"Crrraaaaap."
Suara yang berdesir itu sudah cukup bagi Senopati Banyu Biru waspada, sambil meloncat terbang dikibaskan kedua tangannya untuk memukul serangan itu, tapi, waktu yang hanya sepersekian helaan nafas tidak bisa memukul runtuh, lesatan itu. Yang ternyata desingan sebuah anak panah.
Anak panah itu kehilangan sasaran yang berdesing lewat cepat kemudian menancap di sebatang pohon Mahoni yang berdiri kokoh di seberang jalan.
*
Sambil mengawang di udara, Senopati Banyu Biru melepaskan pandangan ke arah delapan penjuru untuk mencari siapa yang berani mati membokongnya dengan serangan anak panah.
Senopati Banyu Biru tidak menemukan gerakan dan tarikan nafas sedikitpun di sekitar tempat itu.
Yang ada hanya suara beberapa sesatwaan meloncati semak dan beberapa suara kelepak sayap burung yang meninggalkan tempat itu karena terkejut.
Ketika melihat keadaan sekitar sudah aman, Senopati Banyu Biru dengan ringan turun ke bawah dan mendarat lunak di atas jalanan berbatu.
Langit terus berubah warna dan angin terus bertiup dingin ke arah Barat.
Sambil menarik nafas dalam, untuk menetralisir keadaan. Kemudian setelah dirinya lebih tenang dan tetap waspada, perlahan dia bergerak mendekati anak panah yang meleset dan menancap di pohon Mahoni.
Senopati Banyu Biru meningkatkan kewaspadaannya ketika melihat bahwa anak panah itu membawa sepotong kain berwarna merah darah yang melambai-lambai ditiup angin sore itu.Â