Mohon tunggu...
Jagat Alit
Jagat Alit Mohon Tunggu... Novelis - Konten Kreator

Mantan Super Hero. Sekarang, Pangsiun. Semoga Berkah Amin

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

SB-3, Petaka Baru

5 Desember 2023   06:02 Diperbarui: 5 Desember 2023   06:17 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mendung menelan langit jadi kelabu

Mentari terseok pergi menanggung malu

Diiringi oleh angin dingin membuat kelu

Menjadi pertanda petaka baru

Nyawa terbang siapa yang tahu?

Jauh dari Pulau Pualam Putih...

Tidak seperti biasanya, Senopati Banyu Biru pulang lebih awal dari istana. 

Kuda jantan hitam tinggi gagah yang ditungganginya dipacu ke arah tempat tinggalnya, di sisi Selatan dari Istana Benua Lokananta.

Senopati Banyu Biru adalah Senopati andalan dari Panglima Nakayana.

Meski umurnya termasuk masih muda sekitar 30 tahunan, namun sepak terjangnya sangat luar biasa. Semua tugas yang dibebankan kepadanya, dikerjakan selalu berhasil dengan baik. Selain terampil dalam olah keprajuritan, dia juga termasuk senopati yang sakti dalam olah Kanuragan.

*

Kuda jantan hitam itu terus melesat ke arah Selatan setelah keluar dari gerbang istana. Dia sengaja memilih jalanan melingkar yang sepi sehingga perjalanan pulangnya dapat ditempuh lebih singkat dengan memacu kudanya.

Senopati Banyu Biru, tidak pernah menyangka sama sekali bahwa perjalanan pulangnya kali ini akan menemui keanehan tidak seperti biasanya. Di dalam benaknya sekarang, hanya terbayang wajah cantik Kemala Ratri istrinya dan anak semata wayang Daru Langit yang montok dan lucu.

Dia tidak pernah curiga bahwa dari atas, ada "sesuatu" yang aneh mengikutinya pulang. 

*

Tugas baru yang dibebankan oleh Panglima Nakayana kepadanya, membuatnya harus berpisah sementara dengan Kemala Ratri dan Daru Langit. 

Sebenarnya tugas rahasia yang ditunaikan untuk menyirap kabar keberadaan Ki Mahendra, manusia setengah dewa yang bergelar Datuk Sakti dari Utara yang dulu menjadi penyelamat Raja Benua Kerta dari Negeri Benua Lokananta dari serbuan negara asing, dua puluh tahun yang lalu.

Maka, dengan tidak sabar Senopati Banyu Biru mencongklang cepat kudanya sore ini, untuk mempersiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan untuk menjalankan tugas berat itu.

*

Mentari masih terus menggelincir ke arah Barat, diiringi angin mendesau dan jerit beburungan yang pulang ke sarang.

Ujung dari hutan kecil yang akan dilewatinya di depan adalah tempat terbuka yang mempunyai sudut pandang luas ke arah delapan penjuru angin di sekitarnya. Sehingga dari tempat ketinggian itulah, Senopati Banyu Biru bisa melihat atap rumahnya dari kejauhan.

Berpikir seperti itu, Senopati Banyu Biru semakin bersemangat. Ditariknya les kudanya dan dikempitnya perut kuda untuk menambah kecepatan lari kuda. 

"Hiaaaah... Iieeeghhh!"

Si Hitam meringkik dan melonjak mempercepat larinya.

Belum beberapa depa berlari terdengar suara lirih mendesir, gerakan halus secepat kilat menghadang perjalanan Senopati Banyu Biru.

"Singgggg."

Senopati Banyu Biru meski dalam keadaan seperti itu, masih tetap waspada. Naluri dan pikirannya terpicu untuk mengantispasi suara dan desir gerakan yang meluncur cepat kepadanya. Yang tanpa diduga gerakan itu mengarah ke arah lehernya, maka dengan sigap, Senopati Banyu Biru segera meloncat ke atas untuk menyelamatkan diri. Sambil berjaga-jaga, jangan sampai ada serangan susulan.

Tubuhnya ringan meloncat ke udara sambil menendang punggung si Hitam supaya berbelok arah. Sebagai antisipasi bahwa serangan bokongan itu tidak menyasar kepada si Hitam kudanya juga.

"Dukkk." 

"Ieeeghh!"

Dalam waktu yang bersamaan.

"Singggggg."

"Crrraaaaap."

Suara yang berdesir itu sudah cukup bagi Senopati Banyu Biru waspada, sambil meloncat terbang dikibaskan kedua tangannya untuk memukul serangan itu, tapi, waktu yang hanya sepersekian helaan nafas tidak bisa memukul runtuh, lesatan itu. Yang ternyata desingan sebuah anak panah.

Anak panah itu kehilangan sasaran yang berdesing lewat cepat kemudian menancap di sebatang pohon Mahoni yang berdiri kokoh di seberang jalan.

*

Sambil mengawang di udara, Senopati Banyu Biru melepaskan pandangan ke arah delapan penjuru untuk mencari siapa yang berani mati membokongnya dengan serangan anak panah.

Senopati Banyu Biru tidak menemukan gerakan dan tarikan nafas sedikitpun di sekitar tempat itu.

Yang ada hanya suara beberapa sesatwaan meloncati semak dan beberapa suara kelepak sayap burung yang meninggalkan tempat itu karena terkejut.

Ketika melihat keadaan sekitar sudah aman, Senopati Banyu Biru dengan ringan turun ke bawah dan mendarat lunak di atas jalanan berbatu.

Langit terus berubah warna dan angin terus bertiup dingin ke arah Barat.

Sambil menarik nafas dalam, untuk menetralisir keadaan. Kemudian setelah dirinya lebih tenang dan tetap waspada, perlahan dia bergerak mendekati anak panah yang meleset dan menancap di pohon Mahoni.

Senopati Banyu Biru meningkatkan kewaspadaannya ketika melihat bahwa anak panah itu membawa sepotong kain berwarna merah darah yang melambai-lambai ditiup angin sore itu. 

Dengan rasa ingin tahu dan rasa curiga sama besar, terus didekati hingga antara dia dan kain aneh hanya berjarak satu tombak. Alis matanya mengernyit dan kedua bola matanya nyalang terbuka.

Sungguh aneh ternyata kain merah yang terpantek di batang Mahoni ada tulisannya. Bentuk tulisan miring yang rapi dan mudah terbaca.

Hanya empat baris kalimat aneh.

Ini, Syair Berdarah

Pembuka Gerbang Kematian

Membasmi semuanya

Para penjilat Raja Benua Kerta!

Karena penasaran tanpa sengaja, Senopati Banyu Biru membaca dari dalam hatinya.

Akibatnya...

Langit yang semula berarak menjingga berubah menjadi gelap gulita. Angin yang semula bertiup sepoi berubah menjadi badai. Hutan kecil itu diamuk badai. Pepohonan bergoyang berderak. Dedaunan terayun keras.

Suara hiruk pikuk alam membuat sesatwaan yang semula nyaman bersarang, berserakan lari tunggang langgang menyelamatkan diri.

Awan hitam bergulung tiba-tiba. Memecah sebagian berbaur satu dengan " sosok aneh " yang semula mengikuti Senopati Banyu Biru pulang diam-diam.

Kemudian...

"DUAAARRRRR!"

Ada sinar terang berwarna merah darah menerjang persatuan awan hitam dan sosok aneh yang kemudian menimbulkan suara ledakan besar, mengguncang radius lima puluh tombak dari tempat Senopati Banyu Biru terlongok berdiri kebingungan.

"SPLASSSHHH!"

Tiba-tiba muncul bayangan hitam tinggi besar dari gulungan campuran awan  dari balik ledakan itu dan segera menyerang ke arah Senopati Banyu Biru. Ditandai dengan teriakan yang mendirikan bulu roma.

"HRRRROOOWWW"

Bayangan hitam itu mengeluarkan sepasang tangan raksasa berupa campuran gumpalan awan hitam dan merah darah yang mulur panjang menyambar leher Senopati Banyu Biru, kemudian mencekik dan mengangkat tinggi ke udara. Selanjutnya membanting ke atas jalanan berbatu.

"BLAAAMMM!"

Karena kebingungan dan berujung rasa terkejut yang besar, membuat Senopati Banyu Biru terlambat mengantispasi serangan makhluk aneh yang mengerikan itu. Satu serangan dengan satu gerakan yang sangat cepat dan efisien. Hanya berupa kilatan bayangan saja tapi Senopati Banyu Biru sudah merasakan lehernya sakit, tubuhnya terangkat tinggi, kemudian terjatuh ke atas jalanan berbatu karena dibanting.

*

Rasa sakit menyengat ke sekujur tubuh Senopati Banyu Biru. Debu berterbangan dan keluh buncah bersama darah pecah, terloncat dari mulut sang Senopati.

"HOEKKK!"

Sepasang matanya memandang nanar kepada makhluk jejadian yang aneh mengerikan.

Melawan musuh berapa banyak sekalipun, sang Senopati tidak akan pernah gentar. Tapi...

"Ini makhluk apa? Yang tiba-tiba muncul dan menyerangnya dengan brutal," batinnya sambil menahan sakit.

Ia berusaha berdiri dengan susah payah.

Tapi makhluk aneh yang bernama Bleduk Maut itu tidak memberikan kesempatan untuk mengatur nafas dan memperbaiki posisi lawannya.

"HRRRROOOWWW."

Dengan gerengan yang mengerikan itu, sekali lagi Bleduk Maut membuat  ancang-ancang untuk melakukan serangan ulang.

Sekarang tangan raksasanya kembali normal, tapi bagian kepalanya menjadi membesar dan ketika membuka mulutnya yang ikut melebar itu, muncul rongga mulut berwarna merah darah berhias gigi-gigi taring meruncing, siap mengunyah dan membeset tidak beraturan tubuh Senopati Banyu Biru!

Lalu, apa yang terjadi?

Mampukah Senopati Banyu Biru lolos dari petaka ini?

Makhluk apakah Bleduk Maut itu?

 

Kiriman siapa? Sehingga mengincar kematian Senopati Banyu Biru?


Ikuti terus kisahnya dalam Sang Penyelamat - Syair Berdarah

Bersambung...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun