“ Tenang…,” tutur Pak Selamet
“Istighfar.” Sambungnya berusaha menenangkan kami.
Baru saja Pak selamet selesai bicara, pintu kamar mandi tepat di belakang meja kerjaku menutup sendiri seperti ada orang yang sengaja menutupnya dengan paksa. Nani dan Enny yang ketakutan menjerit dan saling berpelukan.
“Syan, antarkan mereka ke bawah. Minta Tarmin untuk mengantar pulang.” Kuturuti kata pak Selamet dan aku kembali naik ke lantai dua. Tidak ada apa-apa, hanya pak suluh yang masih terpekur berdoa.
Hari–hari selanjutnya, banyak kejadian aneh di kantor. Mulai dari karyawan yang terkunci di kamar mandi tepat di belakang meja kerjaku sampai office boy yang pingsan di kamar mandi itu juga. Banyak isu beredar. Ada yang bilang kantor itu dibangun di atas tanah kuburan, ada juga yang bilang nama Harian SKANDAL tidak membawa berkah, dan banyak lagi. Aku sendiri tidak begitu percaya dengan kejadian-kejadian itu. Telepon yang berdering itu mungkin memang ada yang iseng. Karyawan yang terkunci di kamar mandi itu juga mungkin selot kunci memang udah rusak, sedangkan office boy yang pingsan itu mungkin karena belum makan pagi.
Aku menjalani pekerjaanku seperti biasa dan menyikapinya dengan tenang, dengan setengah mengantuk dan malas-malasan, kuselesaikan gambar illustrasiku.
“Gambar kamu itu misterius.” Celetuk Pak Edward, redaktur pelaksana itu dingin untuk kemudian naik ke tangga. Aku jadi ga mood melihat sikap dinginnya. Kurasakan beberapa hari ini orang di kantorku bersikap aneh padaku. Si Abel yang biasa memberi masukan atas semua illustrasi dan syairku, balik menghujat.
Aku hanya diam. Kucoba mencerna semua sikapnya. Ada apa sebenarnya? Sampai-sampai ada yang meminta aku mengulang ilustrasi sampai tiga kali. Tak seperti biasanya. Cara orang-orang melihatku juga aneh. Aku jadi nggak nyaman saja kalau terus-terusan begini. Aku mulai berpikir, selesai mengerjakan tugasku aku pergi saja. Pernah juga aku dihujat habis-habisan berkaitan cerita komik yang aku buat. Komik yang menceritakan tentang perjuangan seseorang dari kelas bawah yang berjuang untuk mempertahankan hidup itu katanya tidak berkelas untuk Koran Harian itu.
“Kamu tahu enggak, Koran ini ditujukan untuk menengah ke atas…” kata redakturku waktu itu. Seperti geledek menampar muka. Anjriit, rutukku lalu apakah orang miskin tidak boleh dijadikan bahan untuk cerita. Padahal jika kita mau pahami, pesan moral dalam komik itu sangat terasa. Dibandingkan komik–komik yang hanya mengandalkan lelucon dan hanya menyindir–nyindir. Kutinggalkan redakturku begitu saja dan kembali ke mejaku.
Adzan Dzuhur menggema di antara kesibukan suasana kantor. Kupikir kantor ini sudah seperti pasar. Kadang membahas headline saja debat mati-matian. Aku beranjak dari mejaku mengambil air whudhu dan sholat di kamar istirahat wartawan.
Dengan sepenuh hati yang ikhlas aku bersujud dan berpasrah pada-Nya. Seusai sholat, aku masih khusuk berdoa. Tiba-tiba kurasakan tubuhku lemah, sesuatu masuk ke dalam ragaku.Entah apa aku sendiri tidak tahu. Yang kulihat hanya sinar putih benderang kemudian berpendar membias menjadi warna-warni, kemudian aku merasa melayang dan melihat diriku yang lain terbaring dikelilingi semua orang.