Mohon tunggu...
Jasmine
Jasmine Mohon Tunggu... Wiraswasta - Email : Justmine.qa@gmail.com

Just me, Jasmine, just a tiny dust in the wind

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Bapak Telah Pergi

18 Oktober 2016   13:36 Diperbarui: 18 Oktober 2016   13:52 523
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Tapi jangan tinggalkan kartu BPJS Bapak ya? Nanti repot kalau Bapak mau check-up ke klinik BP4,” pintaku menghiba dan sarat muatan putus asa.

BPJS bribil wedhus! Batinku mengumpat. Kartu yang banyak diagungkan rakyat itu nyatanya hanya bersedia memberikan obat sejumlah iuran Bapak per bulan yang hanya sekian puluh ribu rupiah itu. Padahal obat yang harus diminum Bapak harus berkesinambungan, tak boleh putus di tengah bulan. Bila nafas ingin lancar, maka harus kembali lagi setor muka ke klinik BP4. Kalau tak ingin kehilangan ongkos perjalanan yang tidak sedikit itu, Bapak harus bersedia membeli obat yang dibutuhkannya di apotik rujukan yang notabene harga obatnya pasti menuai keluhan.

Dan kartu BPJS, hal yang paling kuanggap krusial itupun, lagi-lagi ditampik Bapak. Dengan alasan yang terekam begitu meyakinkan, “Pada saat Bapak kontrol terakhir kalinya, dokter telah memvonis kalau Bapak sudah sembuh total. Bapak sudah tak butuh kartu itu.”

Dalam diam, aku mereka dugaan. Mengapa semua hal dan barang terkesan hendak dibuang? Atau dihibahkan nyaris semua kepadaku? Tidakkah Bapak sedang menyindirku? Sebab, akulah anaknya yang tak pernah memberi status berada pada Bapak dengan kelimpahan barang-barang pemberian dariku.

Tapi ah, lekas kutepis su’udzonku. Untuk beberapa saat aku malu sendiri dan bergegas memaki pikiran picik itu. Bapak yang kekenal bukanlah orang seperti itu. Bapak bukan tipe yang suka menyindir sesiapa walau tersakiti macam mana jua. Ia lelaki yang lurus. Hati dan pikirannya bersih. Hasratnya tak lain ingin selalu sehat dan bermanfaat sebesar-besarnya bagi istri, anak dan 4 cucunya.

“Lalu kesibukan apa yang hendak Bapak lakukan? Tidakkah terpikir rasa jenuh dan bosan, tanpa kesibukan, dalam rumah yang hampa, kosong melompong? Jangan katakan Bapak hendak bertapa ya?”

“Bertapa ya? Kau boleh menganggapnya begitu. Tapi sebenarnya Bapak ingin istirahat....Ngaso sambil berharap kiriman.” Bapak terdengar berteka-teki.

“Bukan kiriman uang, kan, Pak? Hehe...,” Kucoba melempar kelakar. Hambar dan sedikit kurang ajar.

“Namanya jauh dari istri, anak, kerabat dan segala kesenangan, ya tentunya kiriman doa saja, Nak. Biar Bapak nyaman tinggal di sana.”

Seingatku itulah diskusi singkat terakhir dengan Bapak. Tak lama, kami pun melepas keberangkatannya. Tak satu stel pakaian dibawa, hanya sekedarnya yang  melekat di tubuh tipisnya itu saja. Topi atau peci yang menjadi ciri keseharian Bapak, ia lepas seperti melepas semua jubah kebanggaan yag pernah ada terhadap dirinya. Pria tanpa mahkota ibarat raja tanpa tahta. Namun ia biarkan rambut putih yang tinggal beberapa helai  itu ditimpa sapuan surya. Bapakku melenggang dalam senggang. Berlalu tanpa memutar gulu.

Pada suatu hari, di langit dengan perjamuan arak-arakan awan kelabu, aku berkunjung ke rumah Bapak yang baru itu. Setibanya di sana, aku yang kerap bermajas, dibuat kehabisan kata-kata, dan pias. Dalam bentangan ironi, kuterkenang kembali akan rona bahagia Bapak dengan keputusannya pindah rumah itu. Bahkan ia wanti-wanti agar kami tak repot dengan bekalan apapun. Tidak, walau sekecil apapun hal kesayangannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun