Raksa menelan ludah. Tangannya semakin erat menggenggam senjatanya. Ia tahu, pertempuran ini bukan sekadar pertarungan hidup dan mati.
Ini adalah takdir yang harus ia hadapi.
"Serahkan bocah itu!"
Suara pria itu meledak di udara, menggema di antara pepohonan dan membuat burung-burung beterbangan ketakutan. Udara mendadak terasa berat, seolah dipenuhi oleh tekanan tak kasatmata yang mencekik.
Raksa melangkah maju, rahangnya mengeras. Cahaya bulan memantulkan kilatan tajam di matanya. "Siapa kau?" suaranya tegas, namun dalam hatinya, ia bisa merasakan desir kegelisahan yang berusaha ditekan.
Pria di hadapannya menyeringai, sepasang mata tajamnya menatap Raksa seperti seorang pemangsa yang sudah pasti menangkap buruannya. "Namaku Sura Langit," katanya dengan nada penuh percaya diri, seperti menyebut nama yang seharusnya membuat musuhnya bergetar ketakutan. "Aku datang untuk mengambil sesuatu yang bukan hakmu—Kitab Naga Purnama."
Jantung Raksa berdegup kencang. Ia mengepalkan tangannya. "Kitab ini bukan untuk orang sepertimu!" suaranya bergemuruh, menggema dengan keberanian yang tidak dibuat-buat.
Sura Langit tertawa rendah, suara yang dingin dan penuh ejekan. "Kau pikir bisa melindunginya? Seorang bocah ingusan sepertimu?"
Dalam sekejap, ekspresi wajahnya berubah. Tawa itu lenyap, digantikan dengan tatapan yang menakutkan. Tanpa peringatan, ia mengayunkan tangannya ke udara. Angin mendesir tajam, menusuk seperti belati tak kasatmata. Tanah di bawah Raksa tiba-tiba bergetar hebat, seperti naga yang terbangun dari tidurnya.
DUARRR!!
Ledakan terjadi tepat di tempat Raksa berdiri. Bongkahan tanah dan debu beterbangan, menerjang pepohonan dan menyisakan lubang besar di tanah. Raksa dengan refleks luar biasa melompat ke samping, nyaris terkena serangan itu. Napasnya memburu. Mata Ki Sancaka yang mengawasi dari kejauhan menyipit.
"Tenaga dalam yang luar biasa..." bisiknya dengan nada serius.