Mohon tunggu...
Cinta D.A. Benua
Cinta D.A. Benua Mohon Tunggu... Penulis - T.U. Bagian Bengkel Listrik SMK Yudya Karya, Tukang Servis Perbaikan Peralatan Listrik Rumah Tangga, Penulis Novel Fizzo, Penulis Lirik Lagu.

Hobi saya adalah berkutat di dunia kreativitas, khususnya dalam menulis dan menciptakan karya seni. Saya aktif menulis novel di platform Fizzo dengan nama pena Cinta di Antara Benua, yang kini saya ubah menjadi Cinta D.A Benua agar terlihat lebih simpel dan keren. Di sanalah saya menuangkan imajinasi dan menghadirkan cerita-cerita yang dapat menginspirasi para pembaca. Bagi saya, menulis adalah cara untuk menjelajahi berbagai dimensi kehidupan, karakter, dan emosi. Selain itu, saya juga memiliki minat mendalam dalam dunia musik. Saya gemar menciptakan lirik lagu yang bermakna serta mengolah melodi menggunakan Suno AI. Proses ini bukan hanya menantang, tetapi juga memberikan kepuasan tersendiri ketika sebuah lagu berkembang dari ide sederhana menjadi sebuah karya yang utuh. Melalui kombinasi menulis novel dan menciptakan musik, saya merasa dapat mengekspresikan diri serta berbagi cerita dengan cara yang unik dan mendalam. Bagi saya, kreativitas adalah jembatan untuk menyentuh hati banyak orang. Di luar dunia seni, saya bekerja di Tata Usaha Bagian Bengkel Listrik SMK Yudya Karya. Selain itu, saya juga memiliki pekerjaan sampingan sebagai teknisi perbaikan peralatan listrik rumah tangga, termasuk AC, kulkas, serta berbagai perangkat elektronik lainnya.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Jejak Naga Purnama Bab 4: Serangan di Lembah Nirwana

3 Februari 2025   23:57 Diperbarui: 6 Februari 2025   21:26 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jejak Naga Purnama Bab 4: Serangan di Lembah Nirwana 

Langit di atas Lembah Nirwana mulai diselimuti kabut tipis, bagaikan tirai halus yang menyembunyikan ancaman di baliknya. Pagi yang seharusnya membawa ketenangan kini terasa dingin dan menekan. Embusan angin berdesir pelan, membawa bisikan samar yang seakan menjadi pertanda akan datangnya malapetaka.

Raksa berdiri tegak di depan aula utama, kedua tangannya mengepal begitu erat hingga buku-buku jarinya memutih. Nafasnya berat, dadanya naik turun seiring dengan denyut jantung yang berdegup liar di dalam rongga dadanya. Ia mencoba menenangkan dirinya, tetapi instingnya berkata bahwa badai sudah di ambang pintu.
Di sisi lain, Ki Sancaka tetap tenang, matanya yang tajam menatap ke luar aula, menembus kabut yang kian pekat. Ekspresinya sukar ditebak, namun ada ketenangan yang luar biasa dalam dirinya—sebuah keteguhan yang berasal dari pengalaman panjang menghadapi bahaya. Ia tahu, perang bukan hanya soal senjata, tetapi juga soal pikiran yang jernih.

Tiba-tiba, langkah kaki yang terburu-buru menggema di dalam aula. Seorang penjaga berlari ke arah mereka, napasnya tersengal-sengal, wajahnya basah oleh keringat dan ketakutan yang nyata.

"Ki Sancaka!" suaranya serak, hampir bergetar. "Lebih dari selusin orang bersenjata mendekat! Mereka bergerak dalam formasi, dan pemimpinnya… tampak berbahaya."

Sejenak, keheningan menyelimuti mereka. Ki Sancaka menghela napas panjang, sorot matanya mengeras. Seolah ia sudah memperkirakan hal ini akan terjadi. Udara di sekeliling mereka terasa semakin berat.

"Kumpulkan para penjaga," perintahnya dengan suara rendah namun tegas. "Pastikan penduduk aman. Jangan biarkan mereka menjadi korban pertempuran ini."
Raksa menggenggam tongkat kayunya lebih erat, matanya menyala dengan api tekad yang baru saja berkobar. Ketakutan bukan lagi pilihan. Ia menatap Ki Sancaka dengan penuh keyakinan.

"Aku harus menghadapi mereka, Ki," ucapnya dengan suara mantap. "Aku tidak bisa terus melarikan diri."
Ki Sancaka menatapnya dalam-dalam, seolah mencari sesuatu di balik mata pemuda itu. Keheningan kembali turun di antara mereka, hanya terdengar desir angin yang semakin menusuk. Setelah beberapa saat yang terasa seperti seumur hidup, Ki Sancaka akhirnya mengangguk pelan.

"Jika itu keputusanmu, maka bersiaplah," katanya. "Ingat, kemenangan bukan hanya soal pertarungan, tetapi juga strategi."

Mereka berjalan menuju gerbang utama. Setiap langkah terasa berat, seolah bumi pun mengerti bahwa pertempuran yang akan datang bukanlah pertempuran biasa. Para penjaga Lembah Nirwana telah bersiap dengan tombak, panah, dan pedang yang berkilat di bawah cahaya samar pagi. Napas mereka terdengar teratur, tetapi ketegangan tergambar jelas di wajah mereka.
Dari balik pepohonan yang tertutup kabut, bayangan-bayangan gelap mulai bermunculan. Mereka bergerak dengan disiplin, barisan mereka tersusun rapi, tak seperti segerombolan perampok yang bergerak tanpa arah. Setiap langkah mereka mengguncang tanah, membuat jantung siapa pun yang melihatnya berdegup lebih kencang.

Dan di depan pasukan itu, berdiri seorang pria bertubuh tinggi, mengenakan jubah hitam yang berkibar diterpa angin. Wajahnya keras, dipenuhi bekas luka yang seolah menceritakan sejarah kelam yang telah ia lalui. Sorot matanya tajam, seperti mata elang yang mengawasi mangsanya sebelum menerkam. Senyum tipis menghiasi bibirnya—bukan senyum kebahagiaan, melainkan senyum seorang pemburu yang baru saja menemukan buruannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun