Mohon tunggu...
Jabalos Simbolon
Jabalos Simbolon Mohon Tunggu... -

Pandangan Peolotik. (Peol=melenceng otik=sedikit)

Selanjutnya

Tutup

Money

Bermula dari Sebatang Pohon...

7 Mei 2010   12:55 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:21 935
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam waktu singkat, saya 'dipaksa' berpikir bagaimana menjelaskan hubungan penanaman pohon dan pemanasan global. Saya mengambil ponsel dari saku, lalu memeriksa prakiraan cuaca di Kota Medan Sekitarnya, pada 1 Juli 2009 pukul 10.45 WIB. Dari situs www.AccuWeather.com, salah satu fasilitas free di ponsel keluaran tahun 2009, tercatat suhu udara 33 derajat Celsius, cuaca cerah.

Para siswa mengaku sudah kepanasan selama 15 menit di lapangan. Mereka keringatan. Dari situ saya menjelaskan kepada anak SMA dan SMP, bahwa bumi kita ini akan semakin panas. Kita membuang sampah sembarangan, tidak mengolahnya, tidak hemat listrik, tidak menanam pohon. Semua produk yang kita pakai dan aktivitas sehari-hari membuang gas karbon ke atmosfer. Karbon yang berlebihan itu terbang ke atmosfer sehingga lapisan ozon menipis. Ketika tangan saya menunjuk langit, kepala para murid mendongak melihat langit.

Saat cahaya matahari sampai ke bumi, turut membawa panas. Panas itu terperangkap di bumi karena banyaknya gas karbon di atmosfer. "Maka kita makin kepanasan seperti siang ini," kata saya. Untuk mengurangi jumlah gas karbon di atmosfer, salah satu yang mudah kita lakukan, menanam pohon. Karena pohon, menyerap karbon (dari asap kendaraan, kebakaran, pabrik, nafas manusia) untuk proses fotosintesa seperti di buku pelajaran IPA itu. Lalu pohon itu melepas oksigen, sehingga udara segar kita hidup.

Saya memberi ilustrasi, jajanan cokelat yang disimpan di mobil. Kebanyakan pelajar di sana, sudah menikmati empuknya duduk di mobil pribadi, juga sangat mengenal cokelat. Mobil itu diparkir di bawah terik matahari, di dalamnya ada cokelat. Lama kelamaan karena panas berlebihan di dalam mobil tanpa pendingin, cokelatnya meleleh. "Seperti cokelat itulah kita nantinya, jika bumi ini panasnya berlebihan," kata saya, mengutip pendapat rekan saya di Riau, Andi Noviryanti.

Wajah para pelajar SMA itu tampak gusar mendengarnya. Sebagai penenang, saya bertanya siapa: suka melihat warna hijau?. Semua angkat tangan. Siapa suka pohon teduh? Semuanya suka. Mana lebih nyaman perasaan, pedekate di bawah pohon teduh atau di pinggir jalan?. "Di bawah pohon," jawab pelajar SMA dan SMP, berkoor tanpa dirigen lalu tertawa.

Kepada anak TK dan SD, terpaksa harus berbohong untuk menjelaskan kenapa harus menanam pohon. Agar masuk akalnya, saya mengillustrasikan rambut dan kulit. Walau pun illustrasi ini tidak tepat, yang penting mampu menggerakkan niat. Sambil menunjukkan rambut yang mulai menipis (mengarah ke botak), lalu berkata "Abang, ketika kecil dulu tak mau menanam pohon. Makanya sekarang rambutnya jadi botak, kulitnya hitam."

Tampak ekspresi anak-anak itu memegang rambutnya. Ketika diumpan satu pertanyaan,"Apakah adik-adik mau cepat botak dan hitam?" Mereka menggelengkan kepala dan berteriak: TIDAK! Setelah dikomando para gurunya, mulai dari anak TK hingga SMA menyerbu lubang untuk menanam pohon. Mereka tampak antusias. Suasana yang menyenangkan melihatnya. Kini, pohon-pohon di Yayasan Dharma Bakti terus tumbuh subur karena diberi pupuk kompos. Sebagian sudah mulai bercabang untuk jenis sono keling.

Penanaman dan program kampanye lingkungan di sekolah-sekolah terus berjalan. Dari satu sekolah berpindah ke sekolah lain. Di lokasi Yayasan Perguruan Indonesia Membangun (Yapim) Sibiru-biru, Kecamatan Sibiru-biru, Kabupaten Deli Serdang, juga pohonnya tumbuh. Jumlahnya hanya 200 batang terdiri dari mahoni, mangga dan bunga tanjung.

Para siswa SMA dan SMP Yapim Sibiru-biru turun langsung menanam, pada lubang yang sudah diatur sesuai denah sekolah. Masing-masing siswa menanam satu pohon, dan bertanggungjawab merawatnya. Selama masa perawatan, dijadikan ajang kompetisi bagi siswa. Pohon 'milik' siapa yang paling bagus. Saya mintakan Kepala SMP dan SMA Yapim Sibiru-biru, Dra Asnawati Situngkir, membuat kompetisi itu. Masing-masing pohon dilabeli nama siswa yang menanam.

"Rawatlah yang baik dengan caramu sendiri, apakah membawa pupuk kandang, terserah. Pohon milik siapa yang paling bagus, dapat hadiah," imbau Asnawati.

Masa perawatan ini, menjadi cara tersendiri bagi siswa untuk memahami lebih jauh tentang pertumbuhan tanaman. Tujuannya, semakin banyak generasi penerus yang cinta lingkungan dan gemar merawat pohon. "Kalau kami nanti tamat, gimana pohonnya?" tanya Rasmi, siswa kelas XII, saat itu. "Wariskan kepada adik kelasmu, siapa yang kamu percaya. Pohon ini nanti sudah rindang, ketika kamu pulang kampung jadi seorang yang sukses," kata saya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun