“Suster tahu siapa yan mengantarkan pakaian bersih untuk saya pagi ini?” Gen menatap penuh harap pada suster itu.
“Nanti saya tanyakan ke suster yang jaga tadi malam, ya, Pak?” suster itu menutup pembicaraan dengan senyum manis sebelum tubuhnya lenyap di balik pintu.
Gen menyembur nafas kecewa. Ia dihantam pukulan kekesalan mendalam. Gen merasa sudah cukup bersabar dengan saputangan ini. Namun selalu masih ada sabar, sabar dan kesabaran lain yang menuntutnya. Diam-diam, Gen sembunyikan saputangan itu dengan harapan bila esok pagi miliknya yang lama sudah tergeletak di atas meja samping ranjangnya.
Beberapa kali Gen mencoba terjaga semalaman, agar bisa memergoki seseorang yang telah bertukar peran dengan bibi Habibah, warga lokal yang dipekerjakan untuk mengurus mess. Namun entah karena efek obat atau memang tubuhnya yang masih manja hingga ia baru tersadar saat muadzin selesai beriqamat. Lagi-lagi orang yang dinanti gagal ditemui. Hanya sehelai saputangan terlipat rapi di atas mejanya setiap pagi, sebagai penanda bahwa kehadirannya pernah ada.
Gen tertawa lirih. Lebih kepada mentertawakan dirinya sendiri yang merasa telah dikibuli.
“Waduh, Pak Genta sudah bisa tertawa nih,” suster yang tengah memeriksa selang infusnya itu menegur lalu mengintip acara televisi yang dikiranya pemicu tawa Genta.
Ya, Gen benar-benar merasa dirinya tengah dipermainkan seseorang. Eh, betapa tidak. Lihat, lihatlah saputangannya. Cita itu sekarang telah beranak-pinak. Sudah lima helai saputangan yang ia simpan. Kelimanya berdisain sulaman yang sama persis, warna dan ukurannya. Akan tetapi tak satupun miliknya yang lama.
Tak salah lagi. Ya, tak salah lagi. Lagipula siapa lagi yang membuat semua ini mungkin terjadi kalau bukan…(?) Demikian, keyakinan itu berhasil mengetapel semangat Gen untuk secepatnya bangkit dari ranjang yang telah menguburnya sekian minggu ini.
“Eh, Pak Genta, hati-hati. Kalau ada sedikit saja rasa nyeri yang Bapak rasakan, saya minta Anda berhenti. Ini perintah dokter, Pak!” suster itu memperingatkan namun tak dapat menghalangi Gen yang telah bertekad.
Gen tertatih menjajal kekuatan tongkat kruk-nya. Bahu kirinya masih belum terbiasa menopang sebelah kaki. Namun ia telah pupus kesabaran. Ia merasa harus segera menguak topeng Sang Plagiat itu, si penyulam jejadian yang telah menduplikat saputangannya dengan sempurna. Kecemasan akan kehilangan saputangan asli pun menjadi roket pendorong rasa penasarannya.
Secara mengejutkan, Duplikator yang ditunggu penuh harap itu tak muncul. Sebab tak ada saputangan di atas meja Gen pagi ini. Hingga matahari merayap dhuha pun, pakaian kotornya masih tak tersentuh. Padahal Gen telah bersembunyi di balik pintu sejak debu tayamumnya tak lekat lagi di tubuhnya. Dan Gen pun menyerah. Kaki kirinya sudah bergetar. Ia tak sanggup lagi berdiri. Harapannya menyingkap tabir misteri Sang Plagiat moksa ke nirwana.