Mohon tunggu...
Puisi Pilihan

Mamaku

8 Mei 2016   14:00 Diperbarui: 8 Mei 2016   14:45 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lalu mereka tertawa terbahak-bahak sembari menggesek-gesekkan jari telunjuk mereka di dahi. Sebuah isyarat yang mengatakan kalau aku gila karena mengangkat orang gila sebagai orang tua. Aku sama sekali tidak keberatan. Karena, aku mengakui kalau mamaku memang gila. Jadi,tidak masalah jika aku dianggap gila karena itu. Pada awalnya, ejekan yang mengarah padaku datang bertubi-tubi hingga dua minggu lamanya.Tentu saja, ada masa di dalam dua minggu itu aku marah dan kesal karena mereka keterlaluan. Namun, kemarahanku tersebut berdampak baik. Kejadiannya ketika itu, segerombolan pemuda yang tidak aku kenal, mengatakan hal yang menyakitkan tentang mamaku, sembari tertawa terbahak-bahak mengejek.

“Eh, tadi, mamamu itu, kami lempari dengan batu, dan dia lari tungkang langkang seperti dikejar orang gila. Ah, terbalik, yang gilakan mamamu. Hahahaha!!!” 

Segera saja aku pukul ketua gerombolan tersebut. Aku memukulnya dengan teramat keras hingga jatuh terduduk. Belum sempat teman-temannya bertindak, aku menendang kepalanya hingga membentur tanah dengan keras. Dia pingsan, begitu juga aku karena dihajar balik oleh teman-temannya.

Aku harus diceramahi habis-habisan oleh kakek gara-gara perkelahian tersebut. Tapi, aku puas, semenjak itu tidak ada lagi yang berani berbuat kasar terhadap mamaku. Kalaupun mamaku membuat masalah, seperti tidak mau pergi dari depan toko yang mau buka misalnya. Pemilik toko akan memanggilku dan menyuruhku agar membawa mamakupergi. Dan selalu, hanya dengan bujukankulah mama mau pergi. Dia mengikuti sembari mengelus rambutku. Aku membawanya ke tempat pertamakali kami bertemu. Sepanjang jalan orang-orang memandangi kami berdua dengan berbisik-bisik. Aku tahu, bisikan tersebut hanya beberapa yang bermakna baik. Selebihnya pastilah ejekan, dan tertawaan. Tapi, siapa peduli. Sekarang, aku telah memiliki mama. 

Terlebih lagi, melihat mamaku sudah lengket denganku. Kakek akhirnya mengizinkanku untuk membawanya tidur ke gubuk kakek yang berada dekat pemakaman tersebut. Setiap setengah jam lewat waktu isya, aku selalu mencari mamaku yang berkeliaran mengelilingi kota. Sekarang mamaku tidak lagi diusir oleh orang-orang. Bahkan mamaku diberi makan oleh mereka. Dan, aku sudah hapal mati di tempat-tempat mana saja mamaku biasanya berdiam pada malam hari. Aku akan mencari ke titik-titik tersebut. Lalu membawanya ke gubuk reyot milik kakek. Ritual itu pasti berulang. Aku menggandeng tangannya. Dia mengelus kepalaku, sembari menyanyikan lagu yang biasa dia nyanyikan. 

***

Selama lebih dua bulan berturut-turut, aku mendampinginya di malam hari hingga tertidur. Selama itu, hampir tidak ada kata-kata keluar dari mulutku. Mamakupun sepertinya tidak punya hasrat untuk berbicara padaku selain dengan nyanyiannya. Sebuah nyanyian yang aku yakin telah aku dengar beribu-ribu kali atau bahkan mungkin belasan ribu. Tapi, aku tidak akan pernah bosan. Tidak setiap anak pernah dinyanyikan lagu sebelum tidur oleh ibu mereka. Yah, walaupun dalam kasus ini, akulah yang menanti ibuku untuk tidur. Pernah aku tertidur sekali, dan mamaku mendadak berteriak sambil menangis. Aku tidak tahu mengapa. Menurutku, dia belum puas menyanyikan lagu tersebut untukku. Jadi, untuk menyenangkannya, aku terus menjaga mataku agar terus terjaga. Meski dia tidak pernah tidur di bawah jam 12, bahkan pernah dia bernyanyi hingga pukul tiga pagi, tidak masalah bagiku. Karena, elusan tangannya ke kepalaku, tatapan matanya yang lembut yang dia berikan padaku, adalah kebahagian yang tidak bisa aku gambarkan dengan kata-kata.

***

Sudah lebih dari tiga bulan, aku hidup bersama dengan mamaku. Tidak ada kebiasaan yang berubah. Penduduk kota telah semakin terbiasa dengan hubungan kami. Dan, hal yang paling membahagiakanku adalah, seorang anak sd yang pernah bertanya padaku, mana mamamu?, telah berhasil aku temukan. Sesuai dugaanku, dia sudah smp sekarang. Aku yang kebetulan sedang menunggui mama yang sedang mengorek-ngorek tong sampah, langsung mendekat ke arahnya sambil setengah memaksa menyeret tangan mamaku. Dia tidak menolaknya. Dia membiarkanku membawanya kepada sianak smp tersebut dengan potongan wartel yang sudah menghitam dimulutnya. Anak tersebut sedang menunduk di tepi jalan, dekat sebuah taman. Beberapa meter di depannya, ada sebuah mobil dengan pintu yang terbuka. Di dalamnya, samar aku melihat seorang wanita setengah baya yang berumur sekitar pertengahan tiga puluhan. Pasti itu mamanya. Senyum di bibirku bertambah lebar. Beliau pasti senang berkenalan dengan mamaku. Dengan penuh semangat, hanya tinggal beberapa langkah lagi, aku memanggilnya dengan tangan mama yang aku genggam dengan erat.

“Hei, masih ingat aku?” dia berpaling. Mukanya memperlihatkan wajah terkejut dan juga sedikit takut. Aku tertawa. Dia pasti kaget melihatku dengan seorang wanita yang tidak mungkin dia bisa salah duga, seorang ibu.

“Kenalkan ini mamaku” kataku sembari menunjukkan wajahku ke arah mama agar dia mengikuti kemana mataku mengarah. Tentu itu tidak perlu. Dia pasti sudah melihat mamaku. Tapi, aku ingin melakukan hal itu, untuk membanggakan diri di hadapannya kalau aku juga memiliki seorang mama. Dan, dengan senang hati, aku akan memperkenalkan mamaku dengan mamanya. Aku yakin, mamaku dan mamanya akan berhubungan akrab nantinya. Mamaku sudah menghabiskan sisa wortel yang sudah menghitam tersebut. Dia tersenyum ke arah sobatku yang satu itu, memperlihatkan giginya yang kuning dan hitam. Mamaku benar-benar seorang ibu yang ramah. Dengan perasaan bangga yang meluap-luap, aku kembali memalingkan wajahku ke arahnya. Kawanku yang satu ini, sudah berjalan cepat dan semakin cepat menjauh dari hadapanku. Dia masuk ke dalam mobil, dan tanpa kata-kata, mobil tersebut melaju kencang meninggalkan aku dan mamaku tanpa kata-kata. Aku mendesah dan merasa tersinggung. Mengapa dia lari seperti itu dariku dan mamaku. Dia seperti melihat orang gila saja. Maksudku, ya, mamaku memang gila,tapi setidaknya aku memiliki seorang ibu. Sembari menahan kata-kata sumpah serapah, aku menarik tangan mamaku kembali ke tempat sampah. Dia pasti masih lapar. Sembari mendengar nyanyian mama terhadap bonekanya, aku mencoba berpikiran positif. Mungkin saja anak itu malu padaku karena dia telah menuduhku tidak memiliki mama. Dan, ketika tahu aku memilikinya. Dia merasa malu. Kemudian pergi dariku untuk menutupi rasa malunya tersebut. Aku tersenyum. Pasti seperti itu. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun