Mohon tunggu...
Jabalos Simbolon
Jabalos Simbolon Mohon Tunggu... -

Pandangan Peolotik. (Peol=melenceng otik=sedikit)

Selanjutnya

Tutup

Money

Bermula dari Sebatang Pohon...

7 Mei 2010   12:55 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:21 935
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Untuk memulai menanam sebatang bibit pohon pada Jumat, 26 Juni 2009 lalu, butuh waktu dua pekan merealisasikannya. Ada pula teman mendebatnya dan menyebut "anda macam kurang kerjaan." Tetapi kini, menanam 1.000 pohon pun dalam satu jam, sambil bercanda-canda, sangatlah mudah.

--------------

"Tak ada istilah kurang kerjaan. Toh, saya ingin menikmati suasananya menanam pohon itu. Memegang tanah dan cangkul," kata saya dalam hati, setahun lalu. Di sela-sela tugas yang tak mengenal jam kerja, saya memacu sepeda motor menyusuri jalan-jalan di Kota Medan, ibu kota Provinsi Sumatera Utara. Dari jalan besar masuk ke gang, kembali lagi ke jalan besar hingga keringatan. Debu jalanan lengket ke tubuh menjadi daki. Ketika itu, Senin 22 Juni pukul 08.00 WIB. Tujuannya, melihat-lihat halaman sekolah yang gersang. Namun tak mudah saya temukan.

Setelah berkendara 30 kilometer, ketemu satu komplek gedung Sekolah Dasar (SD). Namanya, SD 100, Jalan Sisingamangaraja, di selatan Medan. Kondisinya gersang, halamannya berdebu. Kebetulan murid SD sedang reses dari kelas. Anak-anak segera menghambur ke halaman. Ada duduk di teras, jajan di kantin, kejar-kejaran di halaman hingga pinggir jalan.

Lalu lintas kendaraan sangat sibuk di Jalan Sisingamangaraja (jalan utama menuju Danau Toba) dan menerbangkan asap dan debu. Hentakan sepatu-sepatu 455 orang murid, turut menerbangkan debu, sambil mereka menikmati es, goreng dan jajanan lain dari pedagang keliling. Begitulah keseharian mereka.

Hanya sedikit pohon peneduh, penangkis terik ke kepala-kepala bocah SD itu. Usai mengamati sekeliling, saya coba temui kepala sekolahnya dan menawarkan, agar halaman SD 100 itu ditata dengan penanaman pohon pelindung. Jika terurus baik, lima tahun sudah tambah peneduh. Di ujung pembicaraan, si kepala sekolah meminta saya, membuat surat permohonan resmi. Teringat saya soal komentar teman yang menyebut 'kurang kerjaan'. "Alamak, saya berhadapan dengan birokrasi," benak saya. Surat permohonan itu saya penuhi, lalu hari Rabu disetujui.

Setelah mengukur jarak antar lubang, letak dan atap gedung, hanya 22 lubang penanaman yang ideal. Jadilah penanaman perdana di SD 100 dengan jumlah bibit 22 batang jenis mahoni, bunga tanjung dan sono keling, pada hari Jumat. Selanjutnya program ini pun, bersama rekan-rekan menyebut Save The Earth dengan sub program Green School. Penanaman pohon, satu di antara beberapa tindakan untuk menuju kondisi sekolah hijau itu. "Bermula dari sebatang pohon," begitu komitmen saya.

Ada alasan sederhana, kenapa memilih sekolah-sekolah sebagai sasaran penanaman. Supaya, adik-adik di sekolah bisa diajak mengenal, menanam pohon. Lalu mendengar langsung komentar mereka soal suasana teduh di bawah pohon di sekolahnya, soal debu, asap kendaraan dan terik matahari dengan bahasa sederhana. Kemudian menjelaskan, udara kotor yang mereka hirup dan jajanan yang mereka santap, hingga hubungannya kenapa perlu menanam pohon. Saya meminta guru agar mengajak murid untuk menyiram dan merawatnya. Dan selalu mengatakan kepada murid, jika makin banyak pohon, udara lebih bersih, tidak kepanasan, ada tempat berteduh dan enak bernafas. Kalau pohon mangga, dirawat makin cepat besar, berbuah lalu kita makan. Suatu saat kelak, mereka paham apa makna perubahan iklim dan global warming serta dampaknya.

Usai dari SD 100, esoknya lanjut menanam pohon di lokasi kantor Dinas Kebersihan Kota Medan. Di lokasi ini, hanya untuk 25 batang bibit yang memadai. Di hari yang sama, saya bersama rekan-rekan bergerak 25 kilometer ke selatan Medan, Terminal Terpadu Amplas. Setelah mengontak Kepala Dinas Perhubungan Kota Medan, Dearmando Purba, 220 batang bibit di tanam. Tak perlu menunggu seremoni penanaman simbolis. Diiringi deru mesin dan asap knalpot, tim saya bersama dengan pegawai perhubungan, membuat lubang, membor aspal lalu menanam.

"Jika di kawasan terminal ini bisa tumbuh selamat pohon, di tempat lain pasti lebih mudah," kata saya kepada Kepala Terminal, Hendrik Ginting. Ia tersenyum mendengarnya. Di terminal, ada beragam corak dan sikap manusia. Saat pulang kerja malam, saya singgah di kawasan terminal, untuk melihat saudara-saudara di sana memperlakukan pohon itu. Tak sampai sepekan, 30 batang bibit sudah patah dan kami lakukan penyisipan. Kini, sekira 50 persen tumbuh dan daunnya bertambah sehelai demi sehelai. Lumayan...(smile).

Masih di hari Sabtu, perjalanan berlanjut ke kampus UMPI, Jalan Balai Desa, Kecamatan Medan Amplas, waktu 20 menit dari terminal. Untuk bertemu pihak rektorat menawarkan penghijauan. Pihak kampus setuju. Setelah menaksir luas lahan, hanya 50 batang idealnya. Lalu menawarkan hal serupa ke Yayasan Pendidikan Nur Hasanah di Jalan Garu I dan disetujui 60 batang. Kemudian menyurvei SDN 060925 di Jalan Sisingamangaraja, dan kepala sekolahnya sepakat 27 batang sesuai kondisi lokasi.

Ketiga lokasi ini ditanami pada Jumat, 3 Juli 2009. Di kampus UMPI, suasana sedikit beda karena ada mahasiswi. Ada aroma parfum, bedak dan lotion. Saat menanam, mereka suka menjepret pakai kamera ponsel. "Untuk foto fesbuk (facebook)," ujar Lia tertawa, mahasiswi semester 3 jurusan Akuntansi.

Aturan penghijauan kami berlakukan dengan tertib. Jumlah pohon yang dibawa ke lokasi sesuai lubang tersedia. Paling ada 3-5 pohon sebagai cadangan, jika rusak saat diangkut. Walau hanya 25 batang, tetap saja satu unit pick up melansirnya, begitu juga 1.000 batang. Ukuran lubang harus sesuai karena bibit sudah ber-polibag 2 kg dan tinggi 1,5 meter. Setiap menanam, kami selalu membawa cangkul dan tumbilang.

Setelah melakoninya dua pekan, semangat menanam pohon kian bertambah. Pada Jumat, 10 Juli 2009, penanaman di lokasi pinggir sungai di Medan Tuntungan. Jumlahnya 200 batang mahoni. Di sini, bisa sambil memancing di sungai atau kolam pancing. Lalu menggoreng ikan untuk makan siang. Enak dan gurih ikannya.

Karena merasa enjoy, Jumat berikutnya, penghijauan berpindah ke lokasi MAN 3 Medan sebanyak 50 batang dan 100 batang di perumahan Griya Albania III. Kedua lokasi ini dipisahkan jarak 30 kilometer. Sedikit mengejar waktu, agar rekan-rekan tidak terlambat sholat Jumat. Karena didasari niat, lelah pun jadi hilang.

Waktu terus berjalan, penghijauan di lokasi sekolah mulai mendapat respon. Telepon genggam saya berdering. Ketika dijawab, di seberang mengaku bernama Juliana. Ia merperkenalkan diri sebagai Kepala SMP dan SMA di Yayasan Perguruan Dharma Bakti Lubuk Pakam, Kabupaten Deli Serdang. Kali ini, respon datang dari luar Kota Medan. "Pak Jabalos, bolehkah bapak bikin penghijauan di sekolah kami?" tanyanya. "Dengan senang hati, Ibu Juliana. Boleh! Berapa bibit perlu?"

Juliana meminta 100 batang untuk beberapa jenis. Segera, saya minta rekan yang lebih cepat menjangkau sekolah itu. Dari info rekan itu, saya ketahui lokasi Dharma Bakti sangat memadai untuk 100 pohon. Juliana dan guru-guru di sana mempersiapkan denah penanaman. Mereka sesuaikan dengan master plan pengembangan yayasan. Kami sepakat penanaman 31 Juli.

Karena terbatas waktu menjemput bibit secara langsung ke persemaian, saya kirim SMS ke Mulyanto, supir pick up yang tak kenal lelah itu. Rupanya, isi SMS saya kurang tepat (kalau tak mau disebut salah). Perasaan saya, telah meminta bibit dengan rincian, mindi 15 batang, sono keling 35 batang, bunga tanjung 10 batang dan mahoni 45 batang. Jadi jumlahnya 105 batang termasuk cadangan jika ada yang rusak.

Rupanya, setelah Mulyanto tiba di titik kumpul, mahoni hanya 5 batang. "Kok, cuma lima batang mahoninya Bang Mul," tanya saya heran. "Tapi lima yang diminta," jawabnya. Ia pun menunjukkan bukti SMS di ponselnya, memang benar tertulis 'mahoni 5 btg'. Saya pun memeriksa kotak pesan terkirim di ponsel, ternyata benar saya kurang cermat. Angka 4 tidak terketik bersama angka 5, sehingga bibit langsung minus 40 batang. Kami tertawa terbahak-bahak.

Menjemput tambahan bibit ke persemaian, butuh waktu 1,5 jam. Kesimpulannya, kami teruskan perjalanan ke Yayasan Dharma Bakti. Mengenai kekurangan bibit 40 batang, saya antar secara khusus tiga hari kemudian.

Rupanya di sana, murid-murid mulai TK sampai SMA sudah siap menanam. Juliana pun membuat pengumuman dari pengeras suara. Anak-anak turun ke lapangan. Miss Lismawati Nainggolan, memandu anak TK. Mereka berjalan mengular dari ruangan, dua tangan memegang bahu anak di depannya. Kemudian mereka berbaris dengan rapi di lapangan.

Miss Juliana pun meminta saya menjelaskan soal penanaman pohon itu kepada anak didiknya. Saya tertawa mendengar pengantar "Sekarang, anak-anak bersiap mendengar pengarahan dari Bapak Jabalos Simbolon."

Dalam waktu singkat, saya 'dipaksa' berpikir bagaimana menjelaskan hubungan penanaman pohon dan pemanasan global. Saya mengambil ponsel dari saku, lalu memeriksa prakiraan cuaca di Kota Medan Sekitarnya, pada 1 Juli 2009 pukul 10.45 WIB. Dari situs www.AccuWeather.com, salah satu fasilitas free di ponsel keluaran tahun 2009, tercatat suhu udara 33 derajat Celsius, cuaca cerah.

Para siswa mengaku sudah kepanasan selama 15 menit di lapangan. Mereka keringatan. Dari situ saya menjelaskan kepada anak SMA dan SMP, bahwa bumi kita ini akan semakin panas. Kita membuang sampah sembarangan, tidak mengolahnya, tidak hemat listrik, tidak menanam pohon. Semua produk yang kita pakai dan aktivitas sehari-hari membuang gas karbon ke atmosfer. Karbon yang berlebihan itu terbang ke atmosfer sehingga lapisan ozon menipis. Ketika tangan saya menunjuk langit, kepala para murid mendongak melihat langit.

Saat cahaya matahari sampai ke bumi, turut membawa panas. Panas itu terperangkap di bumi karena banyaknya gas karbon di atmosfer. "Maka kita makin kepanasan seperti siang ini," kata saya. Untuk mengurangi jumlah gas karbon di atmosfer, salah satu yang mudah kita lakukan, menanam pohon. Karena pohon, menyerap karbon (dari asap kendaraan, kebakaran, pabrik, nafas manusia) untuk proses fotosintesa seperti di buku pelajaran IPA itu. Lalu pohon itu melepas oksigen, sehingga udara segar kita hidup.

Saya memberi ilustrasi, jajanan cokelat yang disimpan di mobil. Kebanyakan pelajar di sana, sudah menikmati empuknya duduk di mobil pribadi, juga sangat mengenal cokelat. Mobil itu diparkir di bawah terik matahari, di dalamnya ada cokelat. Lama kelamaan karena panas berlebihan di dalam mobil tanpa pendingin, cokelatnya meleleh. "Seperti cokelat itulah kita nantinya, jika bumi ini panasnya berlebihan," kata saya, mengutip pendapat rekan saya di Riau, Andi Noviryanti.

Wajah para pelajar SMA itu tampak gusar mendengarnya. Sebagai penenang, saya bertanya siapa: suka melihat warna hijau?. Semua angkat tangan. Siapa suka pohon teduh? Semuanya suka. Mana lebih nyaman perasaan, pedekate di bawah pohon teduh atau di pinggir jalan?. "Di bawah pohon," jawab pelajar SMA dan SMP, berkoor tanpa dirigen lalu tertawa.

Kepada anak TK dan SD, terpaksa harus berbohong untuk menjelaskan kenapa harus menanam pohon. Agar masuk akalnya, saya mengillustrasikan rambut dan kulit. Walau pun illustrasi ini tidak tepat, yang penting mampu menggerakkan niat. Sambil menunjukkan rambut yang mulai menipis (mengarah ke botak), lalu berkata "Abang, ketika kecil dulu tak mau menanam pohon. Makanya sekarang rambutnya jadi botak, kulitnya hitam."

Tampak ekspresi anak-anak itu memegang rambutnya. Ketika diumpan satu pertanyaan,"Apakah adik-adik mau cepat botak dan hitam?" Mereka menggelengkan kepala dan berteriak: TIDAK! Setelah dikomando para gurunya, mulai dari anak TK hingga SMA menyerbu lubang untuk menanam pohon. Mereka tampak antusias. Suasana yang menyenangkan melihatnya. Kini, pohon-pohon di Yayasan Dharma Bakti terus tumbuh subur karena diberi pupuk kompos. Sebagian sudah mulai bercabang untuk jenis sono keling.

Penanaman dan program kampanye lingkungan di sekolah-sekolah terus berjalan. Dari satu sekolah berpindah ke sekolah lain. Di lokasi Yayasan Perguruan Indonesia Membangun (Yapim) Sibiru-biru, Kecamatan Sibiru-biru, Kabupaten Deli Serdang, juga pohonnya tumbuh. Jumlahnya hanya 200 batang terdiri dari mahoni, mangga dan bunga tanjung.

Para siswa SMA dan SMP Yapim Sibiru-biru turun langsung menanam, pada lubang yang sudah diatur sesuai denah sekolah. Masing-masing siswa menanam satu pohon, dan bertanggungjawab merawatnya. Selama masa perawatan, dijadikan ajang kompetisi bagi siswa. Pohon 'milik' siapa yang paling bagus. Saya mintakan Kepala SMP dan SMA Yapim Sibiru-biru, Dra Asnawati Situngkir, membuat kompetisi itu. Masing-masing pohon dilabeli nama siswa yang menanam.

"Rawatlah yang baik dengan caramu sendiri, apakah membawa pupuk kandang, terserah. Pohon milik siapa yang paling bagus, dapat hadiah," imbau Asnawati.

Masa perawatan ini, menjadi cara tersendiri bagi siswa untuk memahami lebih jauh tentang pertumbuhan tanaman. Tujuannya, semakin banyak generasi penerus yang cinta lingkungan dan gemar merawat pohon. "Kalau kami nanti tamat, gimana pohonnya?" tanya Rasmi, siswa kelas XII, saat itu. "Wariskan kepada adik kelasmu, siapa yang kamu percaya. Pohon ini nanti sudah rindang, ketika kamu pulang kampung jadi seorang yang sukses," kata saya.

Ketika bertemu dengan Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga Deli Serdang, Dr Sofyan Marpaung, mulai membicarakan gerakan Green School. Tanpa banyak membahas sana-sini, langsung kami kerjakan. Sosialisasi sekaligus penanaman pohon berbagai jenis (termasuk bibit buah-buahan), dipusatkan di SMAN I Tanjung Morawa. Ada ratusan sekolah ikut partisipasi, 1.500 siswa dan guru hadir. 10.000 pohon dapat ditanam dalam waktu singkat.

Rupanya, Dinas Pendidikan Kota Medan cemburu melihat Deli Serdang. Sebenarnya, lebih dulu ditawari kepada Kepala Dinas Kota Medan, Hasan Basri. Tetapi, tidak langsung disambut. Makanya ditinggalkan. Ia pun meminta agar pencanangan Green School dilakukan juga di Medan.

Dalam waktu 10 hari, konsepnya disiapkan. Saya selaku penanggungjawab lapangan Save The Earth, harus berjibaku mencari bibit 15.000 batang. Padahal, menanam pohon ini hanya sebagai pengganti rekreasi. Empat hari 'meminta-minta' ke sana-sini, bibit itu pun terpenuhi. Saya berterimakasih kepada pengelola pembibitan yang sekarela memberi pohonnya untuk ditanami.

Jadilah penanaman massal di sekolah-sekolah di Kota Medan, yang dipusatkan di SMA 15 Medan, 30 Desember 2009. Ketika itu, untuk SD dan sekolah swasta belum ikut. Penjabat Wali Kota Medan, ketika itu Rahudman Harahap hadir di sana dan menanam simbolis. Rasa cemburu Kepala Dinas Pendidikan Kota Medan pun terobati.

***

Secara diam-diam, Sekolah Dasar Negeri (SDN) Nomor 068005, di Kelurahan Mangga, Kecamatan Medan Tuntungan, Medan, merencanakan pencanangan Sekolah Berbasis Lingkungan (SBL). Kepala SDN 068005, Jamahi Saragih, telah membuat konsepnya. Walau di lokasi terbatas, tak menyurutkan semangat kepala sekolah, guru dan muridnya untuk berbuat peduli lingkungan.

Lokasi sekolah itu berada di kawasan Perumnas Simalingkar Medan dan halamannya berbatasan dengan anak sungai, yang bermuara ke Sei Babura serta pemukiman warga. Jalan ke sekolah, mengikuti jalan pemukiman yang kecil. SDN Nomor 068005 itu sama sekali tidak terkenal. Bahkan tidak masuk daftar sekolah favorit di Kota Medan atau Kecamatan Tuntungan. Idealnya, SDN di pinggir sungai itu adalah sekolah kampung. Karena, di pinggir halaman sekolah masih ada kandang kambing, tepatnya di sempadan anak sungai itu.

Tetapi, komitmen yang dibangun dengan 'sekolah kampung' itu patut jadi inspirasi bagi sekolah yang lebih modern. Pada 27 Januari lalu, pencanangan SBL di tingkat SD di Kota Medan, justru dimulai dari sana. Jamahi mengontak saya untuk berdiskusi dan mengantar tambahan bibit pohon. Dalam berbagai sosialisasi sebelum pencanangan, murid, guru, kepala sekolah, dan orangtua murid duduk bersama mendengar arahan dari narasumber atau pembina lingkungan. "Duduk bersama itu penting agar tidak ada pembedaan. Apa yang kita dengar dari pembina juga didengar anak-anak. Sehingga rasa memiliki itu tumbuh dalam dirinya," ujar Jamahi.

Murid-murid pun dibimbing mengelola sampah yang ada di sekolah, merawat taman, pohon dan menjaga kebersihan hingga ke toilet. Jamahi menerapkan, siapa yang duluan melihat sampah terletak di halaman sekolah, diminta kesadarannya memungut. Lalu, ditempatkan di wadah penampung sampah organik dan anorganik. Dari murid-murid, juga diangkat sebagai 'promotor' untuk mengajak teman-temannya peduli lingkungan.

Kelompok Lingkungan Hidup (KLH) dinamai KASIH (Kerjasama, Aman, Sejuk, Indah dan Hijau). Pengurus dan anggota kelompok bertanggungjawab untuk menjaga kebersihkan sekolah, menyiram taman dan merawat pohon. "Kami akan menjaga baik taman dan pohon di sekolah ini. Yang penting sejuk, bersih, sehat dan kami enak belajar," kata Henokh, Ketua KLH KASIH didampingi anggota Nael Sipayung dan Afifa Anis, murid kelas 3.

Paris Sembiring, selaku Kader Lingkungan Hidup Tingkat Nasional dan Peraih Kalpataru 2003 dan Drs Rasmin Simbolon MPd, sebagai pembina lingkungan di SD itu. Kedua pembina ini rajin memberi arahan hingga teknis di lapangan.

SMP Negeri 1 Namorambe juga tak mau ketinggalan. Mereka mulai berbenah menuju penerapan Sekolah Berbasis Lingkungan (SBL). Dengan menggerakkan segenap komponen pendukung sekolah, SBL itu dapat tercapai.

Sebelum penataan dan penanaman pohon, Sabtu (13/2) lalu, saya berkunjung ke sekolah itu. Kebetulan hari Sabtu adalah off kerja, bagi saya. Di bagian depan gedung sekolah itu, ada lima pohon mahoni setinggi 5-6 meter tetapi belum rindang. Di area sekolah, mulai dari depan gedung hingga sudah banyak jenis bunga dan pot. Tinggal menambahi dan menata, agar berkesan indah. Namun, pengelolaan sampah, sanitasi air pembuangan belum tertata. "Masih sangat banyak harus dibenahi, tapi perlahan kami tata mulai dari yang ringan. Agar SMP ini kelak sebagai sekolah berbasis lingkungan," kata Kepala SMPN 1 Namorambe, Drs Bonser Aritonang.

Kami pun menanam 120 batang pohon di areal sekolah. Demikian juga, untuk merawat pohon yang ditanam terdiri mahoni, durian, alpukat dan bunga tanjung, diatur sedemikian dan melibatkan siswa. Bonser bercita-cita, suatu saat kelak SMPN 1 Namorambe, dapat masuk kategori SBL.

Bonser berharap, seluruh komponen dan stakeholders pendidikan untuk bersama-sama berikhtiar dan berkampanye peduli lingkungan hidup. Dimulai dari aspek ontology (keberadaan) sekolah yang sehat, epistemologis (bagaimana manajemen pengelolaan sekolah berbasis lingkungan hidup) dan aksiologis (kegunaan) lingkungan sekolah.

Serta, ruang belajar yang bertujuan untuk membangun kesadaran siswa berperilaku sehat dan peduli lingkungan hidup. Karena secara batiniah, aspek perilaku peduli lingkungan dapat menciptakan kenyamanan dalam proses pendidikan dan pembelajaran.

Akhir April lalu, Bonser menelepon saya karena merasa cemburu dengan gerakan SMPN 2 Sunggal. Sekolah di Deli Serdang ini sedikit lebih maju soal kepedulian lingkungan, dibanding SMPN 1 Namorambe. Selain menata sekolah, mereka juga sudah berani turun ke jalan berkampanye lingkungan. Sambil membagi-bagikan bibit pohon kepada pemilik mobil, sebagai aksi memperingati Hari Bumi. Ketika, SMPN 1 Namorambe sudah mencemburui yang baik, ini awal dari kompetisi yang sehat dalam konteks SBL. Mantap!.

Tak mau ketinggalan, SMAN 1 Labuhan Deli, di Deli Serdang juga membenahi sekolahnya. Setelah saya bersama siswa menanami pohon di sana tahun lalu, pertumbuhannya cukup bagus. Ada 110 batang pohon di sana. Sekolah itu adalah Unit Sekolah Baru (USB) yang berada di tanah subur. Denah sekolahnya rapi dan memiliki lahan luas.

Di saat menulis artikel ini pun, saya harus memikirkan permintaan bibit pohon dari Yayasan Palapa, di dekat RSUP Adam Malik Medan. Kepala sekolahnya, sudah bolak-balik menelepon. Pada hari Sabtu (8/5) ini, di sana ada juga pencanangan SBL. Mereka mengundang sekolah-sekolah se-Kecamatan Tuntungan sekaligus untuk penanaman pohon 1.500 batang.

Tampaknya, aksi menanam pohon ini akan bergulir terus. Baik di lokasi sekolah, fasilitas umum dan pinggir jalan. Sampai tiba saatnya nanti ke program-program yang agak sedang, setingkat di atas kecil. Kepada pelajar yang ikut dalam penanaman, saya selalu berpesan: Jangan pernah hitung berapa yang kita tanami, tetapi berapa pohon yang bisa kita rawat dan tumbuh baik. Kita belum ada apa-apanya jika dibanding laporan Gerhan, yang sudah menanam ratusan juta bibit.

Inilah, aksi kecil-kecilan sebagai aktivitas baru. Sebagai rekreasi ringan, karena kesulitan liburan jauh-jauh. Kata para pakar lingkungan, menanam pohon bagian dari upaya mengatasi pemanasan global, seperti didengungkan di pada KTT Iklim di Bali (2007) dan di Copenhagen, Denmark (2009). Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga mengajak warga Indonesia menanam 1 miliar pohon setahun. Jika dibagi rata dengan jumlah penduduk, tak sampai 5 pohon per orang. Untuk mencapai itu, tetap bermula dari sebatang pohon. (*)

Tulisan serupa ada di sini: http://www.facebook.com/note.php?created&&suggest&note_id=386579328634

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun