Mohon tunggu...
Jamal Syarif
Jamal Syarif Mohon Tunggu... Dosen - Peneliti dan pengajar

Sinta ID: 6023338

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Merdeka Belajar di Lapangan, antara Idealisme dan Realitas

2 Desember 2024   07:30 Diperbarui: 2 Desember 2024   13:44 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Guru dan Merdeka Belajar. (Sumber: KOMPAS/DIDIE SW)

Seorang guru di sebuah sekolah di pelosok Indonesia menghadapi dilema besar saat mencoba menerapkan Kurikulum Merdeka. 

Ia harus menyesuaikan pembelajaran berbasis proyek dengan keterbatasan sumber daya sekolah, termasuk buku, perangkat digital, bahkan koneksi internet. 

Di sisi lain, seorang guru di kota besar menghadapi tantangan yang berbeda: siswa yang sudah terbiasa dengan perangkat teknologi justru kesulitan membangun kerja sama dalam kelompok atau memahami esensi nilai-nilai karakter. 

Fenomena ini menggambarkan realitas di lapangan, di mana Kurikulum Merdeka, meski penuh idealisme, menghadapi berbagai hambatan implementasi di berbagai konteks sosial.

Kurikulum Merdeka: Sebuah Idealisme Pendidikan

Kurikulum Merdeka diperkenalkan sebagai jawaban atas kebutuhan pendidikan yang lebih relevan dengan tantangan zaman. 

Konsep ini bertujuan memberikan kebebasan kepada guru dan siswa untuk mengeksplorasi pembelajaran yang bermakna, mendorong pembelajaran berbasis proyek, serta menanamkan nilai-nilai karakter. 

Kurikulum ini mengutamakan pendekatan yang fleksibel, berorientasi pada siswa, dan memungkinkan sekolah untuk menyesuaikan dengan kondisi lokal.

Dalam teorinya, Kurikulum Merdeka menawarkan solusi atas berbagai kritik terhadap sistem pendidikan tradisional yang dianggap terlalu kaku dan berorientasi pada hasil akademik semata. 

Pembelajaran berbasis proyek, misalnya, bertujuan untuk melatih siswa berpikir kritis, kreatif, dan kolaboratif --kompetensi abad ke-21 yang sangat dibutuhkan di dunia kerja. 

Namun, ketika idealisme ini diterapkan di lapangan, muncul sejumlah tantangan yang tidak bisa diabaikan.

Problematika di Lapangan

Problematika yang dapat ditemukan seperti: 1) Keterbatasan Sumber Daya. Di banyak daerah terpencil, pelaksanaan Kurikulum Merdeka sering kali terbentur pada minimnya fasilitas. Sekolah dengan infrastruktur yang terbatas kesulitan menyediakan bahan ajar, laboratorium, atau akses teknologi yang memadai. 

Guru di daerah ini sering kali merasa terbebani untuk menciptakan pembelajaran berbasis proyek tanpa dukungan sumber daya yang cukup; 2) Kesiapan Guru. Banyak guru mengeluhkan kurangnya pelatihan yang memadai sebelum implementasi Kurikulum Merdeka. 

Meskipun pemerintah telah menyediakan modul dan pelatihan daring, tidak semua guru memiliki literasi digital atau akses yang memadai untuk mengikuti pelatihan tersebut. 

Akibatnya, banyak guru yang bingung tentang bagaimana mengaplikasikan konsep ini secara efektif di kelas; 3) Konteks Sosial yang Beragam. Kurikulum Merdeka dirancang untuk fleksibel, tetapi dalam praktiknya, perbedaan konteks sosial antara sekolah di perkotaan dan pedesaan menciptakan kesenjangan dalam implementasi. 

Sekolah di perkotaan cenderung lebih siap karena memiliki akses ke sumber daya yang lebih baik, sementara sekolah di pedesaan sering kali tertinggal. 

Ketimpangan ini dapat memperlebar jurang kualitas pendidikan di Indonesia; 4) Evaluasi dan Penilaian. Salah satu tantangan terbesar dalam Kurikulum Merdeka adalah sistem evaluasi. Penilaian berbasis proyek membutuhkan waktu, tenaga, dan pemahaman mendalam dari guru. 

Di sekolah dengan jumlah siswa yang besar, guru sering kali kewalahan dalam memberikan penilaian yang objektif dan bermakna.

Solusi yang Ditawarkan

Untuk menjembatani idealisme Kurikulum Merdeka dengan realitas di lapangan, diperlukan langkah-langkah konkret yang melibatkan semua pemangku kepentingan. Berikut beberapa solusi yang dapat ditawarkan:

1) Peningkatan Pelatihan Guru. 

Pelatihan intensif dan berkelanjutan sangat diperlukan agar guru memahami filosofi dan teknik implementasi Kurikulum Merdeka. Pelatihan ini harus dirancang secara inklusif, mencakup kebutuhan guru di daerah terpencil, dan memanfaatkan teknologi untuk menjangkau lebih banyak peserta; 

2) Dukungan Sumber Daya. 

Pemerintah harus memastikan distribusi sumber daya pendidikan yang merata, termasuk perangkat teknologi, bahan ajar, dan fasilitas pendukung lainnya. Kemitraan dengan sektor swasta juga dapat membantu memenuhi kebutuhan sekolah, terutama di daerah tertinggal; 

3) Pemberdayaan Lokal. 

Salah satu kekuatan Kurikulum Merdeka adalah fleksibilitasnya. Sekolah dapat mengadaptasi pembelajaran berbasis proyek dengan memanfaatkan potensi lokal. 

Misalnya, sekolah di daerah pesisir dapat mengembangkan proyek berbasis lingkungan seperti konservasi laut, sementara sekolah di pedesaan dapat memanfaatkan sumber daya alam untuk proyek kewirausahaan; 

4) Evaluasi yang Lebih Sederhana dan Relevan.

Sistem penilaian harus disesuaikan dengan kondisi lapangan. Guru perlu dilatih untuk merancang evaluasi yang praktis, tetapi tetap relevan dengan tujuan pembelajaran. 

Penggunaan teknologi untuk penilaian juga perlu dipertimbangkan untuk mengurangi beban administratif guru; 

5) Kolaborasi antara Guru, Orang Tua, dan Komunitas.

Implementasi Kurikulum Merdeka tidak dapat dilakukan sendiri oleh guru. Dibutuhkan dukungan dari orang tua dan komunitas untuk menciptakan lingkungan belajar yang mendukung. Kolaborasi ini juga dapat memperkaya pembelajaran berbasis proyek dengan melibatkan berbagai perspektif.

Refleksi dan Harapan

Kurikulum Merdeka adalah langkah progresif dalam sistem pendidikan Indonesia. Meski penuh tantangan, konsep ini memiliki potensi besar untuk menciptakan generasi yang kritis, kreatif, dan berkarakter. Namun, agar idealisme ini dapat terwujud, diperlukan komitmen dari semua pihak untuk mengatasi hambatan di lapangan.

Sebagai bangsa yang beragam, kita harus memahami bahwa keberhasilan Kurikulum Merdeka tidak terletak pada keseragaman implementasi, melainkan pada kemampuan kita untuk menyesuaikan dengan kebutuhan lokal. 

Guru, sebagai ujung tombak pendidikan, harus diberdayakan dan didukung secara maksimal agar mampu menghadapi tantangan ini.

Kurikulum Merdeka bukan sekadar dokumen kebijakan, tetapi cerminan dari visi kita tentang masa depan pendidikan. Dengan kerja sama yang erat antara pemerintah, sekolah, dan masyarakat, kita dapat menjembatani kesenjangan antara idealisme dan realitas. 

Hanya dengan begitu, kita dapat memastikan bahwa setiap anak Indonesia, di mana pun mereka berada, memiliki kesempatan yang sama untuk belajar dan berkembang. 

Mari wujudkan Merdeka Belajar sebagai langkah nyata untuk mencetak generasi yang unggul dan berdaya saing.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun