Mohon tunggu...
Puisi Pilihan

Mamaku

8 Mei 2016   14:00 Diperbarui: 8 Mei 2016   14:45 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bait pertama. Aku menoleh. Dia sudah berdiri di belakangku. Belum sempat aku berpikir, tangannya yang kotor mengusap kepalaku.

“Jadilah anak yang pintar”

Aku bingung dalam ketakutan. Dia tertawa dan tersenyum bergantian. Akuingin pergi, lari darinya. Tapi, kelembutan yang tidak pernah aku rasakan sebelumnya terasa sangat jelas dari usapan telapak tangannya yang kasar dan hitam. Entah mengapa, tiba-tiba berbagai macam ingatan timbul tenggelam dalam kepalaku. Ingatan tentang seorang anak yang selalu ditemani ibunya muncul di benakku. Ibunya selalu mengelus kepalanya dengan lembut, hampir setiap saat ketika dia menangis ataupun tertawa saat bermain di taman bermain bersama teman-temannya. Aku yang sedang membawa karung goni berisikan botol minuman bekas, selalu berhenti sejenak, kemudian memalingkan muka. Menjauh daritempat itu dengan airmata yang selalu tertahan.

“Jadilah presiden”

Mataku terpejam. wanita gila itu tersenyum dan tertawa bergantian. Sebuah rasa yang menyesakkan dan hangat muncul tidak bisa ditahan dari dalam dadaku. Airmataku jatuh perlahan mengalir di pipiku yang cekung.

“Baik mama” kataku dalam tangisku. Mamaku kembali tersenyum dan menangis bergantian.

***

Pertemuan pertamaku dengan mama sudah lebih dari sebulan lalu. Selama satu bulan itu, hal-hal yang selama ini menjadi pertanyaanku tentangnya seperti, dimana dia tidur dan bagaimana dia makan telah terjawab.Tempat tidur dan bahan makanan mamaku tidak berbeda dari orang gila biasanya. Dia tidur dimanapun saat dia mengantuk. Di bangku tempat pertama kali aku bertemu dengannya, di depan gubuk kakek, di emperan toko, di pelataran masjid kecil di dekat pemakaman. Jika hujan, dia akan berlindung di tempat manapun yang tidak tersentuh oleh air hujan. Segila-gilanya orang gila, dia pasti masih bisa merasakan dampak setiap sentuhan yang menyentuh kulitnya. 

Mamaku makan apa saja yang bisa dimakan ketika dia lapar. Selain bekas makanan yang ditemukannya saat di berkeliling dengan boneka kesayangannya, dia juga memakan berbagai jenis binatang kecil hidup-hidup. Kecoa, cacing, cicak, dan berbagai jenis serangga adalah makanan favoritnya. Tentu saja aku telah melarangnya untuk memakan makanan yang seperti itu. Tapi, seperti orang gila pada umumnya, mamaku tidak mengerti apa yang aku katakan. Aku bahkan setiap sore, mencarinya keliling  kota, untuk memberikannya nasi bungkus. Dia memakannya. Setelah itu aku berharap dia menghentikan kebiasaannya makan sembarangan tersebut. Tapi, dia tidak pernah berhenti memakan apapun ketika dia ingin memakan sesuatu. Dan, akupun berhenti mencoba memaksanya untuk berhenti. Alasannya, meski mamaku memakan makanan yang tidak pantas tersebut, dia sama sekali tidak pernah sakit. Aku kagum sekaligus heran. Menurut kakek, mamaku tidak pernah sakit karena orang gila pikirannya lepas dari berbagai macam beban kehidupan. Karena tidak mempunyai beban pikiran itulah, penyakit enggan menghampirinya. Karena, sebagian besar penyakit muncul bukan dari apa yang kita makan, tapi dari banyaknya masalah yang menimpa hidup. Ironisnya, lanjut kakek sembari tertawa, mamamu tidak punya beban karena terlalu banyak menanggung beban. Tali yang berfungsi menanggung beban di otaknya telah putus. Namun, itu bukanlah hal yang baik. Karena, tali yang masih berfungsi di otak tersebutlah yang membuat seseorang menjadi manusia. Karena tali yang ada di otak mamaku telah putus, mamaku tidak pantas disebut sebagai manusia, kata kakek sambil tertawa terbahak-bahak. Tawa kakek tersebut dibarengi oleh tawa para pelanggan warung kopinya. 

Tentusaja, aku marah mendengar lelucon kakek tersebut. Tapi, aku hanya bisa menahannya dalam hati. Jasa kakek terlalu besar bagiku. Terutama, aku tidak tahu akan tidur dimana kalau dia sampai mengusirku jika aku menunjukkan kemarahanku. Lagipula, aku tahu, kakek hanya bercanda. Tapi, lain kali aku akan beritahu padanya kalau bercandanya jangan sampai kelewatan. Berbeda dengan masyarakat lainnya, terutama warga sekitar, mereka telah menganggapku gila karena telah mengangkat orang gila sebagai mama. Saat pertama kali mendengar pengakuanku kalau orang gila yang di sana, aku menyebutkan ciri-ciri mamaku, telah aku angkat sebagai mamaku, reaksi mereka selalu sama. Mata mereka membesar, dengan mulut ternganga.

“Apa kau gila?”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun