Mohon tunggu...
Jajlife
Jajlife Mohon Tunggu... pelajar -

Setidaknya terdapat "bukti" bahwa aku pernah hidup.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Betul Juga Ya

13 Desember 2016   22:56 Diperbarui: 13 Desember 2016   23:32 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tak piawai dalam menata hati

Kadang sembarang menyimpan perasaan

Juga amarah yang terbalut senyuman

Ataukah juga tawa yang terbalut tangis

Kala itu memang asaku terengkuh

Oleh sayup wajahmu yang menipu

Seperti dingin yang menyeruak

Membuatku menggigil di tengah hari

Keraguanku kau sulap menjadi keteguhan

Dengan jentikan jarimu yang penuh ilusi

Tak ada tanya sedikitpun dalam tekad ini

Seperti keyakinanku akan terbitnya fajar esok

Terbinalah gelora-gelora kayangan

Menyekapku dalam suasana surgaloka

Elok, indah, permai, entah apalah itu

Air mata, ku anggap mustahil saat itu

Nadiku mulai mengalirkan ketulusan

Jantung ini memompa-mompa darah pengorbanan

Hati ini mentahbiskan sebuah jalinan

Lisan ini menyemogakan tali keabadian

Segala kekuranganmu itu ku anggap debu

Yang telah hilang terkibas angin jalanan

Ku kenakan kau gaun ketulusan

Ku hiasi gerai rambutmu dengan mahkota kemuliaan

Hingga sampailah ku siuman

Kau bangunkan aku dengan sayatan yang begitu dalam

Air mata yang ku anggap mustahil

Ternyata mampu kau linangkan

Mahar ketulusanku kau dustakan

Demi emas yang kau anggap kemapanan

Penerimaan yang telah ku persembahkan

Menjadi bumerang yang menghardikku sendiri

Tahukah kau,

Jika ku gunakan logika sejak dahulu

Ku tinggalkan kau seperti sandal sebelah

Dan ku kenakan alas kaki yang genap

Tetapi kau berujar seperti pengabul saja

Dan kau anggap aku seperti pengibul saja

Tahukah kau,

Saat ini bukan lagi cinta tersisa

Melainkan dendam yang ku tahan-tahan

Tetapi akal sehat menolak kebencian

Karena ku tak ingin menyamaimu

Biarlah takdir yang memutuskan

Apa yang terjadi di masa depan

Tak lepas dari do'a suka-cita

Menyertai langkah-langkah penuh bahagia

Ku tak sabar sampai di satu saat nanti

Saat ku bisa menertawakan kesedihanku sendiri

Kemudian ku bertanya-tanya,

"Kok bisa aku sesedih ini?"

Juga indra-indraku mempertanyakan,

"Mengapa kau bersedih ditinggalkan orang yang samasekali tak memperdulikanmu?"

"Bukankah itu sebuah keuntungan?"

Kemudian hati kecilku menjawab,

"Betul juga ya."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun