Kisah pun akan berlanjut tentang sensasi karung goni saat bersinggungan dengan kulit, gatal tak terkata. Disusul kisah sepasang kemeja dan celana dari Tuan Belanda. Cerita itu akan berakhir dengan kisah perjuangan Simbah Kung yang harus menempuh perjalanan jauh sekedar mengecilkan pakaian model Eropa itu. Kemudian ditutup dengan epilog berupa lelehan air mata.
“Ambillah sesuatu, sarung atau apa saja yang sekiranya berguna untukmu,” tawar Bapak seperti hendak mengurai pikiranku.
Mana kan ada baju Bapak yang becus menampungku, tubuh dengan massa otot yang berkembang baik dan maksimal akibat rutin berlatih angkat beban –angkat muat karung beras di pasar Wagean. Sedangkan Bapak begitu kecil, kurus, karena bungkah parunya merupakan inang bagi mycobacterium sialan. Sejak itu lenyaplah sudah kondisinya yang paling produktif, dan segala kemudaan yang pernah kulihat di masa itu, masa kekanakanku yang sangat ambisius.
“Bawalah sepeda Bapak, jadi kamu ngga usah itu segala beli alat olahraga....uhm, apa itu, rismil?” sambil memagut bibir mug tehnya, Bapak menambah kata.
Bapak adalah penikmat teh sejati. Loyalitasnya meneguk seduhan tanaman Camellia Sinensis itu setara dengan kesetiaanya kepada satu-satunya perempuan yang pernah ia gauli –Makku. Dan bila bicara soal sepeda, entah sudah berapa kali sepeda hijau tua itu mengalami proses tukar-tambah. Hobi ini pula yang acap menjadi mata air pertengkaran Bapak dan Mak. Bapak meyakini tukar-tambah dapat mendongkrak daya minat-beli. Sedang Mak bersikukuh itu hanya jalur lain menuju rugi.
“Namanya thread mill, Pak. Nek rismil kan ngge mlecehi wos,” ucapku sambil mengais jenggot klimis dan menaksir bilakah sepeda ini diterima si Eko sebagai maharnya masuk SMP. Sebab bukankah sudah lazimnya remaja jaman sekarang lebih pede memancal persneling daripada menggenjot velocipede?
“Mesin jahite gawa bae nganah. Istrimu, si Lestari itu bisa menjahit, kan?”Bapak kembali mengangsur opsi. Teko tehnya diguyur lagi dengan air panas dari botol kedap udara –termos yang pernah membantu Bapak dan Mak berjualan aneka minuman hangat di emper toko peralatan musik sepanjang jalan Jendral Sudirman, sebelum Bapak menerima jasa jahit-menjahit.
Oya, setelah pensiun sebagai supir, Bapak dengan didampingi Mak, mencoba mengais rejekinya sebagai pedagang kaki lima. Tapi seperti banyak potret anak negeri ini, upaya itu tak langgeng akibat pemakzulan dari laskar penertiban kota. Setelah gerobaknya digiring paksa ke kantor pemerintahan setempat dan tak sanggup ditebusnya, Bapak lantas banting kemudi merujuk penghasilannya dengan mengandalkan ketajaman mata plus-nya. Kalau dulu kaki renta itu difungsikan untuk menginjak rem dan kopling, sekarang dipakainya untuk menggenjot pedal mesin jahit pemberian tetangga kaya murah hati. Namun begitu, Bapak bukanlah penjahit profesional bersertifikasi yang diakui kelihaiannya menggunting, memotong lalu menyulap kain menjadi pakaian dalam jahitan yang halus sempurna. Bapak hanya mengandalkan ketekunan dan kesabarannya sebagai penjahit spesialisasi vermak. Padahal, siapapun tahu, pekerjaan vermak itu jauh lebih rumit daripada menciptakan busana baru. Tapi Bapak telah bertekat. Maka tak terbatas pada celana, baju, yang perlu dibesar-kecilkan itu, segala tas, dan rerupa yang bisa di-vermaknya dengan cara menjahit, pasti takkan Bapak tolak. Belakangan, Bapak kebanjiran order membuat sampul kitab suci milik para jamaah dari beberapa majelis yang Mak sambangi. Walau semua itu dengan imbalan yang acap membuatku sebak di dada. Karena Bapak tak pernah memasang label harga, baginya berapapun nilai upah itulah berkah, yang wajib disyukuri karena semuanya berasal dari Allah Yang Maha Pemurah.
“Jam tangan Bapak, bebatu akik, semua itu berikan saja kepada Lekmu Nawi. Di tangannya, benda-benda itu pasti segera berubah jadi uang.”
Telingaku abai pada titah Bapak. Pikiranku tengah membuntu. Lidahku kelu. Bilik dadaku mampat oleh tangis yang kuhambat. Aku tertunduk. Raut wajah Bapak pun terpapar di lantai. Aku seperti dihantam badai. Kian meremuk.
Jam tangan Bapak hanya berbilang 3 buah saja. Walau tak pernah dijamas namun disimpan dengan baik bagai pusaka keraton. Biar awet, makin antik makin mahal harganya, demikian penjelasan Bapak pada suatu ketika. Satu, konon pemberian Frida de Graaf, nenek Belanda yang semasa mudanya banyak berhutang budi kepada Simbah Putri, ibu dari Bapakku. Satu lagi, konon pula asli buatan pengrajin Tiongkok. Jam tangan itu pemberian dari Babah Ang Lye Hin alias Lucas Hindri Angkatmoko sebagai hadiah atas 10 tahun masa pengabdian Bapak sebagai supir harian berupah murah –terlampau murah, bagi kelangsungan toko kelontong Cina-peranakan itu. Yang terakhir, aku tahu itu pemberian si Bungsu dari hasil lawatannya ke luar negeri, adik bungsuku yang kolokan bin semblothongan namun paling bertaji di antara kami.