Mohon tunggu...
Jamal Syarif
Jamal Syarif Mohon Tunggu... Dosen - Peneliti dan pengajar

Sinta ID: 6023338

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pundut Nasi

17 Januari 2025   21:50 Diperbarui: 17 Januari 2025   21:50 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Langit senja memerah ketika Samuel menghidupkan mesin mobilnya di halaman rumah Qamar. Sore itu, mereka baru saja menyelesaikan diskusi tugas kuliah yang menumpuk. Samuel, Sidik, dan Qamar punya target menyelesaikan semua materi sebelum tenggat. Namun, karena Qamar tinggal paling dekat dengan kampus, mereka sepakat berkumpul di sana.

Samuel sendiri harus menempuh jarak cukup jauh kembali ke tempat tinggalnya, dan ia merasa waktu semakin menipis. Ia terkenal temperamental, tapi di depan kawan-kawannya, ia selalu berusaha tampak percaya diri.

Sambil memutar setir keluar dari halaman, Samuel mengingat motivasinya: ia ingin segera menyelesaikan tugas kuliah agar bisa membuktikan diri. Ia tak mau ketinggalan. Di bangku sebelah, Sidik mengangkat kantong plastik berisi pundut nasi, hadiah dari Qamar.

"Qamar, kenapa nggak kita makan bareng di rumahmu saja?" tanya Sidik.

Qamar tersenyum tipis. "Santai, bawa aja. Biar kalian bisa makan di jalan kalau lapar. Tapi hati-hati, ya. Ada telur bebek rebus di dalam pundut itu. Katanya, sih, bisa bawa 'sesuatu' kalau dibawa jauh."

Samuel mendengus. "Ah, cuma mitos," sahutnya, menampik cerita mistis khas Banjar. Meskipun demikian, hati kecilnya sedikit terusik---terlebih karena jarak ke rumahnya memang tak dekat.
Baru melaju sekitar lima belas menit, laju mobil Samuel terasa bergoyang. Sebuah suara mendecit nyaring, dan sejurus kemudian, mobil itu oleng ke kiri.

"Astaga, ban kita kempes!" pekik Sidik.

Samuel menginjak rem, menepi di pinggir jalan yang gelap dan sepi. "Sial! Kenapa harus sekarang?" gerutu Samuel, napasnya berat karena kesal.

Pikiran Samuel melayang pada tugas kuliah yang masih menanti. Situasi ini semakin menegaskan kesulitan baginya yang tinggal jauh dari kampus.
Mereka turun, memeriksa ban belakang kiri yang ternyata bocor cukup parah. Samuel mulai naik pitam. "Baru saja dicek siang tadi! Kenapa bisa bocor begini?"

Sidik mencoba menenangkan. "Mungkin kena paku, atau serpihan di jalan..."

Mendadak, ingatan Sidik melompat ke ucapan Qamar tentang telur bebek dalam pundut nasi. "Jangan-jangan..." Sidik tak berani melanjutkan, tapi tatapannya tak luput dari plastik berisi pundut nasi di kursi belakang.

Samuel mendesah keras. "Sudahlah, kita cari tukang tambal ban."

Mereka menemukan bengkel pinggir jalan. Namun, tukang tambal bannya, seorang lelaki berpenampilan lusuh, tampak sangat lamban bergerak. "Aduh, Mas, ini kuncinya selip, mesti diakali dulu," katanya enteng.

Waktu berjalan lambat, sementara Samuel gelisah. "Bisa nggak lebih cepat, Pak?" bentaknya dengan nada tinggi.

Lelaki itu menatapnya dingin. "Sabar, Mas. Kita ikhtiar dulu. Lagian, kalau mobilnya dirawat, nggak bakal sering bocor."

Kata-kata itu seakan tamparan keras. Samuel menyadari bahwa ia memang kurang merawat mobil dan cenderung menunda hal-hal kecil.

Di sela kepanikan, Sidik menunduk ke kursi belakang, menatap kantong pundut nasi. "Bagaimana kalau memang ada pengaruhnya, Sam?" gumamnya pelan.

Samuel merespons dengan nada sinis, "Jangan konyol. Ini sekadar kebetulan saja!" Meskipun demikian, pikirannya teralihkan ke cerita Qamar. Ada aroma mistis yang terasa mencengkeram.
Situasi makin rumit ketika si tukang tambal ban malah asyik merokok di tengah proses mengganti ban, menunjukkan sikap seolah tak mau tergesa. Samuel kehilangan kesabaran. Ia mengomel, bahkan sempat beradu mulut dengan si tukang.

"Aku harus selesaikan tugas, Pak. Jangan bikin lama!" kata Samuel dengan suara bergetar. Ia temperamental, tapi di saat yang sama sangat mengkhawatirkan deadline tugas.

Sidik menepuk bahu Samuel. "Tenang, Sam. Kita harus hadapi saja. Emosi nggak akan bikin ban cepet beres."

Samuel menghela napas, menyadari bahwa amarahnya hanya memperburuk suasana. Di tengah kegelapan, ia mencoba menenangkan diri, lalu membantu si tukang tambal ban memegang senter agar prosesnya lebih cepat.

Sambil menunggu, ia ingat masih banyak poin tugas yang belum rampung. Dengan sisa daya baterai ponsel, ia menelepon Qamar untuk konsultasi. "Maaf, Qamar. Aku lagi...berjuang di sini. Ban bocor. Kayaknya butuh saran soal metodologi."

Terdengar tawa kecil dari ujung telepon. "Kupikir yang bikin masalah bukan pundut nasinya, Sam, tapi kurang persiapanmu. Jangan salahkan telur bebek ya!"

Samuel tersenyum kecut. "Iya, mungkin benar juga," gumamnya. Ada semacam renungan dalam hatinya: seringkali ia menyalahkan faktor luar, tanpa bercermin pada kebiasaannya menunda tanggung jawab.

Akhirnya, ban mobil berhasil diganti---meski butuh lebih banyak waktu dan biaya. Sesudah urusan selesai, Samuel menyalami tukang tambal ban tanpa banyak bicara. Dalam diam, ia menyesal telah bersikap berang.

Sidik dan Samuel kembali melaju dalam senyap. Mereka tiba di rumah kontrakan Samuel jelang tengah malam. Tugas masih menunggu, tapi semangat Samuel sudah berbeda. Ia mengambil pundut nasi, memanaskannya, dan mengajak Sidik untuk makan bersama sebelum mereka mulai bergadang menyelesaikan tugas.

"Semua ini, pundut nasi, ban bocor, tukang tambal ban lamban---mungkin cara Tuhan ngajarin aku untuk lebih sabar," kata Samuel. Ia menatap Sidik sejenak, lalu melanjutkan, "No excuse. Aku tetap harus selesaikan tugasku."

Sidik tersenyum, mengangkat pundut nasi. "Setuju. Sekarang kita makan dulu, baru kerja keras sampai pagi."

Malam pun berakhir dengan rasa syukur---bukan hanya karena ban telah teratasi, tapi karena Samuel menemukan pelajaran berharga dalam perjalanan penuh drama dan aroma mistis itu. Ada kelegaan saat ia menata kembali niat dan menyadari bahwa perjuangan bukan soal siapa paling cepat, melainkan bagaimana mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan.

Di keesokan harinya, saat menyerahkan tugas, Samuel tampak lebih tenang dan siap menghadapi apa pun evaluasi dari dosen. Ia sadar, kisah ban bocor dan "kutukan" telur bebek hanyalah salah satu rintangan di antara banyak rintangan yang menuntut kesabaran dan kedewasaan.

Karena pada akhirnya, bukan sekadar jarak jauh atau mitos pundut nasi yang mempersulit jalan, tapi kematangan diri dalam menyikapi segala rintangannya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun