Bab 4: Serangan di Lembah Nirwana
ÂLangit di atas Lembah Nirwana mulai diselimuti kabut tipis, bagaikan tirai halus yang menyembunyikan ancaman di baliknya. Pagi yang seharusnya membawa ketenangan kini terasa dingin dan menekan. Embusan angin berdesir pelan, membawa bisikan samar yang seakan menjadi pertanda akan datangnya malapetaka.
Raksa berdiri tegak di depan aula utama, kedua tangannya mengepal begitu erat hingga buku-buku jarinya memutih. Nafasnya berat, dadanya naik turun seiring dengan denyut jantung yang berdegup liar di dalam rongga dadanya. Ia mencoba menenangkan dirinya, tetapi instingnya berkata bahwa badai sudah di ambang pintu.
Di sisi lain, Ki Sancaka tetap tenang, matanya yang tajam menatap ke luar aula, menembus kabut yang kian pekat. Ekspresinya sukar ditebak, namun ada ketenangan yang luar biasa dalam dirinya—sebuah keteguhan yang berasal dari pengalaman panjang menghadapi bahaya. Ia tahu, perang bukan hanya soal senjata, tetapi juga soal pikiran yang jernih.
Tiba-tiba, langkah kaki yang terburu-buru menggema di dalam aula. Seorang penjaga berlari ke arah mereka, napasnya tersengal-sengal, wajahnya basah oleh keringat dan ketakutan yang nyata.
"Ki Sancaka!" suaranya serak, hampir bergetar. "Lebih dari selusin orang bersenjata mendekat! Mereka bergerak dalam formasi, dan pemimpinnya… tampak berbahaya."
Sejenak, keheningan menyelimuti mereka. Ki Sancaka menghela napas panjang, sorot matanya mengeras. Seolah ia sudah memperkirakan hal ini akan terjadi. Udara di sekeliling mereka terasa semakin berat.
"Kumpulkan para penjaga," perintahnya dengan suara rendah namun tegas. "Pastikan penduduk aman. Jangan biarkan mereka menjadi korban pertempuran ini."
Raksa menggenggam tongkat kayunya lebih erat, matanya menyala dengan api tekad yang baru saja berkobar. Ketakutan bukan lagi pilihan. Ia menatap Ki Sancaka dengan penuh keyakinan.
"Aku harus menghadapi mereka, Ki," ucapnya dengan suara mantap. "Aku tidak bisa terus melarikan diri."
Ki Sancaka menatapnya dalam-dalam, seolah mencari sesuatu di balik mata pemuda itu. Keheningan kembali turun di antara mereka, hanya terdengar desir angin yang semakin menusuk. Setelah beberapa saat yang terasa seperti seumur hidup, Ki Sancaka akhirnya mengangguk pelan.
"Jika itu keputusanmu, maka bersiaplah," katanya. "Ingat, kemenangan bukan hanya soal pertarungan, tetapi juga strategi."