Menurut Zamroni (1993), meskipun diyakini pendidikan dapat membentuk karakter bangsa, sebagaimana telah disebutkan di atas. Juga, disebutkan lagi dalam UU RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas pasal 3 bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan bangsa. Tetapi dalam kenyataan sejarah bangsa kita, pembangunan manusia lewat pendidikan bergeser fungsinya dari fungsi menanamkan ideologi dan mewariskan nilai-nilai budaya bangsa kepada generasi baru ke fungsi ekonomis, yakni mempersiapkan tenaga kerja untuk bisa berpartisipasi dalam proses produksi. Jika fungsi pertama lebih menekankan fungsi pendidikan sebagai gejala kebudayaan, di mana pendidikan berfungsi untuk menciptakan members of the nation-state, sebagai warga negara yang baik, yang sadar akan hak dan kewajibannya sebagai anggota suatu masyarakat bangsa. Fungsi kedua pendidikan lebih sebagai gejala ekonomi, yakni mempersiapkan seseorang untuk memasuki pasar tenaga kerja lewat serangkaian proses pembelajaran. Adanya pergeseran fungsi pendidikan ini tentu bukan tanpa alasan. Alasannya, karena proses pendidikan tidak berlansung dalam ruang kosong atau dalam kefakuman, melainkan berada di tengah-tengah perubahan masyarakat. Dalam ungkapan yang lebih spesifik, proses pendidikan itu berinteraksi dengan "dunia lain", utamanya dunia politik dan ekonomi. Bahkan dunia lain tersebut berupaya keras untuk dapat mendominasi dunia pendidikan.
Dari kenyataan tersebut, maka untuk mebangun karakter bangsa yang bermartabat diperlukan political will atau komitmen dari pemerintah atau penguasa. Mengapa? Karena sejarah telah membuktikan bahwa pemerintah atau penguasa sangat menentukan dalam membentuk karakter bangsa, setidak-tidaknya hal itu telah dipraktekkan pada dua dasa warsa pasca kemerdekaan negeri ini dengan penekanan pada upaya membangun semangat nasionalisme. Bahkan pemerintah merupakan kekuatan utama yang mampu menentukan arah dan kebijakan pendidikan, di samping yang paling mampu menyediakan fasilitas pendidikannya. Ini berarti, arah dan kebijakan pendidikan banyak dipengaruhi oleh kepentingan ekonomi dan juga oleh kepentingan politik. Kalau keduanya berkolaborasi untuk menekan dan mendominasi pendidikan, maka akan muncul apa yang dinamakan eco-paedagogical dictatorship (Zamroni, 1993: 149).
Dengan adanya kesadaran bahwa proses pendidikan berlangsung dalam masyarakat yang selalu berubah (Fagerlind and Saha, 1983: 196), yang berinteraksi dengan dunia lain, utamanya dengan dunia politik dan ekonomi, maka menjadi tidak mungkin, jika kita bangsa Indonesia hanya mempertahankan fungsi konservatif pendidikan tanpa terlibat dalam fungsi pendidikan yang lain yakni fungsi pengembangan sumber daya manusianya.
Dengan fungsi ini pendidikan juga ikut mempersiapkan lulusannya memasuki dunia kerja. Meskipun demikian, bangsa Indonesia harus tetap pada komitmennya dan merealisasikan komitmennya untuk lebih mengedepankan aspek moralitas bangsa dalam kiprah pembangunannya, dan itu berarti pendidikan nilai, pendidikan watak dan pendidikan moral harus lebih dikedepankan daripada pendidikan yang lainnya, karena pendidikan nilai, karakter atau watak dan moral melandasi aspek-aspek pendidikan yang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Alwisol. 2009. Psikologi kepribadian, (Malang: UMM Press)
Fagerlind, Ingemar and Lawrence J. Saha (1983). Education and National Development: A Comparative Perspective. Oxford: PERGAMON PRESS.
Fatchul Mu'in. 2013. Pendidikan Karakter Kontruksi Teoritik & Praktik. Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau
Heri Gunawan. 2014. Pendidikan Karakter Konsep dan Implementasi, (Bandung: Alfabeta).
Jene, Jeremias. 2002. "Pendidikan sebagai Kontrol Sosial dan Kebebasan Individu: Diskursus mengenai Pendidikan menurut Plato" dalam Majalah Filsafat Driyarkara. Th. XXV Nomor 4.
Kementrian Pendidikan Nasional Tahun 2018 Tentang Panduan Pelaksanaan Pendidikan Karakter.