Mohon tunggu...
Jaid Brennan
Jaid Brennan Mohon Tunggu... Penulis Freelance -

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Halusinasi - Pelangi Pucat Pasi bagian 15

25 Januari 2017   08:02 Diperbarui: 25 Januari 2017   08:30 503
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: http://madretierra.deviantart.com

Bagian 15

Halusinasi

Dua Tahun Kemudian

Kuseret langkahku  keluar dari kantor. Lampu berjuta warna terangi langit Jakarta. Menyadarkanku bahwa aku sudah seperti mesin yang terus dipacu. Sampai untuk menikmati waktu sendiri saja tidak ada. Ya, beginilah nasib bekerja di media. Kutelusuri jalanan Jakarta yang basah oleh hujan sore tadi. Jakarta yang tak pernah mati dengan hiruk pikuknya. Mungkinkah keajaiban bisa turun dari langit Jakarta yang merah oleh segala ambisi manusia?

Hey, kenapa aku bicara keajaiban?

Sejak kapan aku mengharapkan kejaiban turun dari langit?

Ah…, keajaiban itu tidak ada. Tepisku.

Toh, hidupku di Jakarta terus begini. Tidak ada perubahan. Untuk makan saja kadang susah. Meski sudah bekerja mati-matian. Ingin satu saat aku lari saja dari Jakarta.

Kilat tiba-tiba menyambar, hujan turun seketika.

Aku segera berlari mencari tempat berteduh, tepatnya di sebuah emperan toko yang sudah tutup.

Ya, cukup nyaman juga  untukku berlindung dari hujan. Hujan begitu lebat, sampai-sampai mataku tak dapat menangkap sesuatu yang ada di depanku.

 Sesekali terlihat lampu mobil yang melintas. Kilat menyambar dan angin seperti menari-nari mematahkan dahan- dahan pohon.

Aneh, hujan lebat itu seketika reda seperti menunjukkan bahwa keajaiban bisa turun di mana pun. Jika Tuhan menghendaki sesuatu terjadi. Mataku tiba-tiba menangkap sesuatu yang meringkuk di bawah pohon.

Astaga, rupanya anak kecil. Lho, kenapa dia? Kuhampiri anak itu, tampak darah segar merembes dari bajunya. Saat kuangkat, ada sesuatu mengganjal di punggungnya.

Oh…, Tuhan! Bajunya pun aneh, hanya kain putih yang melingkari membalut tubuhnya.

Jangan-jangan…? 

Ah, aku tidak boleh berpikir macam-macam, aku harus menolongnya!

Aku tak ingat, bagaimana aku bisa secepat itu sampai di kamar kostku. Mungkin aku terlalu bersemangat untuk menolong anak ini.

Kubaringkan tubuh mungilnya di tempat tidurku. Kubuka kain basah yang membalut tubuhnya.

Oh, Tuhan sesuatu menyembul dari punggung-nya…Sayap?

Anak ini bersayap?

Sayap itu lembut dan tetap kering meski kain yang membungkus tubuhnya basah. Darah itu keluar dari sayap kecilnya yang terluka. Kututup lukanya dengan kain kering.

Astaga…! Darah itu putih dan berkilau seperti cahaya.

Tuhan, mimpikah aku….

Matahari yang menembus jendela kamarku membuatku membuka mata.

Benar, aku bermimpi. Tapi semalam benar - benar hujan dan sisa hujan itu masih membasahi daun-daun. Dan apakah perjalananku dari kantor ke kost juga mimpi? Lalu bulu-bulu putih yang tertinggal di tempat tidurku itu bulu apa? Di sini tidak ada unggas. Ini benar-benar aneh. Firasat apa ini?

Seperti biasa kujalani rutinitasku: bangun pagi dan ke kantor. Sebenarnya posisiku di media ini hanya seorang pengisi kolom syair dan komik sekaligus merangkap ilustrator. Jadi, tugasku hanya merangkai kata yang lahir dari kegelisahanku dan kedalaman hatiku.

Kadang-kadang aku juga membual hanya untuk memenuhi tuntutan deadline. Jika kau lihat aku di jalan, atau sedang membaca gratis, berdiri di toko buku.

Aku bukanlah seperti seniman. Aku tidak gondrong seperti pekerja seni lain. Fisikku kecil dan wajahku baby face. Terlihat lebih muda dari usiaku yang sebenarnya. Kata orang, wajah lebih muda itu berkah.

Buatku tidak…, justru karena wajahku ini, banyak orang jadi semena-mena terhadapku. Kadang aku diperlakukan seperti adik. Padahal usiaku jauh lebih tua dari dia.

Sebenarnya Aku tak pernah bermimpi jadi pengisi kolom syair di Koran atau jadi seorang ilustrator. Entahlah dulu aku ingin jadi apa. Yang pasti aku tidak ingin jadi seniman atau ilustrator dan terus-terusan miskin…..

Lalu jika ada yang bertanya, kenapa aku bisa merangakai kata dan menggambar? Aku pun tidak tahu. Bahkan, terkadang aku bukan apa-apa dan kemampuan yang kumiliki adalah sesuatu di luar diriku.

Aku sebenarnya bukan orang yang suka bergaul. Aku suka menyendiri. Asyik dengan pikiran-pikiranku sendiri. Terkadang aku insomnia. Mungkin, karena kebiasaanku tidak bisa tidur malam itu membuatku beberapa kali dipecat dari pekerjaanku. Bayangkan saja,  sudah 10 kali aku keluar masuk perusahaan, hanya gara-gara “penyakitku” ini.

Tapi sampai sekarang pun aku tidak tahu mau jadi apa? Hidupku terasa membosankan. Aku juga tidak mempunyai siapa-siapa di Jakarta. Aku tidak memiliki seseorang yang benar-benar bisa menjadi teman, bahkan untuk bisa memahamiku.

Kecuali dia. Seseorang yang kutemukan di dunia maya di situs yang mirip dengan facebook. Identitas orang itu pun sebenarnya tidak jelas. Tapi itu tidak penting bagiku karena kurasa, hanya dia yang bisa memahamiku dan…. aku juga bisa mengerti kegelisahan-kegelisahannya.

Meski kami tak pernah  kontak fisik, tapi kami seperti memiliki hubungan batin yang dalam, yang mungkin tidak bisa dipahami oleh orang lain.

“ Hooi…, ngelamun aja Lu!  Ntar kesambet, Lu.” Teriak  Abel dari mejanya.

“ Gue ngantuk banget,nih!! Bel, semalem gue nggak  bisa tidur,” kataku

“ Kerjaan lu tuh, selesaiin dulu,” timpalnya.

“ Komik gue udah kelar buat sebulan, udah ada di file gue.” Sambungku.

Ahh…, ngantuk banget. Kusandarkan kepalaku di meja dan aku sudah tak ingat apa-apa lagi. Tertidur mengarungi dunia mimpi yang lebih indah dari mimpi malamku. Begitu bangun, kulihat Abel  sudah tidak ada di mejanya. Hanya ada dua wartawan dan satu editor yang masih asyik dengan pekerjaanya.

Line telepon di mejaku berdering, begitu kuangkat tak ada jawaban… mati. Kulihat jam di tanganku menunjukan pukul satu dini hari. Busyet deh, sudah berapa jam aku tertidur?

Malas sekali rasanya pulang. Ah malam ini, biarlah aku tidur di kantor saja. Saat aku mulai beranjak dari tempat duduk,  line telepon di mejaku kembali berdering. Tidak hanya itu, semua line telepon di ruangan itu tiba-tiba, satu persatu berdering. Suaranya aneh hingga membuat bulu kudukku bergidik. Belum hilang rasa kagetku, semua lampu di ruangan itu mati, sesaat kemudian menyala kembali.

“Ada apa ini..?” Tanya Nani ketakutan.

“ Tenang…,” tutur Pak Selamet

“Istighfar.” Sambungnya berusaha menenangkan kami.

Baru saja Pak selamet selesai bicara, pintu kamar mandi tepat di belakang meja kerjaku menutup sendiri seperti ada orang yang sengaja menutupnya dengan paksa. Nani dan Enny  yang ketakutan menjerit dan saling berpelukan.

“Syan, antarkan mereka ke bawah. Minta Tarmin untuk mengantar pulang.” Kuturuti kata pak Selamet dan aku kembali naik ke lantai dua. Tidak ada apa-apa, hanya pak suluh yang masih terpekur berdoa.

Hari–hari selanjutnya, banyak kejadian aneh di kantor. Mulai dari karyawan yang terkunci di kamar mandi tepat di belakang meja kerjaku sampai office boy yang pingsan di kamar mandi itu juga. Banyak isu beredar. Ada yang bilang kantor itu dibangun di atas tanah kuburan, ada juga yang bilang nama Harian SKANDAL tidak membawa berkah, dan banyak lagi. Aku sendiri tidak begitu percaya dengan kejadian-kejadian itu. Telepon yang berdering itu mungkin memang ada yang iseng. Karyawan yang terkunci di kamar mandi itu juga mungkin selot kunci memang udah rusak, sedangkan office boy yang pingsan itu mungkin karena belum makan pagi.

Aku menjalani pekerjaanku seperti biasa dan menyikapinya dengan tenang, dengan setengah mengantuk dan malas-malasan, kuselesaikan gambar illustrasiku.

“Gambar kamu itu misterius.” Celetuk Pak Edward, redaktur pelaksana itu dingin untuk kemudian naik ke tangga. Aku jadi ga mood melihat sikap dinginnya. Kurasakan beberapa hari ini orang di kantorku bersikap aneh padaku. Si Abel  yang biasa memberi masukan atas semua illustrasi dan syairku, balik menghujat.

Aku hanya diam. Kucoba mencerna semua sikapnya. Ada apa sebenarnya?  Sampai-sampai ada yang meminta aku mengulang ilustrasi sampai tiga kali. Tak seperti biasanya. Cara orang-orang melihatku juga aneh. Aku jadi nggak nyaman saja kalau terus-terusan begini. Aku mulai berpikir, selesai mengerjakan tugasku aku pergi saja. Pernah juga aku dihujat habis-habisan berkaitan cerita komik yang aku buat. Komik yang menceritakan tentang perjuangan seseorang dari kelas bawah yang berjuang untuk mempertahankan hidup itu katanya tidak berkelas untuk Koran Harian itu.

“Kamu tahu enggak, Koran ini ditujukan untuk menengah ke atas…” kata redakturku waktu itu. Seperti geledek menampar muka. Anjriit, rutukku lalu apakah orang miskin tidak boleh dijadikan bahan untuk cerita. Padahal jika kita mau pahami, pesan moral dalam komik itu sangat terasa. Dibandingkan komik–komik yang hanya mengandalkan lelucon dan hanya menyindir–nyindir. Kutinggalkan redakturku begitu saja dan kembali ke mejaku.

Adzan Dzuhur menggema di antara kesibukan suasana kantor. Kupikir kantor ini sudah seperti pasar. Kadang membahas headline saja debat mati-matian. Aku beranjak dari mejaku mengambil air whudhu dan sholat di kamar istirahat wartawan.

Dengan sepenuh hati yang ikhlas aku bersujud dan berpasrah pada-Nya. Seusai sholat, aku masih khusuk berdoa. Tiba-tiba kurasakan tubuhku lemah, sesuatu masuk ke dalam ragaku.Entah apa aku sendiri tidak tahu. Yang kulihat hanya sinar putih benderang kemudian berpendar membias menjadi warna-warni, kemudian aku merasa melayang dan melihat diriku yang lain terbaring dikelilingi semua orang.

“ Syan sadar!….Syan…” kata mereka.

“Ambilkan minyak kayu putih.” Teriak Abel  teman sebelah mejaku sambil menggoyang-goyangkan tubuhku. Sementara yang lain panik lari kesana-kemari.

“Kita bawa saja ke rumah sakit.” Kata redakturku. Sementara diriku yang lain semakin ringan melayang membumbung, menembus langit-langit kantor terus naik melayang tinggi… dan tinggi. Tak ada matahari tak ada awan, tak ada apapun. Aku seperti berada di tempat yang luas tak berbatas. Sebelum aku sempat menyadari apa yang terjadi, seseorang telah berada di depanku. Mengambang tak berpijak. Sorot matanya tajam dan mampu menembus bagian dalam dari diriku. Bahkan ia seperti masuk ke dalam pikiranku dan kami berkomunikasi dengan cara yang aneh. Mulutnya tidak berucap tapi aku mampu merasakan apa yang dikatakannya.

“ Aku mengundangmu ke sini karena hanya kau yang pantas kuundang….”

“Aku?”

“Ya, kau ingat anak kecil yang kau tolong saat hujan lebat? Itu adalah aku…” kutatap makhluk di depanku itu. Wujudnya aneh, setengah dari wujudnya adalah cahaya. Terlihat samar dan ada sesuatu menyembul di punggungnya seperti sayap.

“Kau orang yang ikhlas,” terusnya.

“Tidak… aku tidak seperti itu. Hidupku penuh dosa dan kebohongan. Aku bekerja di media yang seharusnya menyuarakan kebenaran. Tapi, aku seperti diajarkan untuk mengingkari kebenaran itu sendiri. Banyak narasumber yang merasa terfitnah, tertekan dan merasa dirugikan atas tulisan kami di Koran. Meskipun aku tidak ikut berperan tapi aku sudah menjadi bagian dari mereka, aku berdosa, aku sudah menggambar ilustrasi atas kebohongan mereka….”

“ Itulah.. kau mampu menyadarinya. Rasa bersalahmu adalah jiwa sucimu.”

“ Lalu untuk apa aku berada di sini?”

“ Kau kupilih untuk membantuku.”

“ Membantumu?”

“Ya! Aku adalah malaikat yang berdosa…. Aku pernah berada di bumi untuk mengawasi tingkah laku manusia. Berada di antara manusia membuatku memiliki hasrat, dan hasrat itu sendiri adalah dosa. Aku dihukum untuk mengalahkan raja iblis yang bertahta di antara awan-awan gelap. Aku bertarung dengannya. Ia mengacaukan awan-awan dan petir untuk menyerangku. Aku terluka jatuh ke bumi dan kau menemukanku. Hati ikhlasmulah yang menyembuhkan lukaku dan mengembalikan aku ke langit. Sekarang bumimu dalam bahaya karena raja iblis menurunkan hawa jahatnya. Tempatmu bekerja adalah sasarannya karena memang tempat itu dulunya adalah tempat roh-roh penasaran dan jiwa-jiwa yang tidak diterima. Perlu kau ketahui, separuh dari orang-orang di kantormu adalah jiwa-jiwa sesat yang tersedot oleh kekuatan jahat tempat itu. Sesungguhnya tempatmu bekerja itu berdiri di atas kerajaan iblis.”

“Kerajaan iblis?”

“Ya, kerajaan itu sudah ada sejak beribu-ribu tahun yang lalu.”

“Lalu apa yang harus aku lakukan?”

“Tugasmu adalah menyadarkan manusianya, biar aku yang menghadapi raja iblis.”

“Tapi, aku bisa apa?”

“Ini adalah tugas mulia. Kau jangan khawatir. Saat kau mengalami kesulitan akan ada orang yang  membantu-mu. Mungkin saat ini orang itu belum bisa kau temui tapi kehadirannya bisa kau rasakan. Kau bisa cerita apa saja padanya dan yang harus kau lakukan hanya menjalankan pekerjaanmu sepenuh hati. Ikuti saja hatimu maka kau sudah membantuku. Sekarang kembalilah. Sebelum mereka mengubur ragamu.” Selesai bicara, makhluk itu menghilang dan bersamaan dengan itu aku pun tak tahu aku berada di dunia mana. Yang kurasa hanya ringan seperti melayang sebelum akhirnya aku merasakan rasa nyeri di lenganku. Dan begitu mataku terbuka, ada infus di lengan kiriku.

 Pelan–pelan kuamati seseorang di sampingku. Sesosok tinggi besar yang sudah cukup aku kenal. Pak Edward, redakturku, ia menjagaku di sini, pikirku. Tetapi begitu kuperhatikan dengan seksama dari atas ke bawah, di tangannya tergenggam sesuatu. Sebuah pisau tajam, sementara tangannya yang lain menggenggam selang infusku. Aku tidak tahu apa yang akan dilakukannya. Tak bisa dipercaya. Dia menarik-narik selang infusku. Entahlah ia mau memotong selang infusku atau mungkin nadiku. Aku ingin teriak tapi entah kenapa mulutku tak bisa mengeluarkan suara. Tak berdaya. Oh, Tuhan tolonglah...handphone di saku celanaku berbunyi mengagetkan Pak Edward hingga pisau di tangannya jatuh. Terdengar langkah suster dari luar yang kemudian masuk.

“Ada apa, Pak? “ Tanya suster itu pada pak Edward.

“Nggak ada apa-apa, hanya pisau jatuh.” Jawab pak Edward tenang sambil memegang buah  dan mengupaskannya untukku. (JB) Bersambung

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun