Langit senja memerah ketika Samuel menghidupkan mesin mobilnya di halaman rumah Qamar. Sore itu, mereka baru saja menyelesaikan diskusi tugas kuliah yang menumpuk. Samuel, Sidik, dan Qamar punya target menyelesaikan semua materi sebelum tenggat. Namun, karena Qamar tinggal paling dekat dengan kampus, mereka sepakat berkumpul di sana.
Samuel sendiri harus menempuh jarak cukup jauh kembali ke tempat tinggalnya, dan ia merasa waktu semakin menipis. Ia terkenal temperamental, tapi di depan kawan-kawannya, ia selalu berusaha tampak percaya diri.
Sambil memutar setir keluar dari halaman, Samuel mengingat motivasinya: ia ingin segera menyelesaikan tugas kuliah agar bisa membuktikan diri. Ia tak mau ketinggalan. Di bangku sebelah, Sidik mengangkat kantong plastik berisi pundut nasi, hadiah dari Qamar.
"Qamar, kenapa nggak kita makan bareng di rumahmu saja?" tanya Sidik.
Qamar tersenyum tipis. "Santai, bawa aja. Biar kalian bisa makan di jalan kalau lapar. Tapi hati-hati, ya. Ada telur bebek rebus di dalam pundut itu. Katanya, sih, bisa bawa 'sesuatu' kalau dibawa jauh."
Samuel mendengus. "Ah, cuma mitos," sahutnya, menampik cerita mistis khas Banjar. Meskipun demikian, hati kecilnya sedikit terusik---terlebih karena jarak ke rumahnya memang tak dekat.
Baru melaju sekitar lima belas menit, laju mobil Samuel terasa bergoyang. Sebuah suara mendecit nyaring, dan sejurus kemudian, mobil itu oleng ke kiri.
"Astaga, ban kita kempes!" pekik Sidik.
Samuel menginjak rem, menepi di pinggir jalan yang gelap dan sepi. "Sial! Kenapa harus sekarang?" gerutu Samuel, napasnya berat karena kesal.
Pikiran Samuel melayang pada tugas kuliah yang masih menanti. Situasi ini semakin menegaskan kesulitan baginya yang tinggal jauh dari kampus.
Mereka turun, memeriksa ban belakang kiri yang ternyata bocor cukup parah. Samuel mulai naik pitam. "Baru saja dicek siang tadi! Kenapa bisa bocor begini?"
Sidik mencoba menenangkan. "Mungkin kena paku, atau serpihan di jalan..."
Mendadak, ingatan Sidik melompat ke ucapan Qamar tentang telur bebek dalam pundut nasi. "Jangan-jangan..." Sidik tak berani melanjutkan, tapi tatapannya tak luput dari plastik berisi pundut nasi di kursi belakang.