Ketika sampai di tempat sampah, mamaku segera mengorek-ngoreknya kembali. Disaat itu, beberapa pasang mata yang belum tahu menatap aku dan mamaku dengan perasaan aneh. Biar saja, aku tidak peduli. Karena, dia adalah mamaku, dan aku telah tiga bulan memiliki mama. Aku sangat bahagia.
Saat aku memandangi mama menggigit potongan wortel yang sudah hampir busuk, mamaku melemparkannya ke arahku. Kemudian mamaku kembali mengorek-ngorek tempat sampah. Aku memegang wortel yang hampir busuk tersebut. Ada bekas gigitan kecil di sana. Aku menatap mamaku yangsudah mendapatkan wortel busuknya yang ketiga. Dia memakannya dengan lahap. Aku memandangi wortel yang ada di tanganku kemudian wajah mama bergantian. Aku merasa mama memberikan wortel ini kepadaku untuk aku makan. Senang, aku senang sekali. Akhirnya mamaku sudah mulai sedikit waras. Dia telah menyadari salah satu perannya sebagai orangtua. Memberi nafkah kepada anak kesayangannya. Dengan hati berbunga, aku memakan wortel busuk pemberian mamaku tersebut. Itu adalah wortel terenak yang pernah aku makan.
***
Kakek mengusirku dari kedai kopinya, dan tidak diperbolehkan lagi untuk tidur di pondoknya. Salah satu alasannya, dia malu melihat aku yang sudah tidak terpisahkan dari mamaku. Tentu saja, bagaimana mungkin aku mau berpisah dari mamaku. Sehingga, dengan hati yang bulat, aku mengajak mama pergi berkelana berkeliling kota demi kota. Bagiku, perjalanan kota demi kota dengan mama benar-benar merupakan sebuah tamasya yang menyenangkan. Terlebih lagi, mama tidak pernah berhenti menyanyikan lagunya untukku dan untuk boneka kesayangannya. Dan, aku juga sudah mengangkat boneka tersebut sebagai saudara wanitaku.Ketika aku memberitahu mama hal tersebut. Dia senang sekali. Dia tertawa riang, kemudian menangis dengan mulut terbuka. Lalu kembali menyanyikan lagu yang sama. Aku ikut bernyanyi dengan mama. Andai saja ada seorang papa, pasti keluarga kecil ini akan lengkap dan akan bahagia selamanya.
Karena sudah terusir dari warung kopi dan gubuk kakek, kami tidur danberistirahat di mana saja. Seringkali kami tidur di bangunan-bangunan yang sudah tidak terpakai, di dekat tempat sampah karena jika lapar aku akan langsung mendapatkan makanan, lalu yang paling sering dimana saja mata mamaku mengantuk. Maka aku, mama, dan saudara wanitaku akan tidur di sana. Untunglah, selama perjalanan ini, kami baru diusir beberapa kali. Ketika ada yang berani melempari kami dengan batu, aku akan langsung mengamuk mengejar orang-rang yang melempari kami dengan batu tersebut, biasanya anak kecil. Aku tidak pernah berhasil memukul anak-anak itu. Sebab, lari mereka lebih kencang dariku dan aku tidak mungkin meninggalkan mama sendirian tanpa pengawalanku. Dan, aku sudah bersama mama lebih dari empat bulan. Pakaianku, makananku, gaya hidupku sudah persis seperti mama. Dan, aku merasa tidak ada yang aneh dengan itu. Bukankah itu wajar seorang anak meniru orangtuanya?.
***
Enam bulan berlalu, kami telah menginjakkan kaki di kota ke empat termasuk kota kelahiranku. Kota ini tidak begitu berbeda dengan kota-kota sebelumnya. Hal yang berbeda hanyalah, saat aku sedang mengorek-ngorek sampah untuk dimakan dan mama sedang menyanyikan lagu untuk saudara wanitaku, seorang wanita berseragam seperti yang aku lihat di kantor-kantor pemerintahan berteriak terkejut di seberang jalan.
“Andine!!!”
Aku melemparkan pandanganku ke arahnya, bingung. Bukan, ujarku dalam hati. Aku bukan Andine, dan mamaku namanya, ah aku tidak tahu siapa nama mamaku. Namun, aku tidak terlalu berniat mempedulikan wanita tersebut. Karena wanita tersebut hanya menyebutkan nama Andine satu kali dan langsung mengambil handphone yang ada di sakunya. Jika itu Andine adalah nama mamaku, seharusnya dia akan langsung menghampiri mama. Mungkin, kurasa dia teringat sesuatu harus dikerjakan dengan temannya yang bernama Andine dan kemudian segera meneleponnya. Jadi, tidak peduli, aku kembali mengorek-ngorek sampah untuk mencari sesuatu untuk dimakan olehku dan mamaku. Saudara wanitaku tidak pernah makan apapun. Tapi, dia terlihat sehat. Aku bangga memiliki saudara yang sehat dan kuat.
Aku telah menemukan sayuran busuk untuk dimakan, dan segera membaginya dengan mama. Kira-kira lima belas menit kemudian, mama beranjak dari tempat kami makan. Mama sering sekali begitu, dia tiba-tiba saja beranjak tanpa penjelasan apapun. Kalau sudah begitu, layaknya seorang anak, aku mengikutinya kemanapun. Tapi, kali ini ada tambahan, wanita berpakaian pegawai tersebut mengikuti kemana kami pergi. Aku sebenarnya keberatan dia mengikuti kami. Yang aku butuhkan kali ini adalah seorang papa, bukan saudara tambahan. Tapi, mama tidak mempedulikannya. Jadi, akupun memilih bersikap acuh terhadapnya.
Setelah hampir satu jam berjalan tak tahu arah, mama berhenti di sebuah bangunan tua yang tidak berpenghuni. Aku tahu tempat ini, sebuah tempat dimana aku dan mama biasanya tidur pada malam hari. Mama membaringkan tubuhnya di lantai yang dipenuhi tanah dan sampah-sampah. Biasanya, banyak orang-orang yang beristirahat ditempat ini. Tapi, kali aku hanya melihat beberapa orang yangmembaringkan tubuhnya di tempat tersebut. Melihat mama yang mulai menutup matanya dengan saudara wanitaku di pelukannya, akupun merasa diriku ingin beristirahat. Maka, akupun merebahkan diriku di sampingnya. Sebelum mataku tertutup dan aku melayang ke alam tidur, mataku masih melihat wanita berpakaian pegawai tersebut tidak jauh dari tempat kami beristirahat. Matanya meneteskan setitik air mata. Aku tidak tahu mengapa.