Mohon tunggu...
Angkasa Yudistira
Angkasa Yudistira Mohon Tunggu... -

Pengguna obat-obatan sesuai resep dokter sedari bayi, akibatnya rusaklah semua gigi. Jurnalis juga. Suami juga. Ayah juga.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Ikan Akung

30 Mei 2018   04:22 Diperbarui: 30 Mei 2018   04:56 597
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi (dokumentasi pribadi)

Kemarin saya punya kesempatan pulang petang. Jadi bisa mampir ke Pasar Ikan Jatinegara. Beli dua dan besar untuk jadi penghuni baru kolam depan.

Sampai rumah belum maghrib. Dua ikannya harus segera dibuka dari plastik. Kasihan, hampir dua jam dia ngap-ngapan, lompat-lompatan, lantaran saya gantung di dekat mesin motor.

Sepi, si Langit, anakku yang baru berumur 2,5 tahun, enggak tahu di mana. Oh, ternyata dia main ke rumah tetangga.

"Langit, coba tengok sini. Ayah udah pulang dan bawa ikan besar," kata si Ambu memanggil.

"Enggak mau pulang Ambu. Langit masih mau main Tobot (Tobot: salah satu film kartun, yang tokohnya berupa mobil dan bisa berubah jadi robot),"

"Bukan pulang, tapi lihat sini ke kolam, Ayah bawa dua ikan besar,"

"Baiklah,"

Sampai di kolam, dia tanya ikan jenis apa itu. Ikan koi namanya, kata Ambu.

"Bagaimana kalau ikan besarnya kita kasih nama?" si Ambu bilang ke Langit.

"Itu namanya ikan, Ambu,"

"Iya, itu ikan. Namanya apa ya kira-kira yang bagus?"

"Ambu, itu namanya ikan!" si Langit mulai nyolot karena merasa jawabannya diacuhkan. Saya pun tertawa mendengarnya. Dan Ambu tetap keukeuh untuk memberi nama dua ikan itu.

"Ehmm... Bagaimana kalau namanya Mater (Mater: temannya McQueen di film Cars)?" Ambu tawarkan nama.

"Boleh, hai Mater" Langit setuju.

"Kalau satu lagi siapa namanya?"

"Satu lagi namanya Akung,"

"Kok Akung? Kenapa?"

"Karena dia udah besar. Jadi dia udah tua,"

Pemberian nama ikan yang seenaknya dan tanpa pengajian itu selesai. Kami lalu beranjak ke minimarket untuk beli gula dan diapersnya si Langit dan kawannya yang lain. Dan seperti sebelumnya, hampir selalu begitu, si Langit melancarkan keahliannya dalam melobi agar bisa dapat apa yang dia mau.

"Ayah, coba kau tengok. Ini apa?" kali ini dia menunjuk permen yang sepaket dengan tempatnya, yang menurutku, harganya jadi bisa Rp25 ribu ya karena tempatnya itu, yang kepalanya ditekan, lalu permennya keluar.

"Itu permen,"

"Apakah permennya bisa diemut?"

"Bisa,"

"Bisa digigit?"

"Bisa,"

"Bisa dimakan?"

"Bisa,"

"Bisa dibuka?"

"Bisa, tapi harus dibeli dulu,"

"Ehmmm.. Enggak usah lah, Ayah,"

Dengar jawaban itu, dalam hati ku berkata, tumben.

Semua kebutuhan pun sudah dibawa ke kasir, siap dibayar. Eh, ada perempuan kecil berdiri samping Langit lemparkan senyum sambil membawa es krim. Hmmm, tapi si Langit ketus responsnya.

"Hei, jangan makan es krim! Nanti batuk," Langit bilang begitu ke teman barunya itu. Padahal kalau kalian tahu, hampir setiap ke minimarket, dia minta es krim. Tapi memang, kemarin tumben-tumbenan dia cuma minta coklat, tanpa es krim.

Anehnya, dengar perkataan Langit itu, si gadis kecil menghampiri ibunya sambil berkata. "Enggak jadilah es krimnya,".

"Loh, kenapa?" kata sang ibu yang bingung dengan perilaku anaknya.

Maaf ya gadis kecil, bukan maksud anakku melarang mu makan es krim. Tapi itu benar, kalau kau terlalu banyak makan es krim, nanti batuk dan pilek. Seperti Langit yang baru sembuh dari melernya.

Oh, ternyata si ibu tetap membelikan anaknya es krim. Tapi beda jenis dengan yang dimau pertama tadi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun