Mereka berjalan menuju gerbang utama. Setiap langkah terasa berat, seolah bumi pun mengerti bahwa pertempuran yang akan datang bukanlah pertempuran biasa. Para penjaga Lembah Nirwana telah bersiap dengan tombak, panah, dan pedang yang berkilat di bawah cahaya samar pagi. Napas mereka terdengar teratur, tetapi ketegangan tergambar jelas di wajah mereka.
Dari balik pepohonan yang tertutup kabut, bayangan-bayangan gelap mulai bermunculan. Mereka bergerak dengan disiplin, barisan mereka tersusun rapi, tak seperti segerombolan perampok yang bergerak tanpa arah. Setiap langkah mereka mengguncang tanah, membuat jantung siapa pun yang melihatnya berdegup lebih kencang.
Dan di depan pasukan itu, berdiri seorang pria bertubuh tinggi, mengenakan jubah hitam yang berkibar diterpa angin. Wajahnya keras, dipenuhi bekas luka yang seolah menceritakan sejarah kelam yang telah ia lalui. Sorot matanya tajam, seperti mata elang yang mengawasi mangsanya sebelum menerkam. Senyum tipis menghiasi bibirnya—bukan senyum kebahagiaan, melainkan senyum seorang pemburu yang baru saja menemukan buruannya.
Raksa menelan ludah. Tangannya semakin erat menggenggam senjatanya. Ia tahu, pertempuran ini bukan sekadar pertarungan hidup dan mati.
Ini adalah takdir yang harus ia hadapi.
"Serahkan bocah itu!"
Suara pria itu meledak di udara, menggema di antara pepohonan dan membuat burung-burung beterbangan ketakutan. Udara mendadak terasa berat, seolah dipenuhi oleh tekanan tak kasatmata yang mencekik.
Raksa melangkah maju, rahangnya mengeras. Cahaya bulan memantulkan kilatan tajam di matanya. "Siapa kau?" suaranya tegas, namun dalam hatinya, ia bisa merasakan desir kegelisahan yang berusaha ditekan.
Pria di hadapannya menyeringai, sepasang mata tajamnya menatap Raksa seperti seorang pemangsa yang sudah pasti menangkap buruannya. "Namaku Sura Langit," katanya dengan nada penuh percaya diri, seperti menyebut nama yang seharusnya membuat musuhnya bergetar ketakutan. "Aku datang untuk mengambil sesuatu yang bukan hakmu—Kitab Naga Purnama."
Jantung Raksa berdegup kencang. Ia mengepalkan tangannya. "Kitab ini bukan untuk orang sepertimu!" suaranya bergemuruh, menggema dengan keberanian yang tidak dibuat-buat.
Sura Langit tertawa rendah, suara yang dingin dan penuh ejekan. "Kau pikir bisa melindunginya? Seorang bocah ingusan sepertimu?"