lestari itu bisa menjahit, kan?”Bapak kembali mengangsur opsi. Teko tehnya diguyur lagi dengan air panas dari botol kedap udara –termos yang pernah membantu Bapak dan Mak berjualan aneka minuman hangat di emper toko peralatan musik sepanjang jalan Jendral Sudirman, sebelum Bapak menerima jasa jahit-menjahit.

Oya, setelah pensiun sebagai supir, Bapak dengan didampingi Mak, mencoba mengais rejekinya sebagai pedagang kaki lima. Tapi seperti banyak potret anak negeri ini, upaya itu tak langgeng akibat pemakzulan dari laskar penertiban kota. Setelah gerobaknya digiring paksa ke kantor pemerintahan setempat dan tak sanggup ditebusnya, Bapak lantas banting kemudi merujuk penghasilannya dengan mengandalkan ketajaman mata plus-nya. Kalau dulu kaki renta itu difungsikan untuk menginjak rem dan kopling, sekarang dipakainya untuk menggenjot pedal mesin jahit pemberian tetangga kaya murah hati. Namun begitu, Bapak bukanlah penjahit profesional bersertifikasi yang diakui kelihaiannya menggunting, memotong lalu menyulap kain menjadi pakaian dalam jahitan yang halus sempurna. Bapak hanya mengandalkan ketekunan dan kesabarannya sebagai penjahit spesialisasi vermak. Padahal, siapapun tahu, pekerjaan vermak itu jauh lebih rumit daripada menciptakan busana baru. Tapi Bapak telah bertekat. Maka tak terbatas pada celana, baju, yang perlu dibesar-kecilkan itu, segala tas, dan rerupa yang bisa di-vermaknya dengan cara menjahit, pasti takkan Bapak tolak. Belakangan, Bapak kebanjiran order membuat sampul kitab suci milik para jamaah dari beberapa majelis yang Mak sambangi. Walau semua itu dengan imbalan yang acap membuatku sebak di dada. Karena Bapak tak pernah memasang label harga, baginya berapapun nilai upah itulah berkah,  yang wajib disyukuri karena semuanya berasal dari Allah Yang Maha Pemurah.

“Jam tangan Bapak, bebatu akik, semua itu berikan saja kepada Lekmu Nawi. Di tangannya, benda-benda itu pasti segera berubah jadi uang.”

Telingaku abai pada titah Bapak. Pikiranku tengah membuntu. Lidahku kelu. Bilik dadaku mampat oleh tangis yang kuhambat. Aku tertunduk. Raut wajah Bapak pun terpapar di lantai. Aku seperti dihantam badai. Kian meremuk.

Jam tangan Bapak hanya berbilang 3 buah saja. Walau tak pernah dijamas namun disimpan dengan baik bagai pusaka keraton. Biar awet, makin antik makin mahal harganya, demikian penjelasan Bapak pada suatu ketika. Satu, konon pemberian Frida de Graaf, nenek Belanda yang semasa mudanya banyak berhutang budi kepada Simbah Putri, ibu dari Bapakku. Satu lagi, konon pula asli buatan pengrajin Tiongkok. Jam tangan itu pemberian dari Babah Ang Lye Hin alias Lucas Hindri Angkatmoko sebagai hadiah atas 10 tahun masa pengabdian Bapak sebagai supir harian berupah murah –terlampau murah, bagi kelangsungan toko kelontong Cina-peranakan itu. Yang terakhir, aku tahu itu pemberian si Bungsu dari hasil lawatannya ke luar negeri, adik bungsuku yang kolokan bin semblothongan namun paling bertaji di antara kami.

“Tapi jangan tinggalkan kartu BPJS Bapak ya? Nanti repot kalau Bapak mau check-up ke klinik BP4,” pintaku menghiba dan sarat muatan putus asa.

BPJS bribil wedhus! Batinku mengumpat. Kartu yang banyak diagungkan rakyat itu nyatanya hanya bersedia memberikan obat sejumlah iuran Bapak per bulan yang hanya sekian puluh ribu rupiah itu. Padahal obat yang harus diminum Bapak harus berkesinambungan, tak boleh putus di tengah bulan. Bila nafas ingin lancar, maka harus kembali lagi setor muka ke klinik BP4. Kalau tak ingin kehilangan ongkos perjalanan yang tidak sedikit itu, Bapak harus bersedia membeli obat yang dibutuhkannya di apotik rujukan yang notabene harga obatnya pasti menuai keluhan.

Dan kartu BPJS, hal yang paling kuanggap krusial itupun, lagi-lagi ditampik Bapak. Dengan alasan yang terekam begitu meyakinkan, “Pada saat Bapak kontrol terakhir kalinya, dokter telah memvonis kalau Bapak sudah sembuh total. Bapak sudah tak butuh kartu itu.”

Dalam diam, aku mereka dugaan. Mengapa semua hal dan barang terkesan hendak dibuang? Atau dihibahkan nyaris semua kepadaku? Tidakkah Bapak sedang menyindirku? Sebab, akulah anaknya yang tak pernah memberi status berada pada Bapak dengan kelimpahan barang-barang pemberian dariku.

Tapi ah, lekas kutepis su’udzonku. Untuk beberapa saat aku malu sendiri dan bergegas memaki pikiran picik itu. Bapak yang kekenal bukanlah orang seperti itu. Bapak bukan tipe yang suka menyindir sesiapa walau tersakiti macam mana jua. Ia lelaki yang lurus. Hati dan pikirannya bersih. Hasratnya tak lain ingin selalu sehat dan bermanfaat sebesar-besarnya bagi istri, anak dan 4 cucunya.

“Lalu kesibukan apa yang hendak Bapak lakukan? Tidakkah terpikir rasa jenuh dan bosan, tanpa kesibukan, dalam rumah yang hampa, kosong melompong? Jangan katakan Bapak hendak bertapa ya?”

“Bertapa ya? Kau boleh menganggapnya begitu. Tapi sebenarnya Bapak ingin istirahat....Ngaso sambil berharap kiriman.” Bapak terdengar berteka-teki.

“Bukan kiriman uang, kan, Pak? Hehe...,” Kucoba melempar kelakar. Hambar dan sedikit kurang ajar.

“Namanya jauh dari istri, anak, kerabat dan segala kesenangan, ya tentunya kiriman doa saja, Nak. Biar Bapak nyaman tinggal di sana.”

Seingatku itulah diskusi singkat terakhir dengan Bapak. Tak lama, kami pun melepas keberangkatannya. Tak satu stel pakaian dibawa, hanya sekedarnya yang  melekat di tubuh tipisnya itu saja. Topi atau peci yang menjadi ciri keseharian Bapak, ia lepas seperti melepas semua jubah kebanggaan yag pernah ada terhadap dirinya. Pria tanpa mahkota ibarat raja tanpa tahta. Namun ia biarkan rambut putih yang tinggal beberapa helai  itu ditimpa sapuan surya. Bapakku melenggang dalam senggang. Berlalu tanpa memutar gulu.

Pada suatu hari, di langit dengan perjamuan arak-arakan awan kelabu, aku berkunjung ke rumah Bapak yang baru itu. Setibanya di sana, aku yang kerap bermajas, dibuat kehabisan kata-kata, dan pias. Dalam bentangan ironi, kuterkenang kembali akan rona bahagia Bapak dengan keputusannya pindah rumah itu. Bahkan ia wanti-wanti agar kami tak repot dengan bekalan apapun. Tidak, walau sekecil apapun hal kesayangannya.

“Bapak sudah punya sangu cukup,” Bapak menepis bekal nasi kepal hangat buatan Mak. Dengan senyum berlumur keyakinan, seolah ada kepuasan pada Bapak bisa menolak Mak untuk pertama kalinya.

Kue sus yang sengaja kubeli dari toko kue paling ternama di kota ini, pun disorongkannya kembali kepadaku. Padahal kutahu betul, itu kue kelangenanBapak, karena kelembutannya yang sangat meringankan tugas giginya. Barisan gerigi ompong yang berkali disinggung namun pikiranku buntung dan gagal paham bila di lubuk hati Bapak yang sulit kujangkau itu, mungkin saja menginginkan gigi buatan.

Aku berdiri di depan rumah baru Bapak. Tak terdengar sahutan walau berkali telah kusampaikan uluk salam dan segenap kerinduan. Wajahku mengapas. Jiwaku seketika kandas.

Di atas rumah Bapak yang baru, didirikanlah sebuah tugu. Kerdil dan lugu. Aku menatap pilu. Oh, alangkah sederhananya itu. Tanpa gurat ukiran apapun laiknya sebuah tugu. Nama Bapak dipahat begitu seadanya. Serupa goresan luka.

Dan meski bebunga banyak dikerahkan wangi dan kecantikannya, namun rumah Bapak yang baru itu, tetap berwajah murung, sendu. Dan seolah belum cukup segala kemuraman itu, komplek perumahannya pun tampak jelas bersimbah duka. Alih-alih, memajang gapura dengan nama semisal graha indah, griya elok, dan seabreg nama sebuah cluster yang seumumnya, aku tak habis pikir, pengembang ini justru memilih nama “Sasono Rogo Layu.”

[...]

Sayup terdengar kalimah yang meluluh-lemah hati gundah

Lafaz istirja’ dan tangis saling berbaur, tak saling menghibur

Segala duka ini kami kembalikan kepadaMu Yaa Allah

Wahai, Sang Maha Pelipur

Innalillahi wa inna ilaihi roji’un...

Sesungguhnya kami milik Allah dan kepadaNya-lah kami kembali...

Allah Al Hayyu Al Qayyum

Terimalah Bapak di tempat yang sebaik-baiknya di sisiMu

Terimalah segala amal ibadah semasa hidupnya

Ampuni semua dosa semasa hidupnya

Lapangkanlah kuburnya

Terangilah kuburnya

Jauh, jauh, jauhkanlah darinya siksa kubur nan teramat pedih

Dan haramkanlah api neraka menyentuh jasadnya

[...]

Dan kutersadarlah... bila, Bapak telah pergi...

-Fin-

-[gambar: dokpri]-

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun