“Bapak sudah punya sangu cukup,” Bapak menepis bekal nasi kepal hangat buatan Mak. Dengan senyum berlumur keyakinan, seolah ada kepuasan pada Bapak bisa menolak Mak untuk pertama kalinya.
Kue sus yang sengaja kubeli dari toko kue paling ternama di kota ini, pun disorongkannya kembali kepadaku. Padahal kutahu betul, itu kue kelangenanBapak, karena kelembutannya yang sangat meringankan tugas giginya. Barisan gerigi ompong yang berkali disinggung namun pikiranku buntung dan gagal paham bila di lubuk hati Bapak yang sulit kujangkau itu, mungkin saja menginginkan gigi buatan.
Aku berdiri di depan rumah baru Bapak. Tak terdengar sahutan walau berkali telah kusampaikan uluk salam dan segenap kerinduan. Wajahku mengapas. Jiwaku seketika kandas.
Di atas rumah Bapak yang baru, didirikanlah sebuah tugu. Kerdil dan lugu. Aku menatap pilu. Oh, alangkah sederhananya itu. Tanpa gurat ukiran apapun laiknya sebuah tugu. Nama Bapak dipahat begitu seadanya. Serupa goresan luka.
Dan meski bebunga banyak dikerahkan wangi dan kecantikannya, namun rumah Bapak yang baru itu, tetap berwajah murung, sendu. Dan seolah belum cukup segala kemuraman itu, komplek perumahannya pun tampak jelas bersimbah duka. Alih-alih, memajang gapura dengan nama semisal graha indah, griya elok, dan seabreg nama sebuah cluster yang seumumnya, aku tak habis pikir, pengembang ini justru memilih nama “Sasono Rogo Layu.”
[...]
Sayup terdengar kalimah yang meluluh-lemah hati gundah
Lafaz istirja’ dan tangis saling berbaur, tak saling menghibur
Segala duka ini kami kembalikan kepadaMu Yaa Allah
Wahai, Sang Maha Pelipur
Innalillahi wa inna ilaihi roji’un...