RENGGINANG, Keripik, dari Majalengka, Jawa Barat langsung dilahap Tuti Tursilawati. Dua batik daster di pangkuannya. Makanan kecil dan daster itu, pesanan Tuti kepada ibundanya. Sang Ibu, Iti Sarniti, dari Desa Cikeusik, Sukahaji, Majalengka, Jawa Barat, bersama Migrant Care, menemui Tuti di penjara Arab Saudi, lima bulan lalu.
Ibu dan anak larut dalam rindu. Tidak bertepi. Mereka berpelukan. Isak tangis kian jadi. Ibunda Tuti terbata. Ia mengisahkan sang ayah 2017, tahun lalu itu berpulang.
Pada 29 Oktober 2018, Tuti telah dihukum mati pemerintah Arrab Saudi.
 "Anak saya diperkosa!"
"Kok dihukum mati?"
Lirih.
Keluarga menganggap anaknya bukan pembunuh. Tuti sesuai penuturan keluarga ke media, acap digoda majikan sudah tua. Entah untuk ke berapa kali. Di momen terakhir itu Tuti mendorong kursi roda sang majikan. Sang majikan tua lalu terjatuh. Ia dilarikan ke rumah sakit. Tiga hari kemudian si majikan berpulang. Atas peristiwa ini keluarga korban menuntut.
Beragam berita di media saat ini mempersoalkan hukuman mati itu tanpa notifikasi. Sesuai keterangan pemerintah, khususnya Direktur perlindungan warga, Kementrian Luar Negeri, banyak dikutip wartawan.
Bila Tuti bukan bagian dari kerabat kita, mungkin di antara Anda mengganggap biasa. Acap kisah pilu Tenaga Kerja Wanita (TKW) dihukum mati di Arab Saudi. Kini saja masih ada 13 menunggu keputusan hukuman mati dan ratusan kasus hukum berproses. Belum lagi kasus para over stayer di Arab Saudi sana, mulai dari berceceran di bawah jembatan, hingga dirayu oknum polisi, seakan tiada habisnya.
Lema hukum mati tanpa notifikasi, di-uar-kan banyak media, membuat tangan saya sangat terusik menulis. Nyawa direnggut, sejatinya bukanlah soal notifikasi dan tidak. Hukum di satu sisi, nyawa, ruh, sisi satunya.
Ijinkan saya menulis dalam kapasitas memiliki sedikit porto folio terhadap kasus kematian tak biasa, juga meng-advokasi beberapa kasus sejenis.
Perihal ini perlu saya paparkan, mengingat kita berada dalam sikon tahun sosial politik tahun jelang Pilpres, Pileg. Waktu kampanye sedang juga sedang berlangsung. Di konteks ini bila di tulisan ini kemudian terasa mengkritisi, alasannya; pernah men-advokasi pembunuhan David Hartanto Wijaya, dibunuh di NTU, Singapura, 2009, pernah membawa pulang anak Indonesia ditahan 8 tahun di Emirat Arab, 2008, masih memverifikasi hilangnya 27 orang dari Serui ke Mamberamo, 2009 hingga kini, juga mengadvokasi Wilfrida 2013, terhindar dari hukuman mati di Kelantan, beberapa di antaranya.
Khusus untuk kasus di Arab Saudi, belum ada porto folio saya.
Akan tetapi verifikasi tertulis, termasuk kemarin mencoba menghubungi via telepon Muhammad Jumhur Hidayat, mantan Kepala BNP2TKI. Dari data saya himpun, Arab Saudi memang punya langgam penerapan hukum tersendiri. Keluarga korban selalu mengacu hukuman, untuk kasus kematian, pembunuhan, harus berbalas dengan kematian. Kecuali keluarga memaafkan.
Pada kasus tertentu bahkan, biarpun keluarga korban memaafkan, akan tetapi opini pemerintah Arab Saudi tetap menentukan; bila menurut pemerintah tetap harus dihukum mati maka: mati, tok!
Unik memang.
Dalam khasanah itu, kasus hukuman mati tentulah bukan kasus biasa. Ia harus dihadapi dengan ekstra luar biasa. Pada kasus Wilfrida, contoh sekadar menggambar bagaimana keluar-biasaan aksi menghindarinya dari hukuman mati: Saya bersahabat dengan Chairul Anhar, sosok pengusaha Indonesia mukim di Malaysia. Saya kepada Chairul, sedang berupaya agar Wilfrida bebas.
Chairul memfasilitasi saya bisa hadir ke persidangan Wilfrida ke Kelantan, Malaysia. Ia pula mencarikan lawyer terkenal, kandidat Jaksa Agung Malaysia kala itu. Saat itu Prabowo Subianto, akan mencapres, ia pun punya perhatian. Oleh Chairul, awyer direferensinya ke Prabowo Subianto. PS pun hadir ke persidangan, seingat saya sampai tiga kali. Kami di media terus mengadvokasi.
Setelah Wilfrida bebas, adalah Jumhur Hidayat mengajak saya dan istri datang ke Kupang. Kami bertemu keluarga Wilfrida, mencari alasan utama mengapa banyak anak-anak NTT, menjadi TKW, bahkan korban perdagangan orang?!
Untuk kasus Tuti, Presiden Jokowi menurut Kemenlu, pernah pada 2016 menyurati Raja Salman. Artinya sudah ada perhatian pemerintah.
Tuti menerima jenis hukuman mati paling berat di Saudi. "Tuti hadd ghillah, yang tertinggi, tidak bisa dimaafkan oleh siapa pun," ujar Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Bantuan Hukum Indonesia (PWNI-BHI), Lalu Muhamad Iqbal di Kementerian Luar Negeri, Jakarta, kepada media, 30 Oktober 2018.
Iqbal mengatakan, sejak 2011 hingga 2018, ada 103 WNI yang terancam hukuman mati di Saudi. Dari jumlah, pemerintah telah berhasil membebaskan 85 WNI dari hukuman mati. Kemudian, sebanyak lima WNI telah dieksekusi salah satunya Tuti Tursilawati pada Senin, 29 Oktober 2018. Ada 13 WNI lainnya masih terancam.
Kendati sudah berupaya, saya sesalkan ranah hukuman tanpa notifikasi selalu disiarkan, menjadi alasan Iqbal. Dari sejak sang Ibunda Tuti ke Arab Saudi, seharusnya lobby khusus dilakukan.
Saya menduga, intensitas kita kurang, sehingga mencari alasan pembenaran.
Bercermin ketika saya mengurus Zyad, WNI, tak bisa pulang di Emirat Arab 8 tahun, akhir 2008. Kala itu Dubes, Wahid Supriyadi, kini Dubes kita di Rusia. Pak Dubes saya lihat berdiri di tengah persoalan. Ia meminta stafnya mendampingi saya di Abu Dhabi. Saya masih ingat bagimana kami harus menunggu mengantri bertemu Kadi, di pengadilan di Abu Dhabi.Â
Kami bagaikan sales obat menanti di antrian pasien dokter terakhir, di ruangan dingin, sementara di sebelah para terhukum berseragam hijau bergelang kaki terikat besi. Waktu bertemu Kadi, menunggu hingga pukul 01.00 bahkan lebih larut.Â
Adalah Amin Appa, staf lokal KBRI Emirat, kala itu, tekun mendampingi saya. Ia sampai mengatakan intensi seperti itu, waktu mereka tak ada, "Staf kurang, hari-hari sudah disibukkan kerja rutin."
Belum lagi mengantri bertemu pejabat setingkat Kapolri sana, sebuah cerita tersendiri. Tiga puluh tiga hari, akhirnya, Zyad, saya tenteng ke Jakarta, kasus muskil tuntas itu.
Saya belum menyimak hingga kini, apakah KBRI melakukan aksi, tentunya bersama Dir. Perlindungan Warga juga berkolaborasi dengan BNP2TKI, melanggani lawyer di luar, seperti di Arab Saudi, membayar rutin retainer fee, ada atau pun tanpa ada kasus. Sehingga ada satu aksi harapan keadilan di mata hukum. Toh dominan waktu staf KBRI sudah bejibun disibukkan ihwal lain.
Seingat saya dana Dir., Perlindungan Warga, Kemenlu pada 2008 saja anggarannya lebih Rp 100 miliar setahun. Tentu 10 tahun kemudian, saat ini, dugaan saya sudah tiga kali lipat?
Begitupun dengan NGO membangun advokasi. Untuk khusus kasus Tuti, saya, misalnya, memang tidak mendapatkan informasi. Saya sangat menyesal paling tidak pernah menuliskan sebelum kematian. Kini Tuti sudah di alam kubur. Ijinkan saya mengajak semua pihak hindari berteriak tidak mendapatkannotifikasi.
Akan lebih elegan paparkan saja apa sudah dilakukan. Dari situ para pembaca, warga, dapat menilai dengan kecerdasan hati.
Kalau saya, di saat kami pernah Umrah bersama, kini Presiden RI, Jokowi, di Mekah, 2014, sudah menyarankan agar kelak bila menjadi presiden hentikan pengiriman TKW ke luar negeri.
Seingat saya ada saksi di saat saya menyampaikan kalimat itu. Sayangnya dua saksi itu sudah berpulang keduanya. Pertama Alm., Kyai H. Hasyim Muzadi, dan kedua pemimpin rombongan Umrah kami, Alm., Prof DR. Faisal Mahmud, sebaya saya usianya.
Kala itu Pak Jokowi Tanya balik ke saya, "Kalau dihentikan dari mana pengganti devisa pengiriman TKW?"
Jawab saya: Benahi pengadilan pajak. Jika perlu bentuk badan penyidik pajak. Karena setiap tahun menurut data OECD, laku penggelapan pajak pola transfer pricing setiap tahunnya terindikasi 65% dari transaksi perdagangan.
Saya katakan pula, pada 2005 saya verifikasi, indikasi transfer pricing dalam setahun sudah Rp 1.300 triliun. Bayangkan angka 2017? Setiap tahun naik. Bila 30% saja setiap tahun dapat dibuktikan penggelapan pajak korporat dan bisa ditarik kembali oleh negara? Tentulah berlipat-lipat dari devisa dari TKW,TKI, pada 2008, hanya Rp 70- triliun.
Saya tak paham mengapa transfer pricing tak diurus, demi dapat membuat kebijakan pengganti devisa menghentikan pengiriman TKW dapat dilakukan?
Citra negara, perempuan kita di Arab Saudi, di Emirat dan jazirah Arab lainnya: negeri babu gampang digauli. Kalimat kasar ini saya dapati di restoran Indonesia di Abu Dhabi,2009 awal, di mana saya menemukan, mohon maaf, ada beberapa wanita asal negeri kita memang seakan "jualan".
Dalam advokasi terhadap para TKW hendak dihukum mati itu, kita kalah kencang dengan advokasi di-ban-nya CPO kita di Eropa tahun lalu. Untuk CPO, presiden turun tangan, beberapa NGO meng-advokasi, seminar dan kegiatan KBRI kencang agar ekspor CPO kita lancar-jaya. Padahal pelaku utama transfer pricing kakap terindikasi menahun-nahun, ya, di antaranya korporasi besar eksportir CPO, belum lagi tambahan subsidi puluhan triliun untuk mereka bagi membuat solar.
Demokrasi di negeri kita setelah reformasi ini, demokrasi menjadi industri,bukan demokrasi menjadi idiologi, laksana di negara demokrasi benaran. Meng-advokasi sawit - - korporasinya terindikasi tambun menggelapkan pajak- - lebih gede gaung dan minatnya daripada meng-advokasi satu, dua, tiga, empat, TKW hendak dihukum mati.Â
CPO dan angka ekspor, dolarnya, memang tampak. Hasilnya lebih lahiriah. Nyawa ranah intangible. Membela nyawa, ruh, ranah Illahiah, mungkin belum kita rasakan imbalannya, karena tak ada yang kembali dari alam kematian menuliskan.Â
Ajal di tangan Tuhan.Â
Memperjuangkan, menyelamatkan nyawa, melindungi tumpah darah, juga amanat undang-undang bernegara. Lebih jauh amanat ke lubuk sanubari kita --bila diberi amanah menjadi pemimpin -- sebagai insan, menyadari keberadaan memuliakan keinsanan, membangun peradaban. Dalam khasanah ini saya tentu tak ingin mengkritik siapapun, saya hanya ingin mengatai diri saya sendiri: hanya bisa menulis-nulis, berkata-kata sahaja. Tok!!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H