Namun, ketika idealisme ini diterapkan di lapangan, muncul sejumlah tantangan yang tidak bisa diabaikan.
Problematika di Lapangan
Problematika yang dapat ditemukan seperti: 1) Keterbatasan Sumber Daya. Di banyak daerah terpencil, pelaksanaan Kurikulum Merdeka sering kali terbentur pada minimnya fasilitas. Sekolah dengan infrastruktur yang terbatas kesulitan menyediakan bahan ajar, laboratorium, atau akses teknologi yang memadai.Â
Guru di daerah ini sering kali merasa terbebani untuk menciptakan pembelajaran berbasis proyek tanpa dukungan sumber daya yang cukup; 2) Kesiapan Guru. Banyak guru mengeluhkan kurangnya pelatihan yang memadai sebelum implementasi Kurikulum Merdeka.Â
Meskipun pemerintah telah menyediakan modul dan pelatihan daring, tidak semua guru memiliki literasi digital atau akses yang memadai untuk mengikuti pelatihan tersebut.Â
Akibatnya, banyak guru yang bingung tentang bagaimana mengaplikasikan konsep ini secara efektif di kelas; 3) Konteks Sosial yang Beragam. Kurikulum Merdeka dirancang untuk fleksibel, tetapi dalam praktiknya, perbedaan konteks sosial antara sekolah di perkotaan dan pedesaan menciptakan kesenjangan dalam implementasi.Â
Sekolah di perkotaan cenderung lebih siap karena memiliki akses ke sumber daya yang lebih baik, sementara sekolah di pedesaan sering kali tertinggal.Â
Ketimpangan ini dapat memperlebar jurang kualitas pendidikan di Indonesia; 4) Evaluasi dan Penilaian. Salah satu tantangan terbesar dalam Kurikulum Merdeka adalah sistem evaluasi. Penilaian berbasis proyek membutuhkan waktu, tenaga, dan pemahaman mendalam dari guru.Â
Di sekolah dengan jumlah siswa yang besar, guru sering kali kewalahan dalam memberikan penilaian yang objektif dan bermakna.
Solusi yang Ditawarkan
Untuk menjembatani idealisme Kurikulum Merdeka dengan realitas di lapangan, diperlukan langkah-langkah konkret yang melibatkan semua pemangku kepentingan. Berikut beberapa solusi yang dapat ditawarkan: