Samuel mendesah keras. "Sudahlah, kita cari tukang tambal ban."
Mereka menemukan bengkel pinggir jalan. Namun, tukang tambal bannya, seorang lelaki berpenampilan lusuh, tampak sangat lamban bergerak. "Aduh, Mas, ini kuncinya selip, mesti diakali dulu," katanya enteng.
Waktu berjalan lambat, sementara Samuel gelisah. "Bisa nggak lebih cepat, Pak?" bentaknya dengan nada tinggi.
Lelaki itu menatapnya dingin. "Sabar, Mas. Kita ikhtiar dulu. Lagian, kalau mobilnya dirawat, nggak bakal sering bocor."
Kata-kata itu seakan tamparan keras. Samuel menyadari bahwa ia memang kurang merawat mobil dan cenderung menunda hal-hal kecil.
Di sela kepanikan, Sidik menunduk ke kursi belakang, menatap kantong pundut nasi. "Bagaimana kalau memang ada pengaruhnya, Sam?" gumamnya pelan.
Samuel merespons dengan nada sinis, "Jangan konyol. Ini sekadar kebetulan saja!" Meskipun demikian, pikirannya teralihkan ke cerita Qamar. Ada aroma mistis yang terasa mencengkeram.
Situasi makin rumit ketika si tukang tambal ban malah asyik merokok di tengah proses mengganti ban, menunjukkan sikap seolah tak mau tergesa. Samuel kehilangan kesabaran. Ia mengomel, bahkan sempat beradu mulut dengan si tukang.
"Aku harus selesaikan tugas, Pak. Jangan bikin lama!" kata Samuel dengan suara bergetar. Ia temperamental, tapi di saat yang sama sangat mengkhawatirkan deadline tugas.
Sidik menepuk bahu Samuel. "Tenang, Sam. Kita harus hadapi saja. Emosi nggak akan bikin ban cepet beres."
Samuel menghela napas, menyadari bahwa amarahnya hanya memperburuk suasana. Di tengah kegelapan, ia mencoba menenangkan diri, lalu membantu si tukang tambal ban memegang senter agar prosesnya lebih cepat.
Sambil menunggu, ia ingat masih banyak poin tugas yang belum rampung. Dengan sisa daya baterai ponsel, ia menelepon Qamar untuk konsultasi. "Maaf, Qamar. Aku lagi...berjuang di sini. Ban bocor. Kayaknya butuh saran soal metodologi."