Mohon tunggu...
Jasmine
Jasmine Mohon Tunggu... Wiraswasta - Email : Justmine.qa@gmail.com

Just me, Jasmine, just a tiny dust in the wind

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Saputangan Rinai... [2_3]

26 Mei 2016   14:52 Diperbarui: 2 Juni 2016   23:12 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

-o0o-

Alih-alih memegang kendali dari balik meja berhias papan namanya yang disembah bawahan, Gen memilih mess di tengah rimba sebagai kantornya. Diketerkucilan ini, ia menikmati segala hal yang tak dijumpai di Pusat. Setiap bulir keringat menjadi begitu nyata dan bukti tak terbantahkan bahwa garda terdepan ini sungguh layak mendapatkan gaji yang sepadan dengan kerja keras mereka. Apalagi di musim kering tahun kuda ini, matahari begitu intens menunjukkan provokasinya. Pengawasan pada setiap inci hutan menjadi sepenting tetesan embun di kerongkongan yang berpuasa. Sedikit gesekan saja sudah dapat melahirkan tunas api. Gen tentu masih ingat besaran trilyun yang harus digelontorkan perusahaan untuk memadamkan neraka di rimbanya, juga percikan apinya yang menjalar hingga ke gerbang kantor pengadilan, kepolisian dan banyak instansi terkait lainnya. Belum lagi lembaga-lembaga yang mengibarkan bendera sebagai pengemban amanah penderitaan rakyat kecil. Serempak mereka bernyanyi lagu sumbang tentang kebakaran hutan yang merusak. Seperti pemusik jalanan, mereka baru terdiam ketika kalengnya bermuatan. Pun yang tak ketinggalan adalah mulut rakus media yang haus menuai untung di atas derita pihak lain. Gen geram bila mengingat grafik laba yang menukik tajam kala itu, maka ia sangat tak menghendaki kerugian massif itu terjadi lagi tahun ini.

“Oh, tidak! Bagaimana bisa secepat ini waktu berlalu,” Gen merutuk dirinya sendiri yang selalu lupa waktu bila menjelajah hutannya. Ia tengah tergesa memburu jadual penerbangannya ke Jakarta yang tinggal beberapa jam lagi. Kalau tak ingin ketinggalan pesawat, ia harus sesegera mungkin keluar dari hutan ini lalu menumpang feri sebelum menempuh beberapa kilometer lagi untuk tiba di bandara yang dahulu bernama bandara Simpang Tiga.

Betapapun ia sangat ingin jeep-nya melaju dengan kecepatan maksi, namun ia terkendala peraturan CPI, perusahan minyak kontraktor terbesar di negeri ini sebagai pemilik jalan berbeton yang dibangunnya di tengah rimba raya ini. Melanggar berarti penalty dan itu akan menciptakan kesulitan di masa depan sebab jarak tempuh menuju messnya di tengah belantara hanya dapat dipangkas melalui jalanan mulus milik korporasi besar itu.

Beberapa kali Gen harus menginjak remnya secara kasar dan mendadak. Selain binatang-binatang yang kerap nyelonong menyeberang jalan, Gen juga harus berhati-hati terhadap ragam kendaraan berat yang banyak melintas. Logging truck trailer, crane, stoomwaltz, loader, excavator, mereka yang telah meramaikan belantara ini.

Gen menambah volume kewaspadaannya, saat terdengar suara berderak-derak beberapa ratus meter di depannya. Tiba-tiba, bum!! Gen dikejutkan oleh suara berdebum susul menyusul. Awalnya Gen mengira sebuah pesawat komersil telah jatuh. Tak lama barulah ia menyadari muasal suara gegar itu. Namun semuanya menjadi terlambat. Walau telah menjaga jarak aman dengan logging truck di depannya, tapi lingkungan sekitar yang temaram membuatnya tak dapat mengelak dari beberapa gelondong kayu bulat besar yang terlepas dari kabin penampang truck.

“Selamat pagi, Pak Genta,” sapa ramah suster berkerudung hijau muda.

Tiga minggu paska kecelakaan yang menimpanya, Gen mulai dapat duduk. Tapi nyaris separuh tubuhnya masih terbungkus gips dan kain perban.

“Pagi,” Gen menjawab lirih, masih ada sedikit ngilu di rahangnya tiap kali membuka gerbang mulutnya. Ia mencoba memejamkan matanya kembali, memberi keleluasaan pada perawat yang tengah melakukan tugasnya. Mendekam beberapa minggu di atas Dumedpower, ranjang pasien yang engkolnya kerap berdenyit-denyit ini, membuat Gen sudah sangat hafal dengan rutinitas pagi di rumah sakit.

Agaknya dewi fortuna masih berpihak pada Gen. Kecelakaan itu hanya memberi Gen luka-luka sedang. Gelondong kayu yang berlarian ke jalanan itu tak langsung menimpa mobil Gen, namun gaya jatuhnya hanya memberi efek dorong yang kuat hingga jeep malang itu harus mencium batang pohon sebelum terjungkal dalam pelukan gerumbul perdu dan belukar.

Seperti halnya dirinya, Hardtop kuning miliknya pun tampak menanggung derita, walau tak kehilangan kegagahannya, namun reparasi di sana-sini membuat jeep pabrikan Jepang itu harus mendekam di bengkel untuk waktu yang tidak sebentar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun